Anjing Putih Sepertiga Malam | Puisi-Puisi Daviatul Umam
Dari Atas Gerobak (A)
Malam belum selesai menggosok mimpinya
Tapi tangan seorang ibu lebih dulu menyeret
Ia berebut remah-remah kota sisa penyusup
Dalam separuh pejam angin meniup kuping
Korban kerabunan negara itu, seperti sayup-
Sayup serunai dari Tuhan seluruh keraguan
Fajar mekar menyerupai matanya yang jujur
Membaca punggung sang ibu, bahwa dunia
Tak pernah lelah di sana & tulang-tulang iba
Berupaya mengimbanginya demi mendaur-
Ulang ketimpangan yang terserak di pinggir
Jalan, parit, sampai sungai di balik bau baju
Matahari gemar mengurai sungai itu supaya
Aspal dapat menyerap pelajaran & mengerti:
Ada lebih pedih digilas roda-roda kekuasaan
Yogyakarta, 2021
Dari Atas Gerobak (B)
Tulang ibu tulang kuda menghela pedati
Tiap pijak menggores sketsa surga, jejak
Roda membingkainya sepanjang noktah
Dan aku penumpang setia, tekun pelesir
Menyisir desir takdir, menyilakan serdak
Tabun, uar kulit ibu, mengelus jantungku
Di kiri-kananku, tengah berlangsung dua
Pertandingan sengit: pacuan jarum umur
Dengan waktu, bayang & ketidakpastian
Ibu terus melanglang sambil memungut
Puing tubuh yang jatuh kemarin, begitu-
Pun yang luruh hari ini jadi sasaran esok
Yogyakarta, 2021
Dari Atas Gerobak (C)
Yang kau lihat di atas: kabel-kabel silang-
Menyilang seperti ular-ular yang bersaing
Untuk melilitmu, menyihirmu jadi cahaya
Yang kau pandang di depan: bintik sinau
Membidik dari balik cairan pada tengkuk
Ibumu yang diparut-parut cakar baskara
Yang melintas di samping: bocah-bocah
Berseragam digendong mesin, simpang-
Siur bagai gentayang hantu masa depan
Yang melelah di belakang: tak ada! Atau
Ketiadaan itulah teror bagi perjalananmu
Di ujung ekor zaman yang kian menggila
Yogyakarta, 2021
Tentang Tubuh Tempatku Tumbuh
1
Tiada kau tanak selain sepukal batu
Reinkarnasi dari air matamu sendiri
Kita lalap lahap tanpa peduli di mana
Sumur duka selanjutnya kembali digali
2
Tanaman kurus padahal terurus
Akal pun semakin kerdil di hadapan
Bayang gemilang tuhan kedua
Sementara amanah leluhur kian lebur
Disusul keroposnya tulang punggung
3
Kau berupaya lari dari gubuk lapuk
Yang gencar diincar gelegar kutuk
Meskipun nanti tetap pulang
Meringkuk berselimut igau panjang
4
Alangkah rekah sunyi berbintang
Mungkin begitu pulakah ruang kecil
Nurani yang dihuni kesabaran?
Sujud mengiris berlapis-lapis gulita
Tidakkah begitu pula sorot jiwamu
Melerai tirai-tirai semesta?
5
Rantau mengasuhku, mengasah
Sembilu ingatan dari karat waktu
Merambah semak-semak nasib
Menimbun jurang masa silam
Dengan berkarung pelajaran
Yang kupetik dari rindang sakit
Yogyakarta, 2021
Ledakan
Apa yang kau lakukan setelah
Dihantam bunyi ledakan kesekian?
Kau meratap seribu kejap
Kemudian menatap petaka
Yang lebih akrab
Langit menangis dan hanya puisi
Yang kau tulis. Lantas menimbang-
Nimbang, manakah paling ironi
Antara kakunya keyakinan dan
Bekunya rasa kemanusiaan
Dadamu sesak tapi biarlah puisi
Yang bergerak. Atau cukup sejuk
Dengan kedamaian yang kau peluk
Kau mengerti, tiada perbedaan di
Negeri ini kecuali untuk satu tujuan:
Perang!
Yogyakarta, 2021
Surga dan Peluru
Gadis baik terjun ke sangkar peluru
Usai memahat ayat-ayat perpisahan
Gadis cerdik naik ke puncak waktu
Mengejar surga liar yang ia gambar
Yogyakarta, 2021
Beberapa Persoalan
di Atas Papan Catur
Kita seperangkat buah
Catur, saling mangsa
Karena kelainan warna
*
Kita garda depan mudah
Tumbang, ditumbalkan
Sebagai umpan
*
Kita kekuatan kecil yang
Tersisa, terlalu besar kepala
Mempertahankan hak hidup
*
Kita melompat tak terduga
Sepesat kuda, mengancam
Dua lawan dengan perkasa
*
Kita berpikir lurus sebagai-
Mana langkah benteng, tapi
Kerap terkekang di belakang
*
Kita panglima yang senang
Sewenang-wenang, begitu
Pandai meraup kepuasan
*
Kita raja atas diri sendiri
Membangun segalanya
Menumpas segalanya!
Yogyakarta, 2021
Anjing Putih Sepertiga Malam
Anjing yang hobi kelana di siang
Jelita kini meronda di gelap raya
Ia endus bekas kaki meja pecel lele
Yang baru saja diangkut pulang
Terlontar suara “huk huk huk!” darimu
Berharap ia menoleh tapi jangan sampai
Mendekatimu apalagi menyerang
Kau lalu berpikir kenapa ia tidak menoleh
Jangan-jangan ia sakit hati karena bunyi
Tiruan yang kau lemparkan padanya
Itu lebih biadab dari batu
Ia pun tidak mendekati apalagi
Menyerangmu walau dengan
Sebatas kata “asu!”
Yogyakarta, 2021
Daviatul Umam,lahir di Sumenep, 18 September 1996. Alumni Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa. Kini tinggal dan bekerja di Warung Puitika, Yogyakarta. Buku puisinya, Kampung Kekasih (2019).