Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati saat menjadi pembicara dalam webinar Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas bertajuk 'Persiapan Pemilu: Penyelenggara Baru dan Masalah Lama', melalui kanal YouTube PUSaKO FHUA, Selasa (19/4). (Foto: Istimewa)
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati saat menjadi pembicara dalam webinar Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas bertajuk ‘Persiapan Pemilu: Penyelenggara Baru dan Masalah Lama’, melalui kanal YouTube PUSaKO FHUA, Selasa (19/4). (Foto: Tangkap Layar)

Atasi Disinformasi Pemilu 2024, Perludem Usul Pembentukan Forum Multipihak



Berita Baru, Jakarta – Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengusulkan pembentukan forum multipihak untuk mengatasi penyebaran disinformasi mengenai Pemilu 2024.

Hal itu disampaikan saat menjadi narasumber dalam webinar Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas bertajuk ‘Persiapan Pemilu: Penyelenggara Baru dan Masalah Lama’, melalui kanal YouTube PUSaKO FHUA seperti dipantau di Jakarta, Selasa (19/4).

“Terkait dengan penanggulangan disinformasi, sebetulnya bisa dibuat forum multipihak yang di dalamnya ada penyelenggara pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu, organisasi masyarakat sipil, media, platform media sosial, dan kampus,” kata Ninis, sapaan akrab Khoirunnisa Nur Agustyati.

Menurutnya, pihak-pihak tersebut dapat bekerja sama untuk mengatasi disinformasi, seperti penguatan regulasi melalui Peraturan KPU (PKPU), menyiapkan upaya pencegahan penyebaran informasi yang salah dan berita bohong tentang pemilu, serta menghadirkan langkah penanggulangan saat disinformasi telah tersebar di tengah masyarakat.

Ninis melihat penyebaran disinformasi tentang pemilu berpotensi akan semakin masif terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. Prediksi itu, kata dia, muncul berdasarkan pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2019.

Sampai saat ini, lanjut Ninis, sebagian masyarakat masih membahas salah satu disinformasi yang tersebar pada Pemilu 2019 mengenai kotak suara kardus.

Pada saat itu, ada masyarakat yang menyebarkan informasi tentang kotak suara dari bahan kardus dalam Pemilu 2019 yang dianggap tidak kokoh, bahkan berpotensi memunculkan kecurangan dalam tahapan pemungutan suara.

“Beberapa waktu lalu, saya hadir di simulasi pemungutan dan penghitungan suara yang diselenggarakan di Kantor KPU RI. Orang masih ada yang berkomentar mengenai kotak suara kardus yang masih digunakan. Orang-orang masih mengungkit persoalan ini,” ujar Ninis.

Dengan demikian, Ninis menilai apabila persoalan disinformasi perihal pemilu tidak dipersiapkan pencegahan dan penanggulangannya, masyarakat akan sulit mempercayai kerja keras pihak penyelenggara pemilu.

Ninis pun mengimbau kepada pihak penyelenggara pemilu untuk mewaspadai kemunculan pengacauan informasi. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Perludem bersama Facebook, katanya, ditemukan salah satu hal yang dapat mengganggu hak pemilih adalah pengacauan informasi.

“Jadi, ketika ada informasi yang sengaja dikacaukan, itu bisa berdampak pada hilangnya kesempatan seseorang untuk menggunakan hak pilihnya. Contohnya, pengacauan informasi terkait dengan seseorang bisa tetap memilih menggunakan KTP elektronik saat namanya tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap, pemilih pindahan, atau daftar hasil perbaikan,” kata Ninis.

Padahal, lanjut dia, informasi yang benar adalah kondisi tersebut memiliki sejumlah persyaratan, yaitu hanya bisa dilakukan satu jam sebelum tempat pemungutan suara (TPS) ditutup dan hanya bisa dilakukan di TPS sesuai domisili.

“Tantangannya adalah bagaimana penyelenggara pemilu, masyarakat sipil, media dan kampus bisa dengan cepat merespons, ada kontra narasinya, ada sanggahannya. Karena kalau klasifikasinya munculnya lama, 3 hari, seminggu, beritanya sudah kemana-mana,” ujarnya.

Atau, kata Ninis, baik juga kalau penyelenggara pemilu memiliki perangkat untuk melakukan pemantauan perbincangan publik di media sosial. Sehingga bisa melakukan pemetaan disinformasi atau berita hoax yang tersebar di masyarakat.

“Misalnya kita sudah bisa memetakan perbincangan di media sosial. Misal, sudah mengarah ke pengacauan informasi, KPU langsung bisa menghadirkan beritanya yang betul seperti apa. Disinilah dibutuhkan akses informasi, supaya publik yang ingin mencari tahu berita yang benar dan valid itu ada. Selama ini saya yakin berita yang benar itu ada, tetapi tantangannya adalah apa publik bisa mengakses itu,” pungkas Ninis. (mkr)