Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Ramadan ke-21: Cinta Adalah Harmoni antara Kejutan dan Ketundukan

Ramadan ke-21: Cinta Adalah Harmoni antara Kejutan dan Ketundukan



Berita Baru, Ramadan – Setiap yang pernah mencintai pasti pernah merasakan kebingungan, semacam tarik ulur, membahagiakan, tetapi tidak jarang juga menyebalkan.

Al-Sinkili barangkali pernah berada di posisi tersebut. Tangga Rohani al-Sinkili, seperti disampaikan Oman Fathurahman pada Senin (3/5), yang ke-67 adalah al-Dahsy (terperanjat) atau kondisi dilema antara harapan (raja’) yang menyeruak dan ketakutan (khauf) yang suka hinggap tiba-tiba seperti kecoak.

Kondisi al-Dahsy cukup wajar, lanjut Oman, sebab ia merupakan konsekuensi dari keagungan yang dirasakan seorang pecinta pada yang dicintainya, Allah.

“Saat kita melihat sesuatu yang agung saja, kadang kita terperanjat dan lantas bingung, apalagi saat kita mencintainya,” kata Oman.

Aktivitas atau kondisi mencintai (al-Mahabbah) memang penuh dengan kejutan serta kekaguman—jika tidak ketundukan—dan satu satu hal lain yang mencakup keduanya adalah #TanggaRuhani ke-68, al-Hayman.

Oman menjelaskan al-Hayman sebagai kombinasi antara kejutan dan ketundukan. Mereka yang merasakan al-Hayman akan setibanya tersungkur tidak berdaya.

Mereka tersungkur bukan karena apa pun melainkan kekaguman atas apa yang berada di depannya, atas kekasihnya, Allah. Jikaal-Dahsy hanya akan membuat bimbang seseorang secara psikis, maka al-Haymanmencakup juga fisiknya.

“Nabi Musa, berdasarkan potret surah al-A’raf:143, tersungkur ketika Tuhan menampakkan diri-Nya (tajallli) pada Gunung,” ungkap Oman.

Lebih jauh, karena cinta adalah komunikasi, di tahap tertentu, seseorang berpotensi menangkap pesan khusus yang diberikan Allah—sebagai yang dia cintai—padanya.

Pesan ini al-Sinkili menyebutnya sebagai al-Barq yang oleh Oman dipahami sebagai secercah cahaya yang Allah tanamkan pada hati kekasih-Nya.

Sebagai #TanggaRuhani ke-69 al-Barq, lantaran sudah tertanam, berperan efektif membimbing seseorang yang terpilih tadi untuk menuju hadirat-Nya. Sebagaimana terangkum dalam surah Taha:9-10, Oman menambahkan, Musa pernah mengalami ini.

Musa melihat cahaya. Ia menghampirinya dan ia pun mendapatkan wahyu kenabian.

Di waktu bersamaan, siapa saja yang pernah mengalami seperti yang Musa alami atau paling tidak mendekati, ia akan terbuka untuk merasakan titik akhir dari persinggahan ketujuh, Manzilah al-Ahwal, yakni #TanggaRuhani ke-70 al-Dzawq.

Istilah tersebut merupakan tanda-tanda tajalli Allah. Mereka yang mampu mendapatkan momentum al-Dzawq, maka akan berkemungkinan mengalami apa yang Musa alami, yaitu kenikmatan tiada tara sebab bisa langsung berada di dekat Allah.

Al-Dzawq ini jika dibandingkan dengan al-Wajd, ia lebih langgeng dan lebih agung pula dari al-Barq,” ujar Oman.

Persinggahan ke-8, Manzilah al-Wilayah

Di hari yang sama, utas sufi Oman Fathurahman sampai pada manzilah ke-8, yaitu persinggahan kewalian. Menurut Oman, persinggahan ini dirumuskan al-Sinkili untuk mereka yang ingin menggapai ilahi atau sekurangnya mencapai titik purna kenikmatan.

Seperti lainnya, Manzilah al-Wilayah memiliki 10 tangga rohani yang Oman akan memulainya dari urutan #TanggaRuhani ke-71 al-Lahzh (lirikan).

Al-Lahzh Oman mengulasnya sebagai kedipan menggetarkan seseorang karena kedua matanya telah berhasil menangkap akhir dari keagungan, sebagaimana Musa pernah melirik Cahaya Tuhan dalam gunung.

Dengan ungkapan lain, ini bisa kita pahami sebagai bagaimana tatapan mata kita bergantung pada apa yang kita lihat. Jika yang kita lihat layaknya yang Musa tangkap, maka di situlah sebenarnya kita memiliki al-Lahzh.

“Dari segi lain, al-Lahzh juga bisa diartikan sebagai memperhatikan segala ketetapan Allah dan lantas menerimanya. Jadi, untuk menerima, kita penting memperhatikan terlebih dulu,” ungkap Oman.

Adapun #TanggaRuhani berikutnya ke-72 adalah al-Waqt (waktu). Istilah ini merujuk pada betapa waktu sungguhlah mengikat, sehingga hanya satu cara untuk berdamai dengannya—untuk tidak menyebut menaklukkan—yakni menjadikannya majikan.

Walhasil, karena ia majikan, maka kita harus selalu mematuhinya tanpa kompromi dan cara patuh pada waktu tidak lain adalah menggunakannya untuk hal-hal bermanfaat.

“Soal waktu, karena ini waktu, maka hanya itu saja cara menghadapinya. Sudah. Cukup.” Pungkas Oman.