Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Demokrasi Indonesia di Titik Nadir

Demokrasi Indonesia di Titik Nadir



Berita Baru, Jakarta – Dalam sebuah webinar bertema “Koalisi Besar Menuju Demagog Otoriter” yang diselenggarakan oleh LP3ES dan Universitas Paramadina pada Sabtu (18/5/2024), Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, dan Direktur Eksekutif LP3ES, Wijayanto Samirin, mengangkat isu kritis mengenai kemunduran demokrasi di Indonesia dan dunia.

Didik J. Rachbini mengungkapkan bahwa saat ini, Indonesia tengah mengalami kemunduran demokrasi yang signifikan pasca Pilpres 2024. Menurutnya, fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di berbagai negara lain seperti Rusia, Amerika Serikat di era Trump, India, Myanmar, dan kembalinya dinasti Marcos di Filipina.

“Meskipun demikian, tetap harus ada sekelompok masyarakat sipil yang kritis yang menyikapi dan menolak terjadinya kemunduran demokrasi tersebut. Kemunduran demokrasi boleh terjadi di mana saja, tetapi jika masyarakat di suatu negara tidak menghendaki itu terjadi, maka kemunduran demokrasi bisa dicegah,” ujarnya Didik saat memberikan pengantar diskusi.

Rektor Universitas Paramadina tersebut menekankan bahwa jika masyarakat sipil cukup kritis dan vokal dalam menyuarakan penolakan terhadap kemunduran demokrasi, maka pemimpin negara akan canggung menjalankan praktik-praktik anti demokrasi kecuali pemimpin yang lupa ingatan.

Didik juga menyerukan agar para intelektual segera melakukan langkah-langkah kritis untuk menegakkan aturan hukum dan mekanisme check and balance.

“Harus dibiasakan mengadu gagasan vs gagasan, bukan melanjutkan praktik-praktik otoritarian dan kesewenang-wenangan terhadap APBN. Praktik-praktik tidak terpuji itu bisa dicegah apabila check and balances berjalan dengan baik di parlemen,” tambahnya.

Di sisi lain, Wijayanto Samirin menyatakan bahwa dari segi demokrasi, ekonomi politik, dan aspek lainnya, Indonesia sedang berada di titik nadir. Ia mengibaratkan dunia politik seperti toilet dalam satu rumah yang kotor dan berbau, dengan air kotor yang menyebar ke seluruh bagian rumah.

“Malangnya, yang terjadi saat ini, adanya politisasi yang luar biasa atas birokrasi. Dulu, masih bisa disebut birokrasi netral secara politik, tetapi sekarang, birokrasi dipakai sebagai alat politik. APBN-APBD dipakai sebagai amunisi politik,” ujar Wijayanto.

Wijayanto juga menyoroti bahwa koneksi telah menggantikan efisiensi dalam sektor bisnis. Proyek-proyek besar kini lebih sering dilakukan melalui koneksi ketimbang melalui tender terbuka.

“Terlebih sayang, ‘ruang tamu’ rumah, ikut kotor sekali. Dunia akademik perguruan tinggi, civil society semakin banyak yang takut bicara. Terpengaruh oleh politisasi,” ujarnya.

Ia juga memperingatkan bahwa kasus korupsi di Kementerian Pertanian merupakan wajah paling buruk dari birokrasi Indonesia. “Korupsi di Kemen Pertanian bisa jadi terjadi di tempat lain birokrasi. Karena typology korupsi di Indonesia seperti puncak gunung es,” tegasnya.

Kondisi ekonomi yang semakin tergantung pada sumber daya alam (SDA) juga menjadi perhatian. Wijayanto menjelaskan bahwa meskipun pengungkapan ke publik selalu menampilkan hal-hal baik, fundamental ekonomi domestik sebenarnya sangat rapuh.

“Pertama, semakin tergantung pada SDA, padahal negara-negara ASEAN sudah mengekspor teknologi tinggi, kita masih berkutat dalam ekspor komoditas/bahan mentah (60% ekspor komoditas). Sedang terjadi penurunan global supply chain dan bukannya menaik,” jelasnya.