Di Jembatan Charles, Sore Itu
Oleh: Wahid Kurniawan
Bagi Ben, bekas tanah airnya sekaligus negeri asalku itu bagai gurun pasir penuh ular. Tak ada apa-apa yang bisa kau harapkan darinya, baik untuk tempat tinggal maupun sekadar persinggahan. Itu ia tunjukkan selepas menemaniku pulang ke Surabaya. Ben membenci setengah mati cuaca panas di kampung halamanku itu. “Dan yang terpenting,” katanya, “aku seperti dikelilingi manusia berkepala ular.”
Ben mungkin sedikit sinting. Tempat yang dia kunjungi adalah rumah masa kecilku, dan itu artinya, manusia berkepala ular yang ia maksud meliputi ayah, ibu, adik, dan tetanggaku. Kurang ajar betul. Aku ingin marah, menyemprotnya dengan aneka rupa frasa binatang, tapi urung sebab berteriak begitu di dalam pesawat justru menjadikanku tampak lebih sinting dari dia. Apalagi, aku mafhum dengan sikapnya. Bisa kupahami kebenciannya itu. Ben sejak kecil menyimpan sakit hati terhadap tanah kelahiranku. Ayahnya diaspora yang dicampakkan negara dan karenanya ia tumbuh dalam gelegak api yang telah menahun tersimpan dalam keluarganya.
“Negeri bekas komunis ini lebih baik dari diktator yang berkuasa tiga dekade lebih, Sarah. Untuk itu, setelah kita menikah, kau mesti tinggal di sini bersamaku.”
“Ben, sekarang hampir dua dekade berlalu sejak reformasi. Sudah banyak hal yang berubah.”
“Itu tak mengubah apa pun dari keputusanku barusan.”
Ben laki-laki yang kutemui ketika kali pertama menginjakkan kaki di tanah Praha yang dinginnya kelewatan ini. Tentu saja, aku ke sini bukan untuk liburan. Aku sedang dalam garapan penelitian tesisku tentang Franz Kafka serta pengaruhnya, dan dosen pembimbingku, Sir. Peter Scholze di University of Heidelberg, menyarankan untuk menggali masa lalu pacar Felice Bauer itu di kota ini.
Pertemuan kami pun terbilang klise, kala itu, dua tahun yang lalu, selepas pulang dari The Franz Kafka Museum dan naik trem menuju hotel yang kutempati di wilayah Old Town, kami satu trem. Dan ia mengikutiku sampai jauh dari pemberhentian kami. Ia pasti lelaki berengsek, instingku berkata. Namun, tidak, lelaki itu punya niat lain.
“Tolong berhenti.”
Aku mempercepat langkah. Sialnya, dia mengejar. Sampai ketika aku hendak masuk gang, sekonyong aku menabrak sebuah tubuh besar. Seorang lelaki bermata biru dan berambut keemasan, mendelik kepadaku. Kulihat beberapa orang muncul setelahnya. Aku dibuat mundur teratur.
Dan alangkah kurang ajarnya, saat itu, Ben tahu-tahu menggapai tanganku dan berujar, “Dia pacarku.”
Lima orang itu—lima atau enam aku lupa—pun beringsut menjauh. Satu kesadaran bak singa yang menyalahi aturan teritori seperti tergambar di wajah mereka.
“Ah, maaf, aku sudah berbuat lancang.” Ia buru-buru melepas pegangan tangannya. “Mereka sudah mengincarmu sejak tadi, jadi aku mengikutimu.”
Aku ber-oh pelan, tapi langsung menyahut dengan rikuh, “Terima kasih.”
Ben tersenyum. Aku tersenyum. Dan sejak saat itu kami jadi sering pergi bersama-sama. Awalnya ia kumintai tolong mengantarku ke beberapa tempat demi kepentingan penelitian, dan Ben sejauh ini selalu bersedia menemaniku. Apalagi, ia lebih mahir berbahasa Jerman ketimbang aku. Praktis naskah paper, buku, atau artikel asli menyoal Kafka pun dapat secara baik kupahami berkat dia. Lalu urusan jalan itu pun berubah kepentingan, sebab pada akhirnya, kami memutuskan untuk berpacaran.
Atas kebersamaan itu, seharusnya kami bisa jadi pasangan yang berbahagia, bukan? Aku rasa itu bisa terjadi dan kami bakal tetap langgeng, kalau saja di kepala kami tak ada sebongkah batu yang sekuat mungkin kami pertahankan ini.
***
Sekarang hari kesekian sejak Ben menghilang dan seperti perempuan patah hati yang coba mencari ketenangan di kota ini, jembatan di atas sungai Vltavamenjadi persinggahan yang tepat untuk berdiam diri. Angin Praha mendesis bangkit di sekitarku. Pemusik jalanan menyanyikan lagu berbahasa Jerman dengan nada tersayat-sayat. Pria tua itu seolah memahami betul suasana hatiku.
Aku melempar pandangan ke arah Kastil Praha, dan masih saja dibuat kagum dengan pemandangan yang bak negeri dongeng itu. Andai saja suasana hatiku sedang baik, sepuhan cahaya senja di atap gedung yang kemerahan dan kemilau biru di permukaan sungai itu pasti sayang untuk dilewatkan. Kuperhatikan patung St. John of Nepomuk yang bergaya Baroque itu, dan konyol, di mataku pandangannya seperti mengejek kemalanganku.
“Masa lalu memang menyakitkan ketika dikenang,” ujar pria separuh baya dengan cerutu bak kereta api yang berdiri dua meter dariku.
“Maaf?”
“Empat puluh tahun lebih aku hidup, sudah banyak perempuan dengan wajah mendung sepertimu yang kutemui di jembatan ini.”
Aku meringis.
