Bentuknya Aneh, Seperti Bom Atom | Cerpen: Kiki Sulistyo
Semangka lebih penting daripada Mark Twain. Kesimpulan itu aku temukan setelah melihat Said Arkadi yang semula berbaring telungkup macam lumba-lumba segera bangkit setelah kuberitahu kalau di dalam tas goni yang tergeletak di sudut ruangan ada sebutir semangka. Sebelumnya, Said kelihatan serius membaca buku Mark Twain: matanya awas, dan keningnya sesekali berlipat-lipat. Pada momen awal pasca informasi soal semangka itu, Said tampak tak terlalu berminat. Ia bertanya dari mana aku mendapat semangka itu. Kujawab: seorang petani membawakan untukku pada Senin lalu. Said mengalihkan pandangan dari buku sembari memberi komentar: “Cukup lama ya. Pastinya semangka itu sudah kering.” Lantas tanpa menunggu balasanku, ia bangkit dari posisinya, berjalan ke sudut ruangan, mengeluarkan semangka itu dari karung, dan mencari pisau.
Diamatinya semangka itu sebentar, kemudian berkomentar lagi: “Bentuknya aneh, seperti bom atom.”
Dari ruang perpustakaan keluar Siti Aisyah. Ia keluar dengan cara merangkak seperti seekor domba. Didekatinya semangka yang sudah dipotong-potong lalu diletakkan di nampan plastik hijau muda. Bentuk nampan itu mengingatkanku pada selembar daun. “Tuhan menciptakan semangka pada hari ketiga penciptaan,” ucap Said seakan sedang bersabda. “Itu kata-kata Mark Twain ya?” tanyaku. Said tak menanggapi. Malah Siti Aisyah, yang mulutnya penuh, melontarkan ujaran: “Kalau saya melihat semangka, saya teringat ayah saya. Ia gemar menyemburkan biji-biji semangka dari mulutnya. Menurut saya dulu ayah saya pasti pernah bercita-cita jadi tentara.”
Abu Hasan, yang juga datang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, bergeming. Dari tadi ia tak memperhatikan perkara semangka itu. Keasyikannya di depan mesin tulis tampaknya takkan tergoyahkan meskipun bom atom jatuh menimpa kami.
“Aku ingat, pernah ada seorang dokter yang datang ke dusun kami, dan menganjurkan untuk memakan semangka sekalian dengan kulit dan biji-bijinya karena justru pada kulit dan bijinya itulah letak kelebihan buah semangka. Tentu saja tak ada seorang pun yang menuruti saran itu, meskipun tak ada pula orang yang membantahnya. Pernah dengar soal itu, Habib?” Said bertanya sambil menatap Abu Hasan. Pemilik rumah yang aku sewa ini memang kerap dipanggil “Habib”, meski ia sendiri mengaku tak punya gelar itu. Abu Hasan tetap bergeming. Malah Siti Aisyah yang kemudian menjawab: “Saya pernah dengar soal itu, tapi lupa siapa yang mengatakannya. Mungkin saya baca di sebuah buku.”
“Buku Mark Twain?” tanyaku.
“Bukan. Sepertinya penulis Indonesia. Mungkin dokter yang datang ke dusunmu itu yang menulisnya?” ujar Siti Aisyah menjawab pertanyaanku sekaligus bertanya kepada Said Arkadi. Tak ada jawaban, cuma suara orang mengunyah yang terdengar.
Said Arkadi lahir pada 5 April 1994, hari yang sama ketika Kurt Cobain mencabut nyawanya sendiri. Namun, sejauh yang kutahu, Said tak menyukai Kurt Cobain. Lebih jauh lagi ia sebetulnya tak menyukai musik-musik modern. Ia lebih menyukai apa yang disebut orang secara sembarangan sebagai “musik alam”, yakni segala bunyi-bunyian yang tak dibuat manusia. Sementara Siti Aisyah lahir pada 10 Juni 2001, hari yang sama ketika Laila Pahlavi, putri Shah Iran, Rizal Pahlavi, ditemukan mati bunuh diri di kamarnya di London. Namun, sejauh yang kutahu, Siti Aisyah tak suka membaca atau mendengar berita-berita. Lebih jauh lagi ia sebenarnya tak suka apa-apa, kecuali makanan.
Berbeda dengan Abu Hasan, Said dan Siti datang justru untuk menghindarkan diri dari pekerjaan. Said wartawan yang bekerja untuk koran lokal beroplah kecil dan gaji yang tentu saja juga kecil. Siti juga wartawan, tapi untuk media kampus, yang sebagian besar wartawannya belum bisa menulis kalimat dengan benar. Said kesal karena mendapat tugas tambahan di akhir pekan, Siti juga kesal karena merasa dirinya yang paling jago menulis di media kampus tempatnya kuliah itu sehingga merasa cuma dirinya yang diandalkan.
Sebetulnya hari ini aku tak mengharapkan kedatangan mereka, aku justru sedang menunggu kedatangan petani yang pada Senin lalu datang mengantar semangka. Namun, tak mungkin mengatakan kebenaran situasi semacam itu ketika mereka sepertinya benar-benar membutuhkan tempat. Said Arkadi yang pertama-tama datang langsung menceritakan keluhannya sebelum kemudian menyambar buku Mark Twain yang baru kubuka pembungkusnya dan langsung membacanya dengan posisi telentang sebelum berbalik tengkurap macam lumba-lumba. Lantas datang Abu Hasan, dan disusul Siti Aisyah yang diantar pacarnya. Abu Hasan langsung mengeluarkan mesin tulis, sedang Siti Aisyah masuk ke perpustakaan sebelum keluar lagi dengan cara merangkak seperti domba ketika mendengar ada semangka.
