Belajar Antikorupsi dari Agus Salim
Tokoh bangsa di era pra dan awal kemerdekaan telah memberikan teladan bagaimana menjadi negarawan yang amanah. Sebagian besar dari mereka teguh dalam memegan prinsip dan nilai-nilai moral ketuhanan. Sikap tersebut tidak hanya berhenti di pikiran dan lisan tetapi termanifestasi dalam perbuatan.
Negarawan di era awal kemerdekaan terkenal dengan kebersahajannya, kejujurannya, kebersihannya (antikorupsi), dan kesantunan dalam berpolitik masih relevan menjadi acuan bagi pemimpin bangsa saat ini. Sub bab selanjutnya pada pembahasan ini akan mengkaji, pesan moral dan teladan perbuatan yang dapat kita contoh dari tokoh bangsa di masa lalu bagaimana memposisikan diri dan bersikap sebagai negarawan yang berpegang pada nilai integritas yang menjadi tolok ukur sikap antikorupsi.
Terlahir dengan nama Masjhudul Haq, yang bermakna pembela kebenaran, pada 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat. Ketika ia lahir, ayahnya memberikan nama tersebut karena terinspirasi dari tokoh utama dalam buku yang sedang dibacanya. Nama tersebut tidak bertahan lama, pengasuhnya yang dari Jawa sering memanggilnya dengan sebutan “Den Bagus” (panggilan untuk anak-anak dari golongan ningrat atau orang-orang terpandang), dan biasa disingkat dengan Gus atau Agus.
Panggilan tersebut menjadi familiar di kalangan masyarakat di sekitar rumahnya. Ketika masuk ke Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus untuk anak-anak Eropa di Hindia Belanda, nama Agus masih menjadi panggilan favorit untuk teman-temannya dan gurunya. Bahkan di sekolah Belanda, Namanya tercatat August Salim, sesuai dengan lidag orang-orang Belanda yang lebih mengenal August daripada Agus. Sedangkan nama Salim adalah nama keluarganya, dikenallah beliau dengan nama Agus Salim (Zulkifli (eds), 2018).
Agus Salim merupakan seorang putra bangsa yang cerdik. Beliau menguasai berbagai bahasa dan menjadi siswa yang terpandai semasa sekolah di Hoogere Burger School (HBS) di Batavia. Roem menuliskan bahwa penderitaan Agus Salim ditunjukkan dalam hidupnya sederhana, yang kadang-kadang mendekati hidup dalam kekuarangan dan kemiskinan.
Ketika di Jakarta Agus Salim dan keluarganya berpindah tempat tinggal dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari daerah Kwitang, keluarganya pindah ke beberapa tempat, seperti: Krukut, Jalan Karet, dan Jalan Gereja Theresia. Jika memiliki uang lebih, maka akan mencari kontrakan yang lebih bagus, begitu juga sebaliknya. Berpindah-pindah tempat tinggal bukan merupakan suatu masalah, yang paling utama adalah anggota keluarga bisa saling berkumpul.
Sikap hidup sederhana Agus Salim juga mendapat perhatian Belanda. Dalam buku hariannya, Het dagboek van Schermerhorn, ketua delegasi Belanda dalam Perundingan Linggarjati, Willem Schermerhorn, memuji Agus Salim sebagai orang tua yang sangat pintar, seorang jenius dalam bahasa, berbicara dan menulis dengan sempurna paling sedikit dalam sembilan bahasa. “Ia hanya mempunyai satu kelemahan: selama hidupnya melarat!”
Dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984), Kustiyati Mochtar menulis, dengan pendidikan dan kemampuan tinggi, sebenarnya agus salim dapat hidup mapan bila mau bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda. Lantaran sikapnya yang kritis terhadap kebijakan pemerintah kolonial, ia sulit mencari nafkah.
—
Penulis: Muhammad Nanda Al Karim (Pegiat Sejarah dan Penulis Lepas)