“Tapi ada yang lebih menyedihkan dari kalian semua.” Ia membebaskan asap dari mulutnya. “Lihat, patung St. John of Nepomuk yang tampak menyebalkan itu.”
“Mengapa dengan patung itu?”
“Sungguh kasihan. Dulunya dia seorang uskup yang baik, tapi disiksa sampai mati, lalu dilempar ke sungai Vltava ini.”
Otakku langsung teringat sosok Virginia Woolf, yang mati bunuh diri dengan terjun bebas ke aliran sungai Ouse. Apa perlu kusebut sosoknya supaya pria sok ikut campur ini tercengang ada yang lebih menyedihkan nasibnya? Ah, tapi untuk apa? Kemalangan tak penting untuk dibanding-bandingkan, ini bukan kompetisi. Dan yang paling utama, ada perempuan lain yang tak kalah malangnya saat ini.
“Tapi dasarnya orang baik, sudah mati pun masih dibuatkan patungnya supaya orang-orang ingat,” lanjutnya.
“Barangkali, agar hal seperti itu tak terulang lagi.”
Ia tersenyum. “Benar sekali.”
Kami terdiam. Sedang pemusik jalanan itu mulai memainkan lagu keduanya. Kali ini lebih menyayat dan terdengar pilu.
“Dia pasti lelaki yang berengsek,” ucapnya tiba-tiba.
“Maaf?”
“Dia, yang sedang kaupikirkan itu.”
Aku meringis. Apa Ben berengsek? Aku meringis lagi, tentu saja. Ia meninggalkanku setelah sebulan yang lalu kami bertengkar hebat. Itu bukan yang kali pertama, memang. Sebelum-sebelumnya pun kami terbilang sering melakukannya mulai dikarenakan masalah sepele seperti lupa memberi kabar, sampai rasa cemburunya ketika ia mendapatiku berdiskusi bersama seorang teman pria. Namun, sepertinya pertengkaran terakhir ini yang benar-benar membuatnya berang.
“Ibu sakit di rumah, Ben. Aku harus pulang.”
“Kau berjanji pergi bersamaku ke pesta itu, Sarah! Itu pesta yang penting bagi kelanjutan karierku.”
Aku ingat, pesta itu menjadi penting karena menyangkut bisnis restoran peninggalan ayahnya. Ada orang yang ingin mengajak Ben bekerja sama untuk membuka cabang di kota lain. Dan benar, aku sudah berjanji untuk menemaninya.
Namun, seperti yang sudah kubilang, kami sama-sama keras kepala. Setelah kujelaskan betul duduk perkaranya, ibu yang sekarat, keluarga yang menunggu, tapi dia tetap pada pendiriannya. Benar-benar kepala batu. Aku tak habis pikir ada lelaki yang seperti tak punya hati macam dia. Bagaimana mungkin dia lebih mementingkan urusan pekerjaan ketimbang kemanusiaan?
“Pokoknya, aku pergi.”
Kuambil penerbangan paling awal ke ke tanah air. Namun sayangnya, secepat apa pun pesawatku mengarungi langit, dia tetap saja kalah dengan tangan maut yang lebih dulu menjemput Ibu.
Perempuan itu mengembuskan napas terakhir empat jam sebelum aku tiba di rumah. Perempuan berwajah teduh itu akhirnya pergi, meninggalkan anak perempuannya yang belum lagi mengabulkan permintaannya: Menikah. Disergap kesedihan mendalam, sebab semakin lama aku berada di sana udara seperti disesaki ribuan jarum, tiga hari kemudian aku kembali. Kembali ke kota penuh bangunan tua ini, kembali ke flat dengan bertumpuk-tumpuk kertas penelitian tesisku, dan ketika aku membutuhkan Ben di saat-saat terpurukku, untuk menyandarkan kesedihanku, untuk meneduhkan kemelut di benakku, wujud Ben tinggal secarik surat di atas meja.
Maafkan aku, Sarah. Kita memang tidak semestinya bersama.
Kuremas kertas itu dan kubuang ke kotak sampah. Aku terlalu kalut untuk mencerna ini semua. Semudah itukah dia pergi? Hanya gara-gara kecewa aku tak menemaninya? Namun, sampai detik ini Ben tak juga menjawabnya. Dia lenyap. Berulangkali kudatangi restoran miliknya, tapi tak sekalipun kudapati batang hidungnya di sana. Anak buahnya tak tahu-menahu ke mana atasannya pergi. Nomor teleponnya pun selalu mati.
Jadilah saban sore kubunuh waktu sebagai perempuan malang di jembatan Charles ini.
Aku mendesah, menoleh ke arah pria paruh baya itu. “Anda punya sebatang rokok?”
“Sebentar.” Ia tampak sibuk memeriksa seluruh saku di pakaiannya.
Sekonyong aku ingat Ben lagi. Kalau dia ada di sini, jelas dia memarahiku soal rokok itu, sebab dia pernah memintaku untuk berhenti merokok. Namun, saat ini bukan saatnya untuk memikirkan Ben. Aku hanya ingin pria paruh baya ini pergi.
“Ah, sepertinya aku meninggalkannya. Aku beli dulu. Tunggu, ya.”
Aku tersenyum. Pria paruh baya itu setengah berlari menuju kios di sisi lain jembatan, dekat pusat sana. Tak ingin membuang waktu lagi, aku mencengkram beton jembatan setinggi dada ini, lalu mengangkat sebelah kakiku. Kini tinggal satu gerakan lagi sebelum permukaan sungai Vltava berdebum keras. Kini tinggal satu tarikan napas lagi sebelum adrenalinku tuntas. Kini tinggal satu kerjapan mata lagi sebelum aku terjun bebas. Kemudian, aku melakukannya.
*Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.