Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Sebelumnya Juga Paman Bukan Manusia | Cerpen: Hayatunnisa
Ilustrasi: Sonja Blaess

Sebelumnya Juga Paman Bukan Manusia | Cerpen: Hayatunnisa



Paman sialan yang sangat kubenci baru saja menjadi batu setelah Nenek mengutuknya. Kutukan itu adalah jelmaan amarah terpendam Nenek yang tumpah ruah hari ini. Sayangnya Nenek bukan pendendam sejati (tidak sepertiku), kini ia malah menangis meraung-raung sambil memeluk patung batu anak durhakanya. Ibu juga menangis sambil memegangi bahu Nenek, berusaha menguatkan. Padahal tidak terhitung jumlahnya berapa kali Paman menyakiti Ibu, untuk apa pula Ibu ikut menangis seperti itu.

Sepertinya hanya aku yang menjadi pendendam sejati di sini. Sangat menggelikan rasanya ketika melihat patung batu Paman yang duduk bersimpuh dengan kedua tangan yang ditangkupkan di bawah wajahnya yang memelas. Seumur hidup baru kali ini aku melihat Paman memasang ekspresi begitu. Aku tersenyum simpul, lalu mengalihkan pandangan dan malah mengeluarkan suara cekikikan saat kembali menatap patung Paman.

Rupanya suara tawaku tertangkap pendengaran Ibu. Dia mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu memasang raut kecewa dan membawaku ke dapur, menjauh dari Nenek yang masih menangis sambil memeluk patung batu Paman. Sikapku yang mungkin kurang ajar (padahal biasa saja) di waktu yang tidak tepat membuat Ibu yang punya kelapangan hati seluas samudera itu kecewa.

“Ibu sudah pernah bilang kan, kalau kita tidak boleh tertawa di atas penderitaan orang lain. Nenek dan Paman itu bahkan bukan orang lain, Jun, mereka keluarga kita.”

Sontak aku membuang muka dan tertawa hambar.

“Kan wajar kalau orang tertawa saat bahagia, Bu. Toh Paman sialan itu memang pantas jadi batu. Harusnya malah dari dulu.”

Aku mengatakannya tanpa ragu pada Ibu yang berdiri di depanku. Sekalipun yang jadi batu itu adiknya Ibu, aku menolak mengakuinya sebagai pamanku, aku memanggilnya “Paman” hanya karena suruhan Ibu, bukan kehendak hatiku.

“Coba kamu pandang Nenek. Menurutmu apa pantas seorang cucu tertawa sementara Neneknya menangis di depan mata. Jangan sampai mata hatimu buta karena dendam, hingga tidak bisa membedakan mana yang baik dan tidak untuk dilakukan.”

Perkataan Ibu terdengar ramah di telinga, namun menolak masuk ke dalam pikiran anak usia tujuh belas tahun sepertiku. Aku masih merasa tidak ada yang salah dengan tindakanku tadi. Dengan segala rekam jejak kelakuan busuk Paman, aku malah merasa tindakanku benar.

“Tidak ada istilah kebaikan untuk orang jahat seperti Paman dalam kamusku, Bu. Anak durhaka memang pantas jadi batu. Toh hidupnya juga tidak memberi manfaat apa-apa. Punya uang banyak kok tidak bisa memberi apapun ke orang tua. Sudah tidak memberi, tidak berkunjung sesekali pula, bahkan saat Nenek sakit pun Paman sialan itu tidak berbuat apa-apa.”

Kata demi kata meluncur tanpa hambatan dari mulutku, membuat pembenaran. Lagi pula memang benar Paman itu orang jahat. Nenek dan Ibu saja yang terlalu baik. Itulah kenapa Nenek masih terdengar menangis sekarang, dan Ibu masih membela adik jahatnya.

“Setiap manusia pasti pernah melakukan kejahatan. Tapi bukan berarti kita bisa menghakiminya seenak hati seolah kita ini suci. Apalagi menertawakan saat ia tertimpa musibah, lalu menolak merasa salah, lantas apa bedanya kita dengan mereka yang kita sebut jahat?”

Tidak dengan tatapan tajam, tapi kata-kata Ibu mampu menusuk hatiku. Apa Ibu mengatakan kalau aku juga jahat, jelas aku tidak terima, jelas aku menjadi semakin kesal, dan jelas aku semakin mencari pembenaran.

