Antara Kebakaran Hutan dan Dilema Menjadi Perempuan: Kisah Perlawanan Ibu Subiyanti di Teluk Empening
Berita Baru, Sosok – Pada 2015 bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha terjadi kebakaran hutan hebat di sekitar Desa Teluk Empening, Kecamatan Terentang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Saking besarnya kobaran api, warga setempat sampai bergantian menjaga hutan agar api tidak merembet. Meski demikian, kebakaran tersebut telah merenggut nyaris seluruh tanaman warga dan menyebabkan anomali ekosistem.
Mendapati ini, warga putus asa. Sebagian besar bapak di desa Teluk Empening memutuskan untuk membanting setir, mencari pekerjaan lain di luar desa, bahkan kota, dan para ibu tertinggal di rumah bersama anak-anak mereka.
“Kondisi ini sungguh memilukan. Bapak dari anak-anak pergi dari desa, mencari penghidupan, dan kami para perempuan harus tetap di desa, menjaga anak-anak,” kata Ibu Subiyanti dalam sesi diskusi yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation pada Kamis (25/3).
Sebagai salah satu perempuan Teluk Empening, Ibu Subiyanti tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima tragedi tersebut sebagai kenyataan. Akan tetapi, beberapa saat kemudian, selepas melewati permenungan yang mendalam, Ibu Subiyanti mencoba untuk bangkit.
Ia merasa, berdiam diri dan putus asa tidak saja membuang-buang waktu, tapi juga tidak berguna. Ia kemudian memutuskan mengajak perempuan-perempuan di desanya untuk bangkit.
“Satu hal yang terbesit dalam benak kami saat itu adalah bagaimana supaya kebakaran hutan tidak terjadi lagi. Itu. Jangan sampai hutan kami ini jadi langganan kebakaran,” ungkap perempuan kelahiran Blora 31 Oktober 1979 ini.
Beberapa kali konsolidasi mereka lakukan dan akhirnya mereka sepakat untuk memulai aktivismenya melalui kampanye tentang dampak dari kebakaran hutan pada masyarakat, khususnya suami-suaminya sendiri agar tidak terlibat dalam pembakaran hutan.
Kampanye yang dilakukan tidak saja seputar dampak ekosistem tanaman, tapi juga kesehatan masyarakat. “Asap dari kebakaran hutan itu kan berbahaya juga untuk paru-paru. Jadi, kami sosialisasikan ini pada masyarakat,” jelasnya dalam webinar bertajuk Memperkuat Kepemimpinan Perempuan dalam Pengelolaan SDA dan Ketahanan Ekologis di Indonesia ini.
Layaknya tidak ada jalan yang tidak berbelok, perjuangan Ibu Subiyanti dan para perempuan lainnya ini pun menghadapi beberapa tantangan dan yang paling nyata adalah persoalan stereotip dari para Bapak. Tidak sedikit, anggota Ibu Subiyanti harus absen dari kegiatan karena tidak mendapatkan izin dari suaminya.
Dalam acara yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation bekerja sama dengan UKaid, The David Lucile and Packard Foundation, Sikola Mombine, dan Beritabaru.co ini, Ibu Subiyanti mengungkap bahwa ia menaruh banyak harapan pada pemerintah, terutama pemerintah desa agar diterbitkan regulasi yang mengatur tentang apa yang sedang diperjuangkan Ibu Subiyanti.
“Ya paling tidak, ada sebagian dari APBDes itu dialokasikan untuk menjaga hutan di sekitar Teluk Empening agar tidak menjadi langganan kebakaran,” tandas Bu Subiyanti.