Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Nasirun
Nasirun (Photo by Ima Bunga)

Di Balik Tokoh: Memoar Nasirun



Seorang seniman besar dikenal bukan hanya dari kualitas karyanya, namun juga dari integritas pribadinya. Keduanya saling berkaitan erat. Sebuah karya terbentuk dari hasil refleksi atas fenomena yang diamati serta pengalaman yang dihayati. Karakter manusia pun ditempa dan dipahat berdasarkan pergulatan-pergulatan dalam realitas yang dihidupi. Sehingga ketika seorang seniman berkarya, entah melukis, membatik, atau membuat patung, sesungguhnya ia tanpa sadar memberi sentuhan karakter pada karyanya berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri. Baik karya tersebut mengandung nilai atau pesan tertentu, maupun tidak.

Sebuah karya merupakan manifestasi dari diri seniman. Tanpa itu, karya apapun tidak akan memiliki “ruh”. Konektivitas hanya dapat terjadi apabila si seniman secara jujur menerjemahkan renungan atas pengamatan dan pengalamannya ke dalam karya. Bukan semata-mata guratan imajinasi yang tak berdasar. Pada sebagian orang, mereka dianugerahi dengan bakat kesenian, tetapi bakat itu pun harus diasah dan diuji melalui serangkaian dinamika hidup. Semakin dahsyat pertarungan yang dialami, maka akan semakin kuat karakter pribadi, dan semakin berkualitas pula karyanya.

Demikian adalah tesis saya mengenai hubungan antara seniman dan karya. Argumen tersebut saya paparkan sebagai pembuka catatan-catatan memoar mengenai seorang seniman bernama Nasirun. Dalam mengapresiasi karya seni, hal menarik dan penting yang perlu dilakukan ialah dengan berupaya mengetahui berbagai pengalaman hidup serta memahami signifikansinya terhadap proses kreatif sang seniman. Melalui Seri Memoar Nasirun, saya hendak berbagi kisah masa lampau di balik sosok Nasirun, seorang perupa yang berdomisili di Yogyakarta. Potret kisah mengenai seni hidup yang menginspirasi sekaligus menggetarkan.

Mengenali Bakat Seni

Tepat di malam tahun baru 2021, Nasirun menuturkan cerita hidupnya. Acak dalam kronologi, terfragmentasi dari berbagai kilasan memori yang dapat ia tarik saat itu. Pada saat Nasirun berkisah, ada raut kegelisahan yang tertahan. Dan bila saya tidak keliru membaca, juga sekilas terlihat ketakutan akan kehilangan momen. Kegelisahan Nasirun dari yang ia ungkapkan ialah mengenai kondisi pandemi corona yang tengah menghantam dunia. Dalam istilah Nasirun, “Ketika semesta ini ditanami padi, maka akan keluar padi. Lalu manusia sedang menanam apa, sehingga sekarang terjadi wabah pagebluk (COVID-19)?”

Sedangkan mengenai ketakutan, sebabnya dia mengetahui ada musuh yang selalu membayang. Menghantui di tiap hela napas manusia. Itulah waktu. Musuh abadi manusia yang disadari oleh Nasirun. Kisah hidup yang ia ceritakan kepada saya merupakan sebuah ikhtiar demi menaklukkan waktu. Agar tiap potongan pengalamannya tidak raib ditelan masa, maka harus diabadikan dalam karya tulisan. Meski tidak akan pernah rampung menanggung seluruh pengalaman hidup, atau bahkan tidak dipahami akal karena sebagian bersifat irasional, tetap harus dituliskan. Kita semua pada hakikatnya berjalan di atas pedang waktu, bila tidak mampu menguasai, ia akan melukai diri kita sendiri.

Ketika lahir, Nasirun awalnya diberi nama ‘Mashuri’ yang bermakna ‘kemahsyuran’. Akan tetapi, dirinya sering sekali sakit sewaktu kecil. Sehingga keluarganya melakukