Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

BPJS Watch
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar

Advokasi BPJS Watch Desak RUU Kesehatan dan P2SK Tak Dibahas Secara Instan



Berita Baru, Jakarta – Pemerintah dan DPR sedang menggodok dua Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan menggunakan metode omnibus law. Kedua RUU tersebut adalah RUU P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan) dan RUU kesehatan.

Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, kedua RUU melibatkan banyak UU eksisting yang pasal-pasalnya akan direvisi di kedua RUU tersebut. Kedua RUU ini mendapatkan sorotan masyarakat karena dalam naskah akademiknya merancang hal-hal yang berpotensi menciptakan kontraproduktif.

Ia menyebut, dalam naskah akademik RUU Kesehatan, mengatur banyak hal yang merevisi UU eksisting. Salah satu UU yang akan ikut direvisi adalah UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS.

Dicontohkan, pasal-pasal di UU BPJS yang akan direvisi adalah tentang tanggung jawab Direksi BPJS (BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan) yaitu ke Menteri teknis, yang  di UU BPJS saat ini Direksi bertanggung jawab langsung ke Presiden.

“Posisi BPJS ingin dijadikan seperti BUMN, yang dikendalikan Menteri. Lalu peran Dewan Pengawas BPJS akan dijadikan seperti Komisaris BUMN yaitu mengarahkan kerja-kerja Direksi serta mengusulkan pemberhentian dan pengangkatan Direksi BPJS,” kata Timboel Siregar dalam catatan siangnya kepada Beritabaru.co, Senin (14/11).

Demikian juga ada 14 UU terkait kesehatan dan kedokteran yang akan direvisi seperti keberadaan konsil kedokteran, organisasi IDI, dsb. Timboel Siregar melihat, dari diskusi-diskusi yang ia ikuti, RUU kesehatan ini menuai banyak protes dari kalangan organisasi kesehatan, pekerja kesehatan serta lembaga masyarakat lainnya.

“Dari kandungan naskah akademik yang beredar di masyarakat pun, tampak pembuatan naskah akademik sepertinya dibuat berdasarkan kepentingan beberapa pihak saja dan menarasikan sesuatu yang tidak benar. Padahal esensi naskah akademik akan menjadi acuan dalam penyusunan batang tubuh RUU Kesehatan,” tuturnya.

Salah satu narasi yang bagi Timboel Siregar tidak benar dan diuraikan secara hiperbola adalah tentang relasi Menteri dan Direksi BPJS yang selalu tidak harmonis. Dari narasi ketidakharmonisan tersebut dimunculkan ide Direksi bertanggung jawab ke Menteri teknis.

“Apa dasar acuan naskah akademik menyatakan telah terjadi ketidakharmonisan tersebut? Bukankah antara kementerian dan BPJS sudah memiliki peran dan fungsi yang jelas dan saling melengkapi. Kementerian sebagai regulator sementara BPJS sebagai operator,” terangnya.

Timboel Siregar menilai, seharusnya naskah akademik dibuat secara objektif berdasarkan fakta yang ada serta mengarah dan mengabdi pada kesejahteraan rakyat, bukan dibuat demi kepentingan segelintir orang.

“Demikian juga RUU P2SK, menurut saya seharusnya bisa menjawab persoalan masyarakat saat ini sehingga RUU P2SK akan mendukung kesejahteraan rakyat,” terangnya.

Lebih lanjut ia juga menuturkan, salah satu yang diatur kembali dalam RUU P2SK adalah tentang Dana Pensiun. Dana pensiun yang diatur dalam UU no. 11 tahun 1992 bersifat sukarela, sesuai kesanggupan pengusaha, bisa berupa DPPK (Dana Pensiun Pemberi Kerja) atau DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan).

“Dengan adanya program jaminan pensiun di UU no. 40 tahun 2004 yg bersifat wajib maka kecenderungannya pengusaha mengalihkan program dana pensiun ke program jaminan pensiun. Namun RUU P2SK tidak menyentuh program jaminan pensiun di UU SJSN,” katanya.

Bagi Timboel Siregar, seharusnya pemerintah dan DPR dalam RUU P2SK ini juga memperbaiki program jaminan pensiun sehingga jaminan pensiun bisa mendukung kesejahteraan seluruh pekerja yang memasuki masa pensiun.

Oleh karena itu Timboel Siregar melihat ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam RUU Kesehatan dan RUU P2SK. Pertama adalah mengkoneksikan Jaminan pensiun dengan dana pensiun. Dana pensiun adalah top up dari jaminan pensiun. 

Kedua, jaminan pensiun dibuka untuk pekerja informal atau bukan penerima upah termasuk pekerja kemitraan dan pekerja migran Indonesia. Tidak boleh ada diskriminasi pekerja dalam mengakses jaminan pensiun. Semakin banyak pekerja yang terdaftar maka semakin banyak pekerja yg sejahtera di masa tuanya.

Ketiga, P2SK sudah seharusnya mengatur pengelolaan jaminan pensiun ASN (PNS dan PPPK) ke BPJS ketenagakerjaan. Putusan MK menjadi celah masuk percepatan pengalihan pensiun PNS ke BPJS ketenagakerjaan. Putusan MK membatalkan tahun 2029 berarti pengalihan harus segera dilakukan karena UU BPJS hanya membolehkan 2 BPJS menyelenggarakan jaminan sosial, tidak mengenal Taspen.

Keempat, P2SK harus merevisi UU ASN yang selama ini tidak memberikan jaminan pensiun ke PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Jadi Pekerja PPPK harus didaftarkan ke jaminan pensiun di BPJS Ketenagakerjaan di RUU P2SK. Demikian juga Non  ASN wajib didaftarkan ke jaminan Pensiun.

Kelima, jaminan pensiun yang mengatur usia mendapatkan manfaat pensiun di PP no. 45 tahun 2015 harus direvisi di UU P2SK dengan memastikan perlakuan yg sama dgn PNS yaitu pasca pensiun langsung dapat manfaat pensiun.

Keenam, PNS dan PPPK serta Non ASN juga harus mendapatkan perlakuan sama atas program JHT seperti pekerja swasta, yaitu pemerintah sebagai pemberi kerja harus mengiur 3.7 persen dan PNS/PPPK dan Non ASN mengiur 2 persen. Dan program JHT bagi PNS dan PPPK serta Non ASN dikelola BPJS ketenagakerjaan.

Timboel Siregar berharap, Pemerintah dan DPR lebih memperhatikan kepentingan rakyat, dengan memberikan ruang lebih luas kepada masyarakat memberikan masukan sesuai amanat Pasal 96 UU no. 13 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan. 

“Pemerintah dan DPR tidak memaksakan pembahasan kedua RUU tersebut dengan instan dan selesai di akhir Desember 2022,” pungkasnya.