“Kalaupun aku ini jahat, tapi kejahatan Paman jauh di atasku. Mana ada kejahatan yang lebih jahat dari anak yang menelantarkan orang tua. Bukan hanya Nenek yang ia telantarkan, tapi Kakek juga. Jangan kata merawat makam Kakek, ziarah pun tidak pernah. Padahal tidak perlu naik motor untuk ziarah ke makam Kakek dan berkunjung menengok Nenek, tapi keduanya tidak pernah ia lakukan. Seperti harus beli tiket pesawat saja kalau mau mengunjungi orang tua.”

Wajahku merengut dan menolak menatap Ibu. Kesal sekali rasanya saat dikatakan jahat hanya karena menertawakan Paman.

Radar Ibu jelas menangkap kekesalanku. Ia membawaku duduk di pelataran dapur yang menghadap sungai. Cukup lama kami terdiam, sampai kurasakan tangan Ibu mendarat di bahu kiriku. Ketika aku menengok ke sebelah kanan, tatapan teduh Ibu dan tatapan kesalku bertemu.

“Aku tidak pernah lupa dengan segala kejahatan Paman kepada kita. Apalagi saat ia melabrakku dulu, saat kelas delapan. Aku tidak tau apa-apa dan tidak mengerti kenapa Paman melibatkanku pada masalah yang tidak aku tau. Katanya kita sekeluarga cuma jadi beban karena menumpang tinggal di rumah Nenek. Apa dia tidak berpikir siapa yang selama ini merawat Nenek, dirinya yang mengaku ahli waris itu bahkan tidak sedikit pun melibatkan diri dalam hal kepentingan orang tua.”

Aku mengutarakan perasaanku, mengingatkan Ibu pada kejadian yang tidak akan kulupakan seumur hidupku. Tuduhan yang dilontarkan Paman tidaklah berdasar, juga tidak benar. Walaupun miskin, Ayah dan Ibu tidak pernah meminta uang pada Nenek. Walaupun miskin dan tidak mampu memberi uang, Ayah dan Ibu masih bisa memberi makan dan perhatian pada Nenek. Setidaknya orang tuaku tidak pernah menelantarkan Nenek, tidak seperti Paman.

“Bukan hanya jahat, Paman itu juga pengecut. Masa beraninya sama anak SMP. Saat itu aku sampai takut setiap belanja ke warung dekat rumah Paman. Takut dipanggil dan dilabrak lagi.”

Ibu mengangguk dan mengulas senyum padaku. Ia sudah tau cerita ini, aku sengaja menceritakan kembali agar ia mengingat dan memahami alasanku tertawa saat Paman menjadi batu. Toh Ibu pun tau kalau itu hanya satu dari sekian banyak hal buruk yang Paman lakukan padaku.

“Sejak saat itu, sebelum tidur aku selalu membayangkan bisa membunuh Paman, dengan berbagai cara. Kalau saja tidak ingat dengan Ibu, sudah kubunuh dia dari dulu.”

Tangan Ibu beranjak dari bahuku, bola matanya membulat ketika mendengar kata membunuh. Aku belum pernah menceritakan hal ini padanya.

“Istigfhar, Jun. Membunuh itu tidak menyesaikan masalah, tidak juga mengusir amarah. Sebaliknya, kamu hanya akan dihantui rasa bersalah.”

Aku mengangkat kedua bahu, menaikkan alis, mengulas senyum yang dibuat-buat, lalu beralih menatap sungai. Untunglah ibuku adalah ibu, kalau orang lain, mungkin aku sudah kena rotan karena ekspresi yang kutunjukkan tadi.

“Tidak ada salahnya kalau kamu belajar memaafkan Paman. Semua sudah berlalu, dan tidak ada untungnya menaruh dendam pada orang lain. Hidup tanpa dendam akan terasa damai, itulah kenapa orang mengatakan kalau memaafkan itu bukan untuk orang lain, tapi untuk diri kita sendiri.”

Memaafkan Paman?

Aku menatap Ibu tajam, rasanya kali ini lebih mengesalkan daripada ketika tadi Ibu secara tidak langsung mengatakan aku jahat.

“Ibu mau tau kenapa aku sedendam ini pada Paman?”

“Kenapa, hmm?”

“Karena Ibu itu terlalu baik dan Paman terlalu jahat pada Ibu.”

