Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Politik Uang
Ilustrasi : Antara/Mohammad Ayudha

Melihat Ulang Realitas Politik Uang di Desa



Melihat Ulang Realitas Politik Uang di Desa
Oleh: Wahyu Eka Setyawan

Opini, – Pasca pemilihan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, baik pusat, provinsi dan kabupaten atau kota, di tahun 2019/2020 ini kita akan disuguhi pemilihan langsung lagi, yakni pemilihan bupati atau walikota dan kepala desa. Pemilihan langsung menjadi salah satu poin penting dalam upaya mengakselerasi demokrasi di Indonesia, terutama di level bawah hingga atas. Prinsip-prinsip luwes, jujur, adil dan transparan menjadi ruh bagaimana pemilu menjadi salah satu pangkal dari demokrasi itu sendiri.

Jika kita berbicara tentang demokrasi, maka dalam konteks Indonesia kita akan disuguhi fakta historis yang menarik. Semenjak geger 65, perlahan demokrasi di Indonesia bergeser menjadi stagnan dan otoriteristik. Ketika dipimpin oleh mendiang Suharto, Indonesia benar-benar mengalami dedemokratisasi. Karena pola-pola otoriter yang lekat dengan klientelisme dan patronase, menjadi contoh utama penguasaan politik ketika era tersebut.

Edward Aspinall dan Barenschot (2019) menuliskan dalam ‘Democracy for Sale‘ senyatanya pemerintahan yang berdasarkan politik  klientelisme, patronase dan dikungkungi oligarki, akan mendorong serta melanggengkan yang namanya politik uang. Selain menstimulus adanya politik uang, juga sangat koheren dengan adanya premanisme politik. Dalam kajiannya yang lebih mendalam, mereka menemukan pola-pola klientelisme sebagai gelindingan roda lepas warisan rezim otoriter.

Karena mau tak mau, warisan orde baru berupa politik koruptif, kolutif dan nepotis, menjadi lazim di saat era reformasi. Adanya kekuasaan modal yang dominan, serta kekuasaan yang absolut, di tengah ketimpangan kekuasaan dan ekonomi, semakin menegaskan ketidakadilan dan praktik-praktik oligarki. Hal ini juga tergambar jelas dalam politik di level bawah, seperti pilkades yang pada satu sisi menunjukan wajah hancur leburnya demokrasi formal di Indonesia.

Sejalan dengan itu dalam buku terbitan PolGov Universitas Gajah Mada yang disunting oleh Aspinall dan Mada Sukmajati (2015) berjudul ‘Politik Uang di Indonesia: Patronase dan klientelisme di Pemilu Legislatif 2014,’ mengungkapkan satu temuan yang menarik, dari apa yang ditemukan dalam penelitian tersebut, terungkap fakta yang cukup membuat dahi mengernyit. Dalam kaitannya perkembangan politik klientelisme yang menumbuh suburkan politik uang.

Penelitian ini menyatakan jika patronase di Indonesia diwujudkan dalam bentuk jual beli suara (vote buying), pemberian barang-barang kepada komunitas atau kelompok tertentu (club good), memberikan beragam pelayanan baik sosial yang maksimal dan memberikan dana publik dengan motif yang relasional untuk kepentingan elektoral (pork barrel politic). Selain itu, para caleg atau politisi ini sangat mengandalkan jaringan informal, tim-tim pemenangan atau disebut sebagai ‘broker.’ Tim tersebut bersifat temporal atau ‘ad hoc‘ dan mempunyai basis suara yang nantinya dapat dibeli demi kemenangan si politisi.

Kondisi Faktual di Desa

Baru-baru ini jika kita melihat gelaran pilkades yang katanya pesta demokrasi rakyat, tak lebih menjadi ajang pamer calon dengan kekayaan lebih. Bagi-bagi sembako, uang dan aneka sumbangan terkait. Semua dilakukan demi mendapatkan posisi strategis yakni kepala desa, baik sebagai wadah untuk meraup keuntungan pribadi dengan penguasaan sumbet daya alam, hingga wacana-wacana koruptif dengan permainan proyek infrastruktur. Tampaknya ini harusnya menggelitik peneliti sosial-politik untuk menelitinya lebih jauh.

