Beribu Batu | Cerpen: Puspa Seruni
Setiap melewati gapura kembar di pintu masuk halaman rumah, aku akan menoleh pada sebuah batu sebesar sapi yang ada di sisi kanannya. Batu itu hitam, mengkilap dan bisu. Selalu bisu dan selalu ada di sana menyambutku sepulang sekolah. Uniknya, batu itu bisa berpindah tempat di dalam rumah sesuai dengan kebutuhanku dan Bapak. Kadang di dapur, di kamar, di teras, bahkan sesekali di lantai menemani kami makan.
Sebenarnya aku tak butuh batu, aku lebih butuh seorang Ibu yang bisa membantuku mengerjakan pekerjaan rumah, mengambil raport di sekolah, mengusap kepala saat aku tidak bisa tidur malam hari, atau yang akan menjewer telingaku saat aku nakal. Aku kerap merasa iri ketika teman-teman bercerita bahwa mereka sering dimarahi ibunya jika terlambat pulang sekolah atau terlalu lama bermain di sawah.
Batu itu menemaniku setiap malam. Sepanjang malam aku hanya bisa memandanginya sambil berharap batu itu tersenyum atau mungkin bersuara sehingga kami bisa berbicara. Akan kuceritakan kepadanya perihal sulitnya mengerjakan soal matematika hingga betapa menyebalkannya berkawan dengan Jayan yang suka mencela. Aku juga sering berharap batu itu memberiku ucapan selamat malam, memeluk dan mencium keningku sebelum aku tidur, seperti gambaran seorang ibu di televisi yang menyayangi anaknya. Meski semalaman aku memandanginya, batu itu tetap bisu. Tidak ada senyum, suara, apalagi kecupan. Aku akan lelap sendirian dalam keheningan.
Kebisuan batu bukan hanya menjengkelkanku tetapi juga Bapak. Pernah suatu kali, Bapak pulang dari laut dengan muka masam. Katanya jaringnya tersangkut batu karang sehingga tidak ada seekor ikan pun yang bisa dibawa pulang. Wajah Bapak kusut apalagi harga solar baru saja naik dan Bapak sudah menggerutu sejak sore sebelum keberangkatan. Melihat batu yang bisu di sudut ruangan, membuat Bapak menemukan tempat untuk melampiaskan kekesalan.
Jika Bapak mulai mengamuk, biasanya aku akan masuk kamar dan diam-diam mengintip dari balik pintu untuk menyaksikan bagaimana Bapak meringis kesakitan karena tangannya menghantam batu. Aku heran, tidak habis pikir, mengapa Bapak mau menyiksa diri sendiri dengan memukul batu. Batu itu salah apa? Batu itu semalaman bersamaku di rumah, dia tidak ikut melaut, dia tidak tahu menahu perihal jaring yang tersangkut.
Meski tangan Bapak berdarah setiap kali memukul batu, dia seolah tak jera dan tetap melakukannya. Saat pulang melaut tidak membawa ikan, Bapak akan memukul batu. Saat rumah terlihat berantakan, Bapak akan memukul batu. Saat nilai-nilai sekolahku jelek, Bapak akan memukul batu. Apalagi saat ada yang menagih utang padanya, Bapak akan memukul batu lebih keras lagi. Batu menjadi pelampiasan kekesalan Bapak.
“Harga-harga semakin naik, laut sepi, ekonomi semakin sulit,” kata Bapak keesokan harinya setelah kemarahannya reda. Dia mengajakku ke pantai untuk membenahi jaring yang rusak. Sudah satu bulan Bapak pulang melaut tidak membawa ikan. Utangnya pada Haji Dullah sudah menumpuk: utang membeli solar, utang membeli beras, bahkan utang untuk membayar uang sekolahku. Kata Bapak, ikan-ikan semakin sulit ditangkap, mungkin bersembunyi di antara botol-botol dan sampah plastik yang ikut berenang di laut.
“Kenapa botol-botol ikut berenang? Apa mereka punya insang?” tanyaku heran.
Kata Bu Guru hanya yang punya insang yang bisa berenang di lautan, kecuali ikan paus yang hidup di laut menggunakan paru-paru. Apa botol plastik termasuk golongan mamalia seperti ikan paus?
“Tidak hanya botol yang bisa berenang di laut, ada bungkus makanan dari plastik, kresek, ban bekas, sepatu bekas, pakaian bekas juga berenang di lautan. Meski mereka tidak punya insang, mereka bisa tinggal di laut sampai puluhan tahun,” kata Bapak.