Ibu terdiam.

“Paman begitu banyak menguras air mata Ibu. Hanya karena Ibu menangis diam-diam, jangan berpikir kalau aku tidak tau.”

Ibu masih terdiam, kedua matanya mulai berembun.

“Apalagi saat Paman semena-mena menjual tanah persawahan dua tahun lalu. Aku tidak habis pikir. Mana pernah ia menginjakkan kaki di tanah itu, Ibu yang selama ini mengelolanya, kenapa ia malah tiba-tiba menjualnya dengan dalih umrah Nenek. Saat itu aku juga kecewa pada Nenek, dan aku yakin Ibu jauh lebih kecewa.”

Aku menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Cerita ini juga menyesakkan bagiku. Bayangan air mata Ibu yang tumpah karena kejadian itu menyeruak keluar dari persembunyian, berputar-putar dalam kepalaku.

Ibu mengelola tanah persawahan milik Nenek dengan sistem bagi hasil. Padahal dulu tanah-tanah itu bagaikan hutan belantara dengan rumput liar yang lebih tinggi dari tubuh manusia. Sejak kakek meninggal, tanah persawahan memang cukup lama tidak terkelola. Sampai ketika Ibu remaja, Nenek memintanya belajar bertani agar tanah persawahan tidak terbengkalai. Untuk memenuhi permintaan Nenek, Ibu mengorbankan masa remajanya, sekolahnya, dan cita-citanya.

Ibu yang tidak punya pilihan kemudian mengabdikan dirinya pada pertanian. Sementara adik laki-laki yang berusia tiga tahun di bawahnya, ia minta untuk fokus mengenyam pendidikan, dengan harapan kelak adik laki-laki itu mampu mengangkat derajat kedua orang tua dan saudaranya. Ibu jelas dulu sangat bangga ketika sang adik mendapatkan gelar S1. Walaupun untuk mencapai hal itu, Ibu harus menunda berbagai kepentingan pribadinya, termasuk menikah.

Pada usia tiga puluh tahun, Ibu menikah dengan Ayah. Setahun kemudian ia melahirkanku. Usia Ibu menikah terbilang sangat terlambat karena beberapa teman seangkatannya menikah di usia lima belas tahun. Ibu menerima dengan lapang segala takdir yang digariskan untuknya.

“Kita hanya bisa menjalani dan menerima dengan ikhlas, toh memaksakan takdir juga tidak bisa.”

Kata Ibu dulu saat menceritakan rekam jejak masa lalunya padaku.

Segala kepahitan hidup ia telan bulat-bulat. Termasuk saat adik yang jadi tumpuan harapannya menjadi sosok yang berbanding terbalik dari apa yang diharapkan. Apalagi saat si adik sialan itu memperisteri wanita arogan yang tidak pernah menjenguk mertua, runtuh sudah harapan Ibu sampai ke dasar bumi. Adik laki-laki Ibu yang sialnya harus kusebut “Paman” itu tidak cukup hanya dengan mengecewakan Nenek dan Ibu, ia juga menyakiti mereka dengan segala kelakuannya. Pendapatan sebagai pegawai negeri dihabiskannya untuk memakmurkan anak isterinya yang hidup dengan gaya orang kota. Sementara sosok yang dulu menyokongnya dilupakan dan malah dihinakan. Meski begitu, Nenek dan Ibu masih menyambut kedatangan ia dan keluarganya saat hari raya. Perlu ditegaskan, HANYA SAAT HARI RAYA. Padahal jarak rumah kami dan rumah Paman tidak terlalu jauh. Hanya dipisah enam buah rumah.

Paman hanya datang ke rumah Nenek saat ada maunya. Termasuk saat menghasut Nenek untuk menjual tanah tanpa sepengetahuan Ibu. Dalihnya saja untuk umrah, sisa uangnya malah ia ambil untuk menutupi hutang isterinya. Katanya sih ia berhutang pada Nenek untuk uang itu, tidak tau kapan bayarnya, entah sudah bayar apa belum.