Contoh nyata yang terjadi, berdasarkan berita yang tersedia di laman search engine semacam google, di bulan tahun 2017 ada warta yang menyebutkan jika di Demak terjadi praktik politik uang, dengan besaran uang yang disebar dalam kisaran 100-500 ribu rupiah. Mereka para politisi mengistilahkan ini sebagai sodaqoh atau pemberian untuk meringankan keuangan, ini dilakukan oleh tim sukses yang telah berada di simpul-simpul kantong suara. Di tahun 2019 sendiri baru-baru ini di Tulungagung tepatnya di Desa Gesikan, Kecamatan Pakel, warga menangkap salah seorang warga yang membagi-bagi uang, dengan timbal balik memilih calon yang ia pilih. Dan, praktik ini tampaknya tidak hanya terjadi di daerah itu saja, bahkan bisa lebih meluas lagi.

Kesamaan pola antara politik uang yang bersumber dari politik klientelisme, peran dominan oligarki dalam penguasaan politik dan sumber daya. Menjadi ciri khas demokrasi di Indonesia secara selayang pandang, di mana pola ini terjadi dominan di wilayah desa. Politik uang menjadi salah satu pola yang dapat dibaca ketika kita berbicara tentang hilangnya demokrasi deliberatif (ruang mufakat). Hilangnya suatu musyawarah di desa, hingga mulai lunturnya partisipasi langsung. Cara-cara yang dilakukan di pilpres, pileg hingga pilkada, menjadi salah satu penyebab mengapa pola-pola tersebut juga mulai dominan di desa. Selain problem lama politik desa yakni paternalistik, premanisme, dan feodalisme.

Maka mengacu pada Burhanudin Muhtadi dalam jurnalnya berjudul ‘Vote Brokerage, Personal Networks, and Agency Loss’  jika ditelaah lebih lanjut, politik uang sejatinya hadir karena ada faktor demand dan supply, ada kebutuhan serta ada logistik tersedia. Hal ini terpampang dari adanya hubungan antara kandidat dan broker, yang mana kandidat menggelontorkan uang, sementara broker yang mengeksekusi serta menjamin ketersediaan suara. Dalam penelitiannya ini Burhanudin menekankan pada prinsip buying voters yang dilatarbelakngi oleh kandidat dengan uangnya, serta broker dengan jaminan suaranya.

Di satu sisi kondisi tersebut secara tidak langsung menggambarkan suatu realitas, jika para oligark desa menginginkan pemertahanan kekuasaan yang linier dengan pemertahanan dan perluasan kekayaan. Di sisi lain muncul pola penguasaan yang sejalan dengan meraup kekayaan demi kepentingan pribadi atau menjadi oligark baru. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Winters dalam risetnya tentang oligarki.

Refleksi Atas Politik Uang

Secara reflektif, di tengah demokrasi yang kacau balau ini, baik yang terjadi di tingkat atas hingga bawah. Menunjukan wajah muram demokrasi di Indonesia, walau berbagai upaya telah dilakukan dengan membuat aturan tegas, penegakkan hukum serta fatwa-fatwa relijius, tampaknya tak mengurangi dominasi politik uang. Karena di satu sisi ‘supply chain‘ masih ada, hal ini dapat dilihat dari faktor demand dan supply  di setiap gelaran pemilu. Selain itu faktor ketimpangan sosial-ekonomi dan tentu dominasi kuasa elite masih kuat cengkeramannya. Sehingga, entah sampai kapan politik uang bisa dihilangkan sampai ke akar-akarnya.

Wahyu Eka Setyawan alumni Psikologi Universitas Airlangga dan Manager Pendidikan Walhi Jatim.