Cuma Dengung Lalat yang Betul-betul Nyata | Cerpen: Kiki Sulistyo
Kamu akan pulang untuk menikah. Ibumu bilang: “Jangan pulang. Nanti kamu dipaksa menikah.” Namun, kamu akan pulang, sebab ayahmu menyuruhmu pulang. Ayahmu lebih penting dari ibumu. Kamu hendak menunjukkan sesuatu: kepalamu yang gundul. Waktu seorang teman bertanya: “Kenapa gundul?” Kamu menjawab: “Aku trauma.” Kamar indekosmu sangat berantakan, barang-barang dan perabotan berserakan di lantai. Kap lampu, saklar, stop kontak di plafon dan dinding rompal semua. Ada beberapa potret, dan gambar-gabar yang kamu buat, semuanya miring atau terjungkir. Di dekat jendela ada sebuah meja kayu yang lembap. Sebiji apel tergeletak di atas meja itu. Kamu sempat menawarkan apel kepada temanmu, tapi temanmu hendak ke kamar mandi. Kran kamar mandi rusak. Temanmu terpaksa menahan mulas, sebab tak ada air di dalam bak mandi.
Hari-hari biasa, di tengah kesibukan kuliah, kamu biasa menggambar. Bukan menggambar manusia, melainkan menggambar binatang. Bukan binatang yang hidup, melainkan binatang yang mati. Kamu senang menggambar binatang yang sudah mati. Semua binatang masuk neraka, begitu kata seseorang. Apakah nanti aku juga masuk neraka? Kalau kamu memihak ayahmu mungkin kamu akan masuk neraka, sebab surga ada di telapak kaki Ibu. Dan ibumu melarangmu pulang. Sering nasihat-nasihat ibumu membusuk, tak ada yang mendengar. Dalam nasihat-nasihat yang busuk mungkin ada larva lalat. Serangga itu suka pada semua yang busuk.
Temanmu duduk menghadap meja dan di atas meja itu ia membuka mesin tulis. Tak ada lalat dalam mesin tulis. Namun, ada kata lalat. Lalat berbeda dengan kata lalat. Kata lalat tak bisa terbang. Ketika temanmu membacakan kalimat yang di dalamnya terkandung kata lalat; sebuah penggalan dari ayat suci, kamu mulai membayangkan lalat. Tentu saja lalat yang sudah mati. Lalat yang sudah mati terbang ke sana kemari, seakan-akan ia masih hidup. Kamu membayangkan: lalat yang sudah mati itu memasuki kepala seorang perempuan, yang tak lain adalah ibumu sendiri. Ayahmu selalu menelepon. Kamu harus pulang. Namun, ibumu melarang. Karena larangan itu lalat masuk ke kepala ibumu.
Kamu meraih apel. Tapi sudah tak ada dagingnya. Kamu bertanya: “Lho, habis?” Temanmu bilang: “Bukan aku yang menghabiskan.” Kamu juga bilang bukan kamu yang menghabiskan. Mungkin apel dimakan binatang. Bukan binatang hidup, melainkan binatang yang sudah mati. “Binatang apa?” tanya temanmu. “Nenekku!” jawabmu dengan tanda seru menancap di lidah. Temanmu tampak ketakutan lalu buru-buru pulang. Ia bilang tak bisa lagi menahan mulas di perutnya.
Setelah temanmu pulang, telepon pribadimu berbunyi.
“Halo?”
“Ini Ibu. Jangan pulang. Ibu sudah tahu kepalamu gundul. Belilah meja baru dan kerjakan beberapa hal.”
Telepon ditutup.
Dulu, sewaktu remaja, ibumu adalah anak durhaka. Ia suka memaki-maki ibunya. Nenekmu sempat mengutuk ibumu, tapi ibumu tidak menjadi batu. Ibumu bertemu seorang laki-laki yang baru tiba entah dari mana dan, di permukiman tempat ibumu tinggal, laki-laki itu bekerja sebagai pengangkut batu kali. Di kawasan itu memang ada kali, dan di kali ada batu-batu. Setelah ibumu dan laki-laki itu menikah, nenekmu mati. Kematiannya agak tragis. Ia hanyut di kali waktu musim hujan. Sebetulnya, tak ada yang sungguh-sungguh tahu apakah nenekmu memang mati atau tidak. Sebab mayatnya tak ditemukan. Ada yang bilang nenekmu moksa. Namun, ada juga yang bilang nenekmu telah berubah menjadi batu, sebab tak tahan pada anaknya yang durhaka.
Umur lima tahun kamu mulai suka bermain di kali, terutama saat musim basah. Di kali, selain berendam dan berenang, kamu juga suka bermain-main di sekitar sebuah batu besar. Kamu berbicara dengan batu itu seakan-akan batu itu adalah nenekmu. Setiap kali kamu melakukan itu dan tak sengaja kamu melihat kedua orang tuamu sedang menatapmu, kamu melihat mereka tampak terharu. Seperti ada arwah serangga-serangga kecil keluar dari mata mereka.
Setelah bertambah usia, kamu mulai punya kegemaran lain, yakni mengumpulkan binatang-binatang mati. Tak jarang kamu menjajarkan bangkai anak burung, kumbang, ikan kecil, siput, serta laba-laba, di tepi kali. Anak-anak seusiamu terheran-heran. Pada mulanya mereka tertarik, tapi lama-lama mereka merasa ada yang salah dengan kegemaranmu itu. Kadang kamu ikut berbaring bersama binatang-binatang mati itu seakan kamu juga sudah mati.
Saat kamu berusia lima belas tahun, orangtuamu bercerai. Ketika kamu bertanya kepada ibumu, ia bilang: “Ayahmu itu sudah durhaka!” Ketika kamu bertanya kepada ayahmu, ia bilang: “Ibumu itu macam batu!”Kedua pernyataan itu dilengkapi tanda seru yang sangat tajam, sehingga telingamu terasa ditusuk-tusuk. Sakit, tapi entah bagaimana, juga menyenangkan. Karena itu, pada saat-saat tertentu kamu mengambil jarum dan menusuk-nusuk telingamu agar tanda seru itu tak keluar dari telingamu. Tentu saja telingamu kerap luka, mengeluarkan darah, dan memasukkan rasa nyeri ke dalam jaringan sarafmu. Mengetahui perbuatanmu itu, ibumu marah dan mengira kamu durhaka. Mengetahui itu, ayahmu marah dan mengira kepalamu sudah berubah jadi batu. Namun, karena keduanya sama-sama marah, meskipun sudah bercerai, mereka kembali tinggal bersama.
Sedikit flashback; jadi setelah memutuskan bercerai, ayahmu mengambil warisannya, sebuah rumah tua di kota kabupaten. Setelah tahu kamu suka menusuk-nusuk telingamu, ibumu datang membawamu, dan kemudian tinggal di rumah ayahmu itu. Ayahmu diterima bekerja sebagai penjaga madrasah, dan kamu bersekolah di tempat ayahmu bekerja. Setelah lulus dari madrasah, kamu melamar di sebuah universitas.
Suatu hari ada seorang laki-laki yang datang. Laki-laki itu sudah tua. Tampaknya cocok menjadi kakekmu. Ia mengenakan topi letnan coklat muda, setelan formal dengan benang-benang emas, dan sepatu berujung lancip macam sepatu jin. Wangi parfum yang tak kalah tajam dari ujung jarum menguar dari tubuhnya. Namun, sungguh mengherankan, wangi parfum itu malah mengundang lalat. Satu persatu serangga itu masuk rumah dan berputar di sekitar laki-laki itu. Laki-laki itu mengaku hendak melamarmu. Ia juga bilang bahwa ia sudah mendapat restu dari orangtuamu. Namun, karena kedatangan laki-laki itu tepat di hari ketika kamu harus berangkat ke pulau seberang untuk melanjutkan pendidikan tinggi, kamu cuma sempat memperkenalkan dirimu.
Kamu pergi membawa dua kopor. Satu berisi pakaian, satu lagi berisi koleksi binatang mati. Hari pertama indekos di pulau seberang kamu langsung menumpahkan semua koleksi binatang matimu di kloset. Lantas kamu tidur. Kamu tidak bermimpi. Tidurmu kosong. Mungkin kamu juga tidak akan terjaga seandainya teleponmu tidak berbunyi.
“Halo?”
“Ini Ayah. Pulang. Kamu harus menikah.”
Telepon ditutup.
Kamu mengabaikan permintaan itu. Selanjutnya, hari-harimu berlalu dan kamu mengisinya sebagaimana para mahasiswa mengisi hari-hari mereka. Kamu mengikuti semua mata kuliah dengan rajin, kamu juga terlibat dalam beberapa organisasi. Lantas kamu mulai suka menulis. Awalnya menulis puisi, tapi lama-lama kamu berpikir puisi itu tak ada manfaatnya. Lantas kamu menulis artikel-artikel kritis, tapi itu pun tak ada manfaatnya. Sementara itu telepon pribadimu berdering setiap hari; kalau telepon datang dari ayahmu, ia cuma meminta kamu pulang untuk menikah. Setiap kali telepon dari ayahmu kamu terima, beberapa saat kemudian telepon dari ibumu juga tiba. Dan ia cuma meminta kamu jangan pulang. Kamu tak pernah menanggapi keduanya.
Kamu menambah kesibukan dengan secara rutin membersihkan dan merapikan kamar indekosmu. Dengan penghasilan dari membantu penelitian dosen, kamu bisa membeli perabotan dan barang-barang lain. Kamu menyayangi barang-barang dan perabotanmu. Namun, kamu merasa kesepian. Pelan-pelan seluruh kehidupan jadi serasa sia-sia belaka. Setiap kali perasaan kesepian itu datang, perasaan itu diiringi oleh suara dengung lalat. Kadang-kadang kamu merasa cuma dengung lalat yang betul-betul nyata. Kamu jadi merindukan koleksi binatang mati yang sudah kamu buang. Karena kesepian dan kerinduan itu kamu mulai menggambar binatang-binatang yang sudah mati. Namun, lama-lama semua itu pun jadi membosankan. Kamu mulai berpikir untuk memenuhi permintaan ayahmu sekaligus mengabaikan permintaan ibumu.
Suatu hari seorang perempuan tua datang mengunjungimu. Seluruh tubuh perempuan itu basah. Kakinya yang telanjang, sampai sebatas lutut, berlumur lumpur. Perempuan itu bertanya: “Apakah kamu mengenaliku?” Kamu mengangguk. Sekonyong-konyong kamu diserang oleh perasaan senang, mirip kesenangan seorang bocah. Semangat hidupmu membuncah bagai air kali di musim basah. Semangat yang membuatmu, dengan kesadaran penuh, mencukur rambutmu sampai gundul. Kamu kegirangan dan terpikir mengundang semua temanmu untuk merayakan kegiranganmu.
Semenjak itu si perempuan tua tinggal bersamamu. Dan semenjak perempuan tua itu tinggal bersamamu, satu-persatu barang-barangmu mulai rusak. Terakhir adalah kran air di kamar mandi.*
Kekalik, 7-11 Juli 2022
Kiki Sulistyo lahir di Ampenan, Lombok. Buku kumpulan cerpennya adalah Belfegor dan Para Penambang (2018), Muazin Pertama di Luar Angkasa (2021), dan Bedil Penebusan (2021).