Asumsi Manusia | Catatan Ramadan: Ahmad Erani Yustika
Faktor produksi menjadi bahasan inti teori ekonomi (mikro). Setidaknya disebut tiga faktor produksi dalam ekonomi: tanah (land), tenaga kerja (labor), dan modal (capital). Asumsinya, organisasi ekonomi (sebut saja perusahaan) memiliki faktor produksi yang terbatas, namun dituntut menghasilkan output maksimal. Pekerjaan utama pemilik korporasi adalah mendesain alokasi faktor produksi yang paling efisien (murah) untuk menghasilkan output paling besar (laba). Jika tenaga kerja mahal, maka diupayakan modal dan tanah diperbanyak. Bila harga tanah tinggi, maka modal dan tenaga kerja yang dimanfaatkan. Demikian seterusnya.
Tak ada yang membingungkan dari rumus itu. Pemilik tanah memperoleh sewa, tenaga kerja mendapatkan upah, dan pemegang modal meraih bunga. Segalanya tampak adil. Namun, apabila didalami akan muncul perkara filosofis yang pelik: mengapa manusia (tenaga kerja) diperlakukan sama dengan faktor produksi yang lain? Jika mesin ditemukan dan bisa menggantikan ratusan pekerja, apakah otomatis karyawan bisa dikeluarkan dari arena ekonomi? Lebih menukik lagi, di dalam diri seseorang bukan hanya melekat keterampilan, tetapi juga martabat dan pikiran. Di manakah hal tersebut mesti diletakkan dalam konfigurasi faktor produksi?
Narasi itulah yang membuat para pendiri bangsa memformulasikan sila kedua Pancasila dengan kalimat kokoh: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Manusia derajatnya bukan hanya diukur dari segi keterampilan sehingga bisa dihisap selayaknya faktor produksi yang lain, yaitu modal dan tanah. Adil dimaksudkan sebagai nisbah ekonomi yang setara dengan nilai kemanusiaannya. Surplus nilai (istilahnya Karl Marx) itu jamaknya direbut oleh pemodal. Perlakuan beradab tidak lain menghindari proses eksploitasi yang melampaui kewajaran, di samping menghormati pikiran dan jiwa yang hidup dalam diri manusia.
Pasal 33 UUD 1945, yang pemegang saham terbesar rumusannya disumbangkan oleh Mohammad Hatta, sebetulnya ingin mengejawantahkan sila kemanusiaan tersebut, juga sila yang lain. Ayat satu (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) merupakan “rumah koperasi” yang tidak meletakkan manusia sebagai faktor produksi yang setara dengan modal dan tanah. Tiap anggota koperasi mempunyai tiga nyawa yang melekat: ikut memiliki, ikut menentukan, dan ikut bertanggung jawab. Nilai-nilai koperasi ini menjunjung kejujuran, keadaban, kekeluargaan, kerakyatan, dan keadilan yang berkerabat dengan Islam. Harkat kemanusiaan ditinggikan hingga menyundul langit.
Pada saat dekade 1980-an muncul debat sengit soal formulasi Ekonomi Pancasila, Arief Budiman (sosiolog masyhur) mengingatkan perkara vital yang dilupakan dalam diskusi itu, yakni asumsi manusia. Tradisi ekonomi pasar menempatkan manusia sebagai pribadi yang mencari keuntungan (self-seeking behavior), sedangkan ekonomi kelembagaan menganggap manusia sebagai figur yang punya kecenderungan menyimpang sehingga diperlukan aturan main. Ini yang luput dipikirkan para ekonom ketika mengupas konsep ekonomi nasional: perkara asumsi manusia. Jika merujuk Pancasila, maka selaiknya asumsinya ialah orang yang menindih insentif material di bawah imperatif moral.