Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

DIHPA: UU Cipta Kerja dan Potensi Kewenangan yang Koruptif
Ilustrasi foto: th.boell.org

DIHPA: UU Cipta Kerja dan Potensi Kewenangan yang Koruptif



Berita Baru, Jakarta — Disahkannya UU Cipta Kerja oleh DPR RI secara tertutup kemarin menimbulkan reaksi keras di berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Demikian juga di hadapan Perhipunan Dosen Ilmu Hukum Pidana Indonesia (DIHPA) yang memberikan respons dan pandangannya secara tertulis kepada Berita Baru, Sabtu (10/10).

Bagi PDIHP respon keras masyarakat itu menjadi maklum, mengingat sulitnya mengakses dokumen resmi UU tersebut. “Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada yang disembunyikan dari isi UU tersebut,” terang pernyataan DIHPA.

Namun demikian, dengan mengacu pada dokumen yang banyak beredar, Perhimpunan Dosen Ilmu Hukum Pidana mencoba melakukan telaah sederhana.

“UU Cipta Kerja memang mengandung semangat pembaharuan dalam memberikan kemudahan izin berusaha dan terobosan hukum untuk menangkap peluang invesitasi. Tapi agar tidak melanggar prinsip Negara Hukum harusnya UU ini dibentuk dengan cermat, hati- hati dan kajian yang dilakukan lebih teliti dan rinci,” lanjut keterang itu.

Dalam pandangan DIHPA, ada beberapa hal yang mengganggu pengaturan UU Cipta Kerja, satu di antaranya terkait pengaturan eksepsional keuangan negara yang dikonversi menjadi keuangan Lembaga.

“Kami memandang bahwa aturan yang termuat dalam Bab X (vide pasal 154 sd 173 UU Cipta Kerja) memiliki potensi bertabrakan dengan muatan berbagai aturan pemidanaan khususnya terkait Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”

Selain itu, dalam catatan tersebut dijelaskan bahwa Bab X mengamanatkan pembentukan lembaga baru yaitu Lembaga Pengelola Investasi (LPI), yang memiliki kewenangan sangat besar dengan tugas utama mengelola dana/aset negara yang diinvestasikan. Yang menarik, lembaga ini hanya bisa dbubarkan melalui undang undang pula.(pasal 171 ayat 1).

“Pemerintah memberikan modal minimal Rp. 15 trilyun dan dapat menambah modal bagi lembaga ini jika modalnya berkurang (pasal 170 UU Cipta Kerja).”

“UU CK juga menyebut asset/dana negara yang dipindahkan tangankan kepada LPI ini menjadi asset/dana Lembaga dan menjadi Milik dan tanggung jawab Lembaga (vide pasal 157 ayat2). Lebih dari itu, dengan 4 alasan yang sangat sumir pejabatnya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum jika terjadi kerugian investasi (pasal 163 Jo Pasal 164 ayat 2).”

Beberapa klausula ini akan menggeser unsur kerugian negara dalam undang undang tindak pidana korupsi karena terminologi uang atau aset negara yang diinvestasikan disini sudah menjadi aset/dana Lembaga.

“Akibatnya kerugian investasi adalah kerugian lembaga dan bukan kerugian negara sebagaimana selama ini bisa dituntut melalui UU tindak pidana korupsi. Audit terhadap Lembaga ini pun hanya dibatasi dilakukan oleh akuntan public (pasal 161), tidak ada pengaturan khusus keterlbatan Lembaga negara resmi seperti BPK untuk melakukan audit,” lanjut keterangan dari PIDHP.

Lanjut DIHPA, klausula dalam bab X terkait investasi pemerintah pusat dan kemudahan proyek strategis nasional ini nampaknya ingin membuat kekebalan hukum pada penyelenggara LPI serta ingin menggeser unsur kerugian negara menjadi kerugian Lembaga.

“Ini berarti semua perbuatan yang berpotensi korupsi yang terjadi di lembaga investasi bukan lagi ranah kewenangan aparat Penegak hukum.”

Di samping itu, kata DIHPA, proses check and balance, keterlibatan DPR juga minim dalam pengambilan keputusan investasi ini, aset negara atau aset BUMN yang diinvestasikan tadi dengan persetujuan lembaga bisa dpindahtangankan secara langsung pada perusahaan tanpa keterlibatan DPR

Maka, memperhatikan hal tersebut, pemerintah kakata DIHPA, perlu menjelaskan alasan dibalik pengaturan eksepsional yang bisa menjadi celah koruptif dalam pengelolaan trilyunan uang negara.

“Apalagi pakar hukum telah sejak lama mengkritisi syarat formil pembentukan Omnibus law UU CK ini yang bermasalah. Mengingat hingga saat ini draft akhir masih tidak bisa diakses publik dan paling lama dalam waktu 3 bulan semua peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan pelaksana dalam undang undang ini harus sudah ada, potensi ketergesaan perumusan dan rumusan bermasalah akan muncul kembali.”