Baca Puisi Ini Jika Kau Sedang Berduka
baca puisi ini
jika kau sedang berduka
dahulu, di bawah teduh
randu itu, kau menggambar
bentuk cinta dari udara
matamu menatap cakrawala,
“aku membayangkan, pada
suatu masa, kita berciuman lama.
kita berhenti membicarakan
politik dan agama. bibirmu
dan bibirku, seandainya
mereka tak satu ras tak satu suku,
akan tetap menyatu. menukar
tawar dan basah, menakar
debar dan gelisah.”
kau terpejam. langit tetap utuh.
kau lanjutkan pembicaraan.
keheningan kian menjauh.
“dalam berciuman, kita dilarang
memendam dendam, menyebar
kebencian, dan meyakini
kebenaran sendirian.”
dahulu, di bawah teduh
randu itu, kau belum tahu,
bahwa di masa depan,
negara melarang orang-orang
berciuman. jatuh cinta
diatur dalam undang-undang.
dan jika kita berpelukan,
lebih dari sekadar memeluk,
di kemudian hari jangan kau tanya,
kenapa kita tiba-tiba berada
dalam pengap penjara.
perlahan kubayangkan kau
menggumam pelan,
“cinta telah dirampas negara.
hanya puisi yang kita punya.”
“tetapi puisi,” kataku,
“telah mati. bahkan suaranya
tak menggema di udara.
tak bisa mendamaikan perang
saudara. tak bisa menyalakan
api perlawanan di dada manusia.”
kau tertegun. di atas,
langit sewarna wajah pemurung.
pelan-pelan tuhan menanam
kesedihan di dadamu, seperti
menanam kesedihan di dada adam
sewaktu paham, ia dan hawa,
akan dipisahkan.
kesedihan itu tumbuh
bersama usia. ia ada sampai
kau tua. sampai kau menyerah
kepada semesta,
dan sebagainya, dan sebagainya,
lalu hanya ketakberdayaan
yang menggerakkan mulutmu,
“tak ada yang bisa kita miliki,
tak ada.” (*)
Yogyakarta, 2019
Sumber: @armedian_id