Distingsi Kebigotan Adikodrati
Bigot, kosakata kekayaan intelektual beberapa Kamus Bahasa Inggris ini, sudah terserap langsung dan sempurn tanpa modifikasi ke dalam KBBI. Penggunaan kata tersebut di dalam KBBI berkonotasi negatif, mempunyai makna: orang yang tidak mendengarkan atau menghargai pendapat orang lain. Kamus Bahasa Inggris juga menyerap tanpa modifikasi dari kekayaan intelektual kosakata Jerman, di mana kata bigot tersebut berasal, bei dan gott.
Bigot mengalami perluasan makna, sesuai dengan dinamika penggunaannya. Istilah ini sangat kompatibel terhadap perkembangan hingga pada makna: fanatisme, prasangka, keculasan, rasisme, intoleransi, diskriminasi, konservatisme, radikalisasi, atau bahkan kepada misagoni. Pelaku yang bertindak bigot disebut dengan bigotry.
Kita paham, bahwa preferensi atau pilihan di segala lini kehidupan adalah hak asasi yang tak dapat diusik oleh siapapun. Setiap pilihan merangsang untuk eksis dan berkuasa. Proses ini selalu mengundang penindasan terhadap kebebasan lainnya.
Kebebasan memilih tersebut dapat diartikan sebagai kebutuhan diri yang rata-rata sifatnya impulsif, subjektif, bernilai benar, dan berlandaskan norma. Yang paling mendominasi adalah urusan Tuhan. Preferensi personal yang satu ini sering disasar oleh bigot. Merasa paling benar di mata Tuhan, maka segala preferensi personal yang berbeda dan tidak sesuai dengannya, dianggap salah.
Tindak pembenaran yang diiringi penindasan preferensi personal menghasilkan para bigot dan bencana bigotry. Inilah yang membuat pelaku bigot (bigotry) selalu mendapat tempat di mana dia berada. Selalu punya dukungan dari mereka yang memiliki kesamaan preferensi atau kebutuhan. Kebigotan akan menjelma menjadi maha ego dengan berbagai macam inkarnasinya, seperti: terciptanya bendera, simbol, lagu kebesaran, seragam, lambang dan lainnya.
Dari sini, ia akan berkembang menjadi chauvinis, rasis, sexis, antisemit, homofobia, misagoni, misandri, hingga nazisme atau fasisme. Jika rasis, selalu merasa ras mereka lebih unggul, jika sexis merasa gender tertentu lebih baik, dan jika misagoni merasa lelaki lebih unggul.
Maka bigot, bisa semua; karena merasa wakil Tuhan. Bigot akan berkembang biak atas nama Tuhan. Ia juga bisa memakai rasis, misagoni, misandri atau sexis sebagai alat mereka untuk mencapai tujuannya.
Bigot itu tidak punya landasan yang tak bisa dibantah. Menentang bigot berarti menantang Tuhan. Dia selalu saja berseberangan dengan pendapat lainnya dan memakai pembenaran subjektif sebagai pembunuh keindahan perbedaan preferensi. Bigot selalu mendapat tempat di ranah politik. Bigot sangat dekat dengan penguasa sebagai alat propaganda dan pelestari sebuah kekuasaan.
Dan biasanya, bigotry ini tak malu dengan apa yang dia kerjakan, sebab pelaku telah menganggap sepihak preferensinya tadi. Yang penting untung dan tidak buntung. Bertahan hidup adalah salah satu pemicu kebigotan. Menjamurnya manusia-manusia bigot, di mana mereka adalah orang-orang yang fanatik terhadap keyakinannya, intoleran dan benci kepada kelompok kelompok lainnya. Kebigotan sejatinya mereka yang tidak mampu atau enggan membuat dirinya terjun untuk bersosialisasi dengan beragam orang dengan latar belakang suku, agama, ras, pendidikan yang berbeda.
Ekslusifitas yang dibentuk oleh penyalagunaan adikodrati, akan menciptakan karakter bigot, di mana dia hanya mampu mentoleransi segala macam hal, yang menurutnya dan lingkungan sosialnya berkata demikian, dan menganggap orang lain yang tidak sepaham adalah salah.
Setelah penyalahan, tahap berikutnya memusuhi dan membuat permusuhan. Bigot dan bigotry akan selalu dan harus bisa mengubah pandangan kebebasan preferensi personal agar sesuai dengan pendapatnya.
Benteng kokoh bigot seperti hal ini berakar dari pola pikiran yang tertutup (close minded). Bagi bigot dan bigotry, hakikat dunia baginya adalah beraroma tribal, yang merangsang manusia untuk hidup dalam naungan tokoh dan kelompok tertentu. Aktivitas, pemikiran, dan identitas seseorang akan terikat kuat dengan naungan tokoh dan kelompok tertentu. Aktivitas, pemikiran, dan identitas seseorang akan terikat kuat dengan naungan tokoh dan kelompok masing-masing.
Sebenarnya era ini sudah usang dan tidak relevan lagi. Bigot dan bigotry ibarat bakteri dengan media pengembang tertentu akan cepat mewabah secara pandemik. Media tersebut salah satunya adalah politik. Dengan politik, mereka tidak lagi berusaha dalam nilai-nilai keprogresifan. Namun, dalam bayang-bayang intimidasi kekuatan bigot dan bigotry.
Kebigotan tidak akan dapat menampilkan narasi politik yang baru yang lebih progresif dengan menggagaskan kepimpinan politik berasaskan nilai dan kompetensi. Nilai-nilai yang digagas di dalam narasi dan nalar politik, seperti: kepimpinan politik yang amanah, jujur, terbuka, demokratik, tulus, progresif, inklusif dan peduli; merupakan duri tajam bagi bigot.
Adapun kompetensi utama yang perlu dibangunkan di dalam kepimpinan politik ialah kebolehan berkomunikasi, berartikulasi, mahir ekonomi, diplomatik, kooperatif, cakap dalam kepengurusan, dan berwibawa; adalah sesuatu yang telah dibunuh oleh bigot dan bigotry.
Ia seharusnya dan sepenuhnya bebas dari sentimen kelompok, perkauman atau bigotri. Maka dari itu, retorika kebigotan yang telah dikuasai oleh kelompok atau kekuasaan tertentu, sebenarnya hanyalah manifestasi kepada kemunduran dan keusangan pemikiran dan nakar politik mereka. (*)