Bea Masuk 200 Persen untuk Produk Impor China
Berita Baru, Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan memberlakukan bea masuk hingga 200 persen untuk barang-barang impor asal China. Langkah ini diambil untuk menanggulangi banjirnya produk-produk dari negeri tirai bambu seperti pakaian, baja, dan tekstil.
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menjelaskan bahwa ketentuan ini merupakan bagian dari respons terhadap perang dagang antara China dan negara-negara barat yang menolak barang-barang impor China.
“Maka satu hari dua hari ini, mudah-mudahan sudah selesai permendagnya. Jika sudah selesai maka dikenakan apa yang kita sebut sebagai bea masuk, kita pakai tarif sebagai jalan keluar untuk perlindungan atas barang-barang yang deras masuk ke sini,” ujar Zulkifli di Bandung, Jawa Barat, Jumat (28/6), dikutip dari Antara pada Minggu (30/6/2024).
Zulkifli, yang akrab disapa Zulhas, mengungkapkan bahwa besaran bea masuk yang akan dikenakan telah diputuskan antara 100 hingga 200 persen dari harga barang. “Saya katakan kepada teman-teman jangan takut, jangan ragu. Amerika bisa mengenakan tarif terhadap keramik dan pakaian sampai dengan 200 persen, kita juga bisa. Ini agar UMKM dan industri kita bisa tumbuh dan berkembang,” ujarnya.
Langkah ini diambil sebagai respons atas regulasi sebelumnya tentang perdagangan dan perlindungan industri lokal yang belum memuaskan semua pihak. Perang dagang antara China dan Amerika Serikat ini, menurut Zulhas, telah diketahui efeknya sejak 2022 dan langsung direspons demi melindungi produk dan industri dalam negeri, termasuk UMKM yang terdampak oleh membanjirnya barang dari China.
Pada 2023, lahirlah Permendag 37 yang memperketat arus barang masuk dari luar negeri. Sebelumnya, barang bisa langsung masuk ke toko atau konsumen tanpa sekat akibat kebijakan post border dalam bea cukai. Kini, semua barang harus melalui pemeriksaan terlebih dahulu dengan tujuan mengendalikan impor. Di dalamnya juga diatur mengenai pekerja migran Indonesia (PMI) yang boleh membawa barang dari luar negeri tidak kena pajak maksimal senilai 500 dolar pada 56 jenis produk.
“Dengan Permendag 37 itu betul-betul bisa mengunci dan mengendalikan impor,” tukas Zulhas. Namun, pelaksanaan Permendag 37 menemui banyak kendala di lapangan. Barang-barang PMI yang tiba di Indonesia tidak dapat langsung keluar dari bandara setelah pemeriksaan bea cukai, menyebabkan penumpukan kontainer di berbagai pelabuhan.
Akhirnya, Permendag Nomor 7 diterbitkan sebagai pengganti, mengembalikan batasan barang PMI senilai 500 dolar tanpa ketentuan ketat. Namun, hal ini juga menyebabkan masalah baru dengan 20.000 kontainer barang yang menumpuk di pelabuhan. Kemudian, Permendag Nomor 8 diterbitkan untuk mengatasi masalah tersebut.
“Dengan Permendag Nomor 8, barang-barang di 20.000 kontainer habis dalam satu bulan. Namun industri tekstil dan lain sebagainya kembali komplain meminta pengembalian ke Permendag 37. Dari situ, dibutuhkan aturan baru untuk melindungi barang-barang yang deras masuk ke sini,” tutup Zulhas.