Ibu jelas terkejut saat mengetahui kalau salah satu tanah sudah dijual. Nenek menjelaskan kalau itu untuk biaya umrah dirinya. Sangat menyesakkan, bukan hanya karena keputusan Nenek atas hasutan Paman. Tapi juga kehidupan kami setelah itu. Penjualan tanah berdampak besar pada ekonomi Ayah dan Ibu yang bekerja sebagai petani. Hasil dari bertani tidak lagi mencukupi kebutuhan setahun, terlebih biaya keperluanku yang juga semakin besar. Orang tuaku mau tidak mau harus bekerja sampingan. Pada saat itulah aku melihat Ibu menangis lebih sering dari biasanya. Tiap tetes air mata Ibu menjelma dendam yang bercabang-cabang dalam diriku untuk Paman. Dendam itu membuatku bertekad untuk bisa menjadi orang sukses agar Ibu tidak lagi diperlakukan semena-mena.

“Aku belajar seperti orang kesetanan bukan tanpa sebab. Mimpi besar perlu usaha yang keras. Mimpi yang lebih besar, perlu usaha yang lebih keras lagi. Saat lelah, aku mengingat bagaimana Ibu menangis dan bagaimana Paman tertawa, kemudian rasa lelahku hilang, dan aku kembali belajar. Aku sudah tau ke mana harus melampiaskan kasih sayangku pada Ibu dan dendamku pada Paman. Jangan paksa aku memaafkannya sampai mimpi besarku tercapai ya, Bu.”

Dua sungai kecil sempurna terukir dari kedua mata Ibu. Ia bahkan sesegukan saat menyeka arus air yang melaju di pipinya.

“Aku ke dalam dulu.”

Aku beranjak ke dalam rumah untuk menemui Nenek, sekaligus memberi ruang pada Ibu untuk menumpahkan air matanya.

Di ruang tengah, Nenek tidak lagi menangis seperti tadi. Tapi ia masih bersimpuh sambil memeluk patung batu anak durhakanya dengan tatapan yang kosong.

“Ikhlaskan, Nek. Ini sudah takdir Paman.”

Nenek tak bergumam, juga tak bergeming.

“Nenek ke kamar, ya, istirahat.”

Aku berusaha melepas kedua tangannya yang memeluk patung batu Paman, Nenek menolak. Pelukan tangan itu sengaja diperkuat. Aku mengerti perasaan Nenek dan memilih mundur, lalu berdiri membelakanginya. Kutatap patung batu Paman yang setengah berdiri dengan wajah yang memelas itu, kutatap penuh amarah seolah di depanku adalah wujud asli Paman.

Apa gunanya ekspresi begitu saat hidup tak lagi berpihak padanya. Ke mana perginya keberanian yang ia bawa sebelum menjadi batu.

Tadi pagi, tiada angin tiada hujan, Paman tiba-tiba minta jatah warisan. Dia bilang orang tua temannya pun melakukan hal yang sama sebelum meninggal. Membagi harta warisan lebih dulu, agar dikemudian hari anak-anak tidak perlu bergaduh memperebutkan harta orang tuanya. Paman itu selain anak durhaka dan pengecut, ia juga licik. Sekarang ekonominya memburuk karena uang investasi yang diharapkan memberi keuntungan malah dibawa kabur oleh rekan bisnisnya. Padahal Paman sudah mencicil rumah baru dan mobil. Entah sudah berapa bulan ia menunggak pembayaran sampai harus meminta jatah warisan, pakai acara bawa-bawa orang lain pula.

“Ibu bahkan masih bernafas, tapi kamu sudah mengungkit harta warisan, di mana sopan santunmu?”

Nenek naik pitam pada Paman yang duduk dihadapannya. Kudengar Ibu memintanya untuk tenang.

“Ini untuk kebaikan kita semua, Bu. Takutnya nanti setelah Ibu meninggal aku dan kakak malah ribut karena harta warisan. Jadi lebih baik Ibu yang membagikannya sekarang.”

Dari balik tirai kain pembatas ruangan, aku mengepalkan kedua tanganku saat Paman sialan itu membawa-bawa nama Ibu. Yang dibawa-bawa juga diam saja, apa susahnya menyanggah, dasar Ibuku.

“Kamu cuma datang kepada Ibu saat butuh uang. Sebelumnya ke mana? Mana tanggung jawabmu sebagai anak laki-laki, tidak menengok orang tua, bisanya cuma menghina saudara, sekarang tiba-tiba minta jatah warisan. Kamu masih punya malu?”

Suara Nenek semakin meninggi. Matanya sudah pasti ikut melotot saat marah.

“Jadi Ibu tidak mau menuruti perkataanku?”