Setelah semangka hampir habis dimakan mereka berdua, langit di luar tiba-tiba jadi gelap. Abu Hasan meluruskan pinggangnya, membuat aku harus mengoreksi pendapatku: ia memang takkan lepas dari pekerjaannya sekalipun bom atom jatuh menimpa rumah ini, tapi rasa sakit di pinggangnya dapat segera membuatnya tersadar bahwa ia lahir pada 27 September 1986, hari yang sama ketika Cliff Burton terlempar dari dalam bus dan mati terlindas bus itu. Sejauh yang kutahu, Abu Hasan tak mengenal Cliff Burton, mungkin ia pernah mendengar Metallica, tapi itu pasti nomor-nomor yang dibuat setelah kematian Burton. Lebih jauh lagi Abu Hasan tak suka mendengar musik, ia lebih suka fitness. Usianya memang belum mencapai empat puluh tahun, namun apa yang sering dilakukannya di masa lalu sedikit berpengaruh pada kondisi tubuhnya: ia pernah jadi pecandu alkohol. Itu agak mengherankan buatku, seorang pecandu alkohol yang tak suka mendengarkan musik bila dibuat jadi ibarat tidaklah cocok dengan ungkapan semangka tanpa biji, tapi akan lebih cocok dengan ungkapan sebaliknya: biji tanpa semangka.
Ketika Abu Hasan bangkit dari duduknya dan mencomot dua potong semangka terakhir dan langsung melahapnya, datanglah angin kencang yang disusul hujan deras. Jendela terbanting-banting, dan tempias masuk bagai kawanan hewan laknat. Said Arkadi sampai berseru: “Seorang habib memang bisa mendatangkan mukjizat!” Siti Aisyah terkikik dan persis pada saat itu terdengar seseorang menyerukan salam dari luar. Tak ada yang menjawab salam itu, namun sebentar kemudian orang itu sudah masuk dan berdiri di hadapan kami. “Eh, bagaimana? Apakah semangkanya sudah dimakan? Mudah-mudahan belum!”
Kecuali aku, semua melongo melihat petani itu. “Kenapa?” tanyaku. “Semangkanya sudah habis. Mereka yang makan,” tambahku. Kini giliran petani itu yang melongo. Setelah mengusap-usap kumis tebalnya, parasnya sekonyong-konyong jadi pucat. “Celaka! Celaka!” Cuma itu yang diucapkannya sebelum melesat keluar. Aku sempat berseru dan mengikutinya, namun sosoknya segera hilang seolah menembus tabir hujan. Aku balik ke ruangan, dan melihat ketiga orang tadi masih melongo. “Itu tadi si petani?” tanya Said Arkadi. “Iya,” jawabku.
“Sepertinya aku pernah melihatnya. Ya, tak salah lagi, ia adalah dokter yang dulu datang ke dusun kami dan menganjurkan makan semangka sekalian dengan kulit dan biji-bijinya. Apakah ia juga seorang dokter?” Aku tak menjawab, malah Siti Aisyah yang berkomentar: “Benarkah? Tapi sumpah, tadi saya kira ia itu ayah saya. Nyaris lepas rasanya paru-paru saya melihat ayah saya yang sudah lama meninggal tiba-tiba hadir di sini.”
Abu Hasan yang baru lepas dari takjubnya menyilet pertanyaan-pertanyaan itu dengan sebaris pertanyaan lain: “Kenapa tadi ia terkejut? Ada apa dengan semangka ini?” Belum sempat ditemukan jawaban, ketiga orang itu tiba-tiba menyadari kalau di sekujur kulit mereka muncul bintik-bintik kecil sebesar biji semangka. Bintik-bintik itu dengan cepat bertambah banyak, dan mulai terlontar lepas dari kulit mereka bagaikan peluru. Tubuh Said Arkadi, Siti Aisyah, dan Abu Hasan berubah jadi tumpukan biji semangka yang meletus dan menghambur di lantai. Ruangan jadi penuh tumpukan biji semangka seakan-akan aku sedang berada di pabrik pembuatan kuaci. Hujan semakin deras menghunjam bumi sehingga derunya tak lagi merupa deru hujan, melainkan deru yang berasal dari jatuhnya bom atom.
Namun, semua itu tak mengherankan buatku. Sehari sebelum aku lahir, Komet Haley melintas dekat sekali dengan bumi. Aku lahir pada 21 April 1910, persis pada hari yang sama ketika Mark Twain mati. Jadi bisa dipastikan kalau sebetulnya aku juga sudah mati ketika peristiwa tadi berlangsung, tak mungkin aku masih hidup di usia 111 tahun. Namun, setelah kupikir-pikir, bagaimana pun juga, semua ini memberiku pekerjaan tambahan. Aku penasaran: di dalam karangan siapa sesungguhnya semua peristiwa ini berlangsung?
Kekalik, 7 Agustus 202
Kiki Sulistyo, lahir di Kota Ampenan, Lombok.Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017), Buku Puisi Terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018), dan Buku Puisi Terbaik Tempo 2021 untuk Tuhan Padi (Halaman Indonesia/Akarpohon, 2021).