Aku semakin mengerutkan kening. Banyak pertanyaan yang melayang-layang dalam pikiran; apa mereka akan sama seperti ikan, bisa beranak pinak di lautan? apakah mereka pindah ke lautan karena di darat mereka sering di bakar di tempat pembuangan sampah sehingga mereka mencari tempat yang lebih nyaman? Aku mulai membayangkan, semua sampah yang Bapak sebutkan akan memenuhi lautan, mungkin membuat kampung atau kota sendiri di tengah sana. Meski bingung, aku manggut-manggut, berpura-pura paham.
“Sepertinya aku harus cari pekerjaan lain,” lanjut Bapak sambil memandang ke tengah lautan. Mungkin dia sudah menyerah karena laut semakin lama semakin tidak ramah dan ikan-ikan lenyap entah ke mana.
Sejak itu, Bapak memutuskan untuk mencari pekerjaan baru. Ke sana ke mari, menawarkan tenaganya di pelabuhan atau di tempat penimbangan ikan. Akan tetapi, kondisi laut yang sepi membuat kegiatan di pelabuhan atau tempat penimbangan ikan juga ikut mati. Tidak mendapat pekerjaan yang bisa memberinya penghasilan, Bapak tiba-tiba memiliki sebuah rencana. Rencana itu disampaikannya kepada batu.
“Aku mau kerja ke luar negeri saja, bagaimana menurutmu? Menyusul Miswar jadi TKI atau kerja di kebun kelapa sawit di Kalimantan? Mana yang lebih enak?” Suara Bapak terdengar lirih. Pembicaraan Bapak dan batu seperti sedang mempertontonkan sebuah keputusasaan, seperti halnya aku yang selalu mengajak batu bicara meski nyatanya batu tidak pernah bersuara.
LekMiswar itu tetangga sebelah, sudah lima tahun pergi bekerja di luar negeri. Entah di mana aku tidak tahu tepatnya, mungkin di Arab, Malaysia, Jepang atau di mana. Akan tetapi yang pasti, setiap tahun ada saja yang dibeli oleh keluarganya. Televisi ukuran besar, kulkas, motor baru hingga sawah. Kata Bapak, LekMiswar itu dahulu juga seorang nelayan yang juga melarat sama seperti Bapak. Namun, kondisinya berubah setelah dia menjadi TKI. Lek Miswar mulai dikenal sebagai orang kaya di desa karena ukuran tivi di rumahnya sudah sama dengan tivi di rumah Pak Kades. Akan tetapi, kepulangan Lek Miswar yang mendadak dalam kondisi yang mengenaskan membuat Bapak mengurungkan niatnya menjadi TKI. Harapan Bapak untuk bisa bekerja di luar negeri pupus sudah.
Bapak yang tanpa penghasilan, membuat kondisi keluargaku semakin sulit. Keadaan itu memicu Bapak lebih sering memukuli batu. Hampir setiap sore aku mendengar Bapak memaki-maki batu, menendangnya bahkan melemparnya ke tembok. Bapak semakin kesal karena batu tidak berguna, tidak membantunya mencari nafkah dan hanya diam teronggok di rumah. Kadang aku berpikir, jika memang tidak berguna, mengapa Bapak terus menyimpan batu itu? Kenapa tidak dibuang saja.
Eh tunggu, bukankah kata Bapak batu itu adalah Ibu. Batu harus tetap di rumah karena dia yang akan menemaniku saat Bapak bekerja. Akan tetapi, aku kasihan kepada Bapak karena tangannya selalu luka setelah memukuli batu. Aku juga tidak tega melihat batu bisu itu selalu jadi pelampiasan kemarahan Bapak. Hubungan Bapak dan batu membuatku bingung.
“Ah, itu sudah biasa. Kalau kamu sudah besar nanti dan menikah, kamu pasti tahu bagaimana rasanya menjadi Bapak. Laki-laki itu kepala keluarga, tugasnya mencari uang. Kalau di rumah ada yang tidak beres, kita pantas marah, kan,” jawab Bapak saat aku bertanya kepadanya mengapa Bapak selalu memukuli batu.
Aku mengangguk-angguk, pantas saja laki-laki diciptakan memiliki otot-otot yang liat dan tenaga yang jauh lebih kuat, rupanya selain berguna untuk mencari nafkah juga untuk membenahi ketidakberesan di rumah. Akan tetapi, perkataan Bapak membuatku takut untuk segera dewasa. Aku tidak punya otot yang liat bahkan teman-teman di sekolah sering meledekku sebagai anak laki-laki penakut karena lebih sering diam mengkeret saat dijadikan bahan olokan. Aku takut tidak bisa sekuat Bapak, yang sanggup membenahi ketidakberesan di rumah dengan ototnya. Atau sebaiknya aku menjadi batu saja? Cukup diam di pojokan sambil menunggu Bapak pulang?