Paman menghentakkan tangannya ke lantai dengan keras. Detik berikutnya kudengar Ibu berteriak histeris, dan suara Nenek tidak terdengar jelas. Aku bergegas keluar lalu menarik paksa Paman yang sedang mencekik leher Nenek. Walau tubuhnya lebih besar dariku, tapi amarah yang sudah berada di puncak membuatku tak gentar menghadapinya. Langsung saja aku lumpuhkan ia dengan menduduki perutnya, lalu tangan kananku mendaratkan pukulan berkali-kali di pipinya. Paman melawan, ia memaksa bangun dan menjatuhkanku. Kedua tangannya mencekik leherku sampai kerongkonganku terasa mau copot dan aku tidak bisa bernafas.

“Dasar anak sialan, berani-beraninya memukulku. Apa begini cara Ibumu mendidik anak, tidak becus sekali.”

Wajahku memerah menahan menahan sakit. Ibu berusaha menarik tangan Paman, tapi usahanya jelas gagal. Ia malah tersungkur saat Paman menghempaskan tangan kanannya yang tadi ditarik Ibu. Amarahku semakin berkobar melihat itu. Dengan segala tenaga, aku bangkit lalu menghantamkan kepalaku pada kepala Paman. Rasanya sangat menyakitkan, tapi setidaknya cengkeraman Paman terlepas dari leherku. Sebelum pukulanku sampai pada Paman, Nenek berteriak kencang.

“Cukuuuup.”

Derai air mata membasahi wajah Nenek. Dengan langkah yang tergopoh-gopoh, ia berjalan menghampiri anak durhakanya.

Plakkk

Satu tamparan mendarat di pipi Paman.

“Apa tidak cukup selama ini kamu menyakiti hatiku. Tidak terhitung berapa banyak air mataku keluar karena segala kelakuan busukmu. Andai dulu aku tau kalau kau hanya bisa menyakitiku, pasti sudah kugugurkan kau sejak dalam kandungan. Susah payah aku melahirkan dan membesarkanmu, tapi kau malah tidak tau budi dan sopan santun. Dasar anak durhaka, lebih baik kau jadi batu.”

Langit tiba-tiba mengeluarkan guntur yang teramat nyaring. Kami semua terkejut. Ibu menguatkan pegangannya pada bahu Nenek, takut Nenek jatuh. Detik berikutnya guntur kembali terdengar. Keadaan berubah mencekam, hujan turun sangat lebat, berbaur dengan angin kencang. Kulihat Paman nampak gelisah. Ia melirik ke sana kemari. Mulutnya tidak mengucap sepatah kata pun, seolah terkunci. Kedua matanya bergilir melirik ke arah Nenek, Ibu dan aku. Kami semua terdiam, terbawa arus keadaan yang tiba-tiba mencekam. Tubuh Paman perlahan membungkuk dan berlutut. Wajahnya terangkat menghadap Nenek. Tangannya bergerak naik dan menangkup hingga berada tepat di bawah dagu. Mulutnya masih diam. Tatapan yang biasanya memancarkan kesombongan berubah jadi meminta belas kasihan. Kedua matanya bahkan mengeluarkan air mata. Betapa terkejutnya kami ketika melihat perlahan tapi pasti aliran putih seperti semen merambat dari ujung kaki hingga ujung rambut Paman. Nenek dan Ibu langsung duduk memerika sesuatu yang melapisi tubuh Paman. Tangis Nenek kembali pecah saat menyadari kalau kutukannya dikabulkan Tuhan. Anak durhaka yang selalu menyakiti hatinya telah menjadi batu. Nenek menangis lebih kencang dari tadi, ia histeris sampai galungan rambut putihnya terlepas. Ibu juga ikut menangis walau kedua tangannya masih memegangi Nenek.

Aku?

Hanya berdiri sambil menatap kagum pada kejadian yang terjadi di depanku. Ekspresi patung batu Paman sangat menggelikan, aku tersenyum simpul, lalu mengalihkan pandangan dan malah mengeluarkan suara cekikikan saat kembali menatap patung Paman.


Sebelumnya Juga Paman Bukan Manusia | Cerpen: Hayatunnisa

Hayatunnisa lahir pada 24 Juni 2001. Warga Desa Pingaran Ilir RT.001 yang menimba ilmu di Universitas Lambung Mangkurat.