Doa | Puisi-Puisi Setia Naka Andrian
Doa
Jika saja doa itu tumbuh dari tengadah tanganmu, dan selepas itu kupu-kupu terbang tinggi melambung dari punggungmu, aku hanya bisa menyaksikan bagaimana semuanya pindah. Menjadi rumah atau tanah.
Yogyakarta, September 2022
Kereta
Dan kereta telah bergerak duluan. Menyeberangi sawah-sawah yang lapang membentangkan masa depan yang direnggut jalan-jalan bercabang. Semua terbelah, menjadi arah yang runyam dan susah.
Yogyakarta, September 2022
Nona
Nona sedang ingin makan apa. Dua hari yang lalu, Nona beri kami minuman yang sungguh melegakan hutang harian. Nona juga kerap kali membawa kami menyeberangi rumah-rumah yang tumbuh dari semangat riuh aliran sungai biru gempita. Dari hulu menuju hilir, dari dunia kecil menjadi dunia entah yang kian mengubah kami menjadi sesuatu yang sungguh susah dimengerti. Nona sedang ingin makan apa? Hati-hati, Nona. Di luar sana diam-diam banyak aliran sungai yang menunggumu. Hingga hari depan kesekian, banyak di antaranya memilih reda, daripada meninggalkanmu dalam kesegaran yang tiada.
Yogyakarta, September 2022
Di Jalan
Di jalan, kami mengendap dari segala punggungmu yang bidang. Tak terasa sudah tiba di hari kedelapan, menjelang jauh waktu ketika siapa saja mudah tumbang. Sejak sedalam kabar mengidap berbagai penyakit yang tumbuh dan tenggelam dalam sesal beraneka macam derita yang ternyata lebih memilih tumbuh sembarangan. Dalam sesal kesekian, kami tumpah ruah di jalan. Telah kami saksikan, bagaimana orang-orang menemukan panjang usia di jarak kepergian. Bagaimana orang-orang tiba-tiba saja menjadi suara lain yang tumbuh dalam kadar oksigen yang menguap dari kepedihan.
Yogyakarta, September 2022
Menjelang Dewasa
Suatu pagi menjelang dewasa, Tuan. Ia lahir kembali bukan sebagai dirinya. Hari-hari berlalu dan tumbuh jadi suara panjang yang berliku. Ia sungguh gemetar bagaimana menjadi dirinya, Tuan. Bagaimana menjadi serupa apa saja yang membahagiakan hari-hari kesedihannya.
Beri tahu kami, Tuan. Beri tahu kami di pagi hari menjelang dewasa. Beri tahu kapan langit muram. Kapan manusia jenuh di hadapan keyakinan. Beri tahu kami, Tuan. Beri tahu mana jalan terbaik untuk menyembunyikan iman. Kami tak paham, Tuan. Kami tak paham. Hanya dirimulah yang utuh menjadikan kami lebih pagi dan lebih dewasa dari biasanya, dari sediakalanya.
Yogyakarta, September 2022
Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya Bermula Kembara Bermuara Kendara (Sangkar Arah Pustaka, 2021) memperoleh Nomine Antologi Puisi Terbaik Penghargaan Prasidatama 2022 dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah.