Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store
Ilustrasi: Nicholas Wilton

Catatan dari Bawah Tanah | Puisi-Puisi Dimas Julian Anggada



Catatan dari Bawah Tanah

hidup yang kita jejaki ini kadang cuma kekosongan, kadang
juga bisa menghancurkan, tetapi apa yang bisa dilakukan?
bagaimana kita bisa menerima, atau dengan cara apa agar
hakikat menjadi jelas, itu cuma jadi rahasia.

kita masih di sini, masih mencoba bangun menyusun
kenangan, masih tetap meminum teh atau kopi, dan masih
menjaga agar tempat kita berdiri tidak goyah. namun waktu
tetap membelah dua dunia dan dunia tetap terjaga pada
porosnya, terus-menerus, sehingga terkadang kita lupa telah
mengikutinya.

kata orang, Tuhan akan turun dan mengempaskan bulu-
buluNya ke seluruh laut-benua. mungkin itu akan terjadi
ketika alam telah jadi dingin, ketika segalanya, termasuk
jiwa, telah jadi segumpal kelam. bayangkan itu terjadi,
mungkin Ia akan kaget—tetapi apakah Tuhan bisa kaget?—
ketika tiada lagi yang menoleh kepadaNya, ke hamparan
kelabu yang seperti genangan di atas kepala kita?

2023

Tempat Kita

hari-hari pun berlalu, seperti berlari, dengan cepat sekali.
apa yang dilewatinya adalah banyak hal tak terduga,
dan itu, tiada yang bisa memperlambatnya, walaupun
sekeras apapun hentakan yang mengganggu

tempat kita ini, adalah degup di dalam jantung.
dan kota, mengalir seperti darah, memompa segala
untuk segera bangun. setiap hari, perjumpaan demi
perjumpaan cuma sebatas kata yang tertelan.

di bawah naungan etalase besi, tempat-tempat menjulang,
di sana kita mencari lelah. pada ketinggian tersebut, kesabaran
selalu memuncak bagai tungku. dan kita di sana hingga senja
terlihat pucat, seakan berhenti untuk menolehkan pancarannya

di atas langit, doa yang kita ucap mungkin kesasar,
atau mungkin nyangkut pada sesuatu yang entah.
kiranya tak sampai, kita masih baik-baik saja.
muak pun pasti, kesal bahkan putus asa sudah
biasa kita rasakan di sini.

dunia adalah wahana untuk membangun mimpi-mimpi yang
tak nyata. juga sebenarnya, kita ini mudah pecah-belah:
jiwa kita tak tetap. banyak alasan untuk jangan mati dulu.
rampungkanlah kematian itu ketika kita sudah lupa untuk
bertanya banyak lagi.

2023

Apalagi yang Bisa Dilakukan Pagi Ini?

tiada yang bisa kau kenali lagi pada pagi ini.
burung gereja berhenti berkicau seperti biasa,
dan angin menderu dengan suara langka persis
geraman gas motor yang ditahan.

matahari, cahaya pertama ini, tampaknya tidak
muncul pada pukul enam. sedangkan awan, sedang
berusaha menahan agar airnya tidak tumpah, dan itu
menyebabkan ia murung sejak malam.

apalagi yang bisa dilakukan pagi ini selain bekerja
kepada nasib? kita bangun dan menyadari wajah
membentuk dua celah, satu untuk dunia dan satu
untuk rahasia.

sepanjang perjalanan ini, cinta dan kesusahan hadir
untuk kita. satu per satu, di dalam fananya ini, ada
banyak rupa-rupa selalu menunggu dan ingin
menjumpai siapa pun kita.

apa jadinya kita di hadapan hidup ini jika tanpa berpegangan?

2023

Tentang Hujan

hujan akan deras nanti, tetapi setelahnya,
kekecewaan akan menyergap, menawan
kita yang pernah lupa pada waktu

hujan akan menghapus kita, menebas dengan
airnya, lalu mengguyur dengan kencang seperti
air terjun yang meluap

dan ada bandang yang menerpa kita, dan kita
saling menggayuti tangan masing-masing,
diam-diam menggenggam harap kepada takdir

kita pernah saling menakar sepi,
menghitung seberapa berat kesunyian ini
ketika di tengah keramaian kita masih bersembunyi

2023

Kembali

kembali aku ke kota ini,
setiap tempuh juga setiap penjuru
aspal mengepul benih-benih asap.
orang-orang melindur di atas kendaraan,
menutup pandangannya, dan menghindar
dari sisi-sisi gedung yang menguar panas
bekas tahun-tahun yang penuh
tanpa hujan.

apalah aku di jalan yang tak habis-habis ini?
cerita selalu tumbuh dan bercabang
dari mulut-mulut tak kenal takut.

ada derap yang berbisik, sehingga lelah
tidak perlu diungkap lagi

aku kenal mereka yang langkahnya tak bersuara.
bibir mereka pecah, tergantung kantong beras
di pundak-pundaknya, dan mereka akan selalu diam
dengan peluh yang mengalir darah.

mata mereka juga terlihat kering, tapi aku tahu,
di kedalaman yang tak berujung, mata itu diam-diam masih
merintik pelan.

2023


Dimas Julian Anggada lahir di Pondok Pinang, Jakarta Selatan, 19 Juli 1998. Alumnus Sastra Indonesia di Universitas Pamulang. Hobi menonton film dan membaca buku, khususnya sastra. Beberapa karya puisi pernah dimuat di media Omong-omong Media. Bisa disapa melalui Instagram dan Twitter: @dimasanggada