Seingatku dahulu tidak ada batu di rumah kami, hanya ada Ibu. Namun, kejadian beberapa bulan lalu membuat ibuku menghilang dan digantikan oleh sebuah batu. Aku ingat, sore itu Bapak pulang ke rumah dengan wajah letih. Keletihan itu berubah menjadi kemarahan saat dia tidak menemukan Ibu di rumah. Bapak mencarinya ke mana-mana, ke kamar, ke dapur, hingga ke kandang kambing di halaman belakang. Setelah lelah mencari, Bapak menghampiri dan mulai bertanya kepadaku yang sedang bermain sendirian di bawah pohon mangga.
“Mungkin di rumah Lek Marsih. Kalau siang biasanya di sana,” kataku dengan acuh dan masih sibuk dengan mainanku.
Setelah mendengar jawabanku, Bapak bergegas ke luar halaman. Melihat wajah Bapak yang merah padam, aku meninggalkan mainanku dan bergegas mengikutinya yang sedang berjalan menuju rumah Lek Marsih. Tiba di sana, Bapak menampar Ibu di hadapan beberapa tetangga. Ibu melawan, tetapi justru semakin mendapat cengkeraman kuat pada pangkal tenggorokannya.
Lek Marsih dan beberapa tetangga yang melihatnya tidak melakukan apa-apa. Mereka justru terburu-buru masuk ke dalam rumah masing-masing. Aku melihat mereka mengintip kami—yang masih di halaman rumah Lek Marsih—dari balik tirai jendela. Tidak ada yang berani menyelamatkan Ibu. Saat aku mulai menangis dan meminta LekMarsih melakukan sesuatu, dia menolak. Katanya, itu bukan urusannya, dia tidak mau ikut campur.
Bapak mulai menyeret Ibu untuk pulang. Sepanjang jalan, Ibu mengadu dan aku mengikuti mereka sambil tersedu.
“Dasar tak tahu diri, aku tinggal kerja, enak-enakkan di sini, main mata sama yang lain, hah?”
Bapak mendorong Ibu ke dinding. Suara Bapak menggema keras, otot-otot lehernya bertonjolan keluar. Melihat mata Bapak yang kemerahan, Ibu tidak lagi mengadu. Hanya isak tangisnya yang terdengar pilu. Aku yang sudah sejak tadi masuk ke kamar, mengkerut di balik pintu saat suara gedebuk terdengar berkali-kali. Setelah tidak ada suara teriakan Bapak, aku membuka pintu kamar pelan-pelan. Bapak sudah tidak ada di ruang tamu, begitu juga Ibu. Hanya ada batu yang berserakan di lantai.
Aku berdiri bingung. Kuhampiri pecahan batu itu, kupungut satu per satu dan kukumpulkan. Kubuka kaus yang kukenakan dan merentangkannya di atas lantai. Kuraup tumpukan keping batu itu dan kuletakkan di atas kausku. Aku mau membawa batu itu ke toko Wak Hasan, siapa tahu dia menjual lem yang bisa merekatkan batu-batu. Sejak saat itu, aku beribu batu. Tidak ada lagi ibuku yang suka mengomel. Hanya ada batu hitam yang bisu.
Aku berjalan ke luar rumah, bersama pecahan batu-batu yang kuletakkan di kausku. Sepanjang jalan aku teringat tangisan Ibu malam-malam sebelumnya.
“Kita pergi dari sini, ya?” ucapnya suatu malam.
“Ke mana, Bu?” sahutku cemas. Aku tidak mau meninggalkan rumah, aku tidak mau bolos sekolah apalagi sampai harus jauh dari teman-temanku.
“Ke mana saja,” jawabnya gamang.
Seingatku, Kakek dan Nenek juga paman-pamanku tidak mau menampung Ibu. Mereka berulang kali menyuruh Ibu diam di rumah, bersama Bapak dan juga aku. Bahkan saat Ibu bercerita perihal perlakuan Bapak kepadanya, Kakek memarahinya dan mengatakan bahwa Ibu terlalu banyak mengeluh. Nenek juga mengatakan, Ibu tidak akan bisa masuk surga kalau banyak melawan Bapak.
Aku menyesal tidak pernah punya nyali menyelamatkan Ibu dari kemarahan Bapak. Bahkan aku bersikap sama seperti orang lain yang menyalahkan Ibu setiap Ibu bercerita perihal perlakuan Bapak kepadanya. Bapak telah mengutuk Ibu menjadi batu dan aku harus menerima jika harus beribu batu.
Puspa Seruni, penulis kelahiran Situbondo-Jawa Timur yang saat ini menjadi pengajar di Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana, Bali. Penulis terpilih sebagai Emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022.