Bandara dan Pasar | Opini : Ahmad Erani Yustika
Deputi Ekonomi Setwapres; Guru Besar FEB UB
Bandar udara (bandara) merupakan situs vital abad modern karena mobilitas penduduk yang makin tak bisa dihindari. Setiap orang saat ini menjadi warga dunia. Dulu nyaris tidak bisa dipercaya ada orang yang pagi hari sarapan di Tokyo, makan siang sambil negosiasi di Paris, dan malam hari menikmati perayaan ultah sahabat di Oslo. Namun, khayalan itu sudah bisa diwujudkan dalam beberapa dekade terakhir karena fasilitas bandara dan -tentu saja- pesawat (komersial maupun pribadi). AS saja memiliki lebih dari 15.000 bandara (besar dan kecil) untuk mengangkut manusia dan barang dengan kecepatan dan intensitas yang nyaris tanpa batas.
Bandara resmi (official airport) pertama kali dibuka di Albany, New York, pada 1908. Sementara itu, pesawat komersial pertama diterbangkan pada 1 Januari 1914 di Tampa Bay. Indonesia yang merupakan negara kepulauan tidak ketinggalan untuk mengembangkan bandara. Semenjak 6 tahun terakhir pembangunan bandara baru maupun renovasi digencarkan untuk menopang kebutuhan mobilitas warga dan komoditas. Sekarang tidak kurang 683 bandara telah dimiliki Indonesia dan menempati rangking 10 negara dengan jumlah bandara terbanyak (airport.id). 30 Maret 2021 lalu, Bapak Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin meresmikan bandara “Haji Muhammad Sidik” di Barito Utara sebagai salah satu sumbu ekonomi di Kalteng. Arsitektur lokal yang indah menandai kesatuan modernitas dan lokalitas yang menyangga kenaikan kapasitas.
Bagaimana dengan pasar? Jika bandara memindahkan manusia dan barang dari satu tempat ke lokasi yang lain, maka pasar mempertemukan orang agar transaksi bisa dikerjakan. Pada masa silam pasar bisa muncul di manapun asalkan tiap orang bersua dan mempertukarkan barang (barter). Pasar semacam ini, konon, sudah ada sejak 3000 tahun sebelum masehi. Namun, sejak ditemukan uang sebagai medium transaksi, pasar dibangun di lokasi yang memudahkan orang saling bersitubruk memperjuabelikan dagangannya. Pasar tradisional, pasar modern, mini-market, dan pusat perbelanjaan merupakan beberapa jenis pasar yang dikenal khalayak.
Hari ini pasar telah melampaui ruang dan waktu. Transaksi tidak harus mempertemukan manusia, tapi cukup difasilitasi oleh aplikasi. Modalnya hanya akses internet. Transaksi digelar tanpa keriuhan, namun nilai perdagangan berlipat puluhan kali. Sedikit demi sedikit pasar fisik tergerus. Tetapi, pada segmen dan wilayah tertentu, juga untuk dagangan tertentu pula, pasar permanen masih amat diperlukan (di Eropa pasar semacam ini telah mapan pada abad ke-12). Itu pula yang membuat pemerintah merenovasi “Pasar Rakyat” di Kota Pariaman agar bendera ekonomi warga tetap berkibar. Wakil Presiden hadir meresmikan pasar pada 6 April 2021 untuk memastikan ekonomi bergeliat kembali dan paras warga berseri.
Bandara dan pasar adalah bagian dari pertempuran yang diurus pemerintah dalam 6 tahun terakhir. Infrastruktur ekonomi negara selama puluhan tahun kedodoran sehingga ekspansi dan koneksi ekonomi sulit diikhtiarkan dengan cepat. Bandara bukan saja memindahkan orang, tetapi juga pranata logistik yang menggeser komoditas dengan cepat, apalagi untuk negara kepulauan. Demikian pula, pasar masih menjadi lokus utama perdagangan di penjuru Republik, apalagi di desa dan kabupaten/kota. Pasar desa selama enam tahun ini telah dibangun puluhan ribu (dengan memakai Dana Desa), di samping sekitar 5000 pasar tradisional (baru dan renovasi). Pendeknya, bandara dan pasar ialah arteri yang memompa darah ekonomi (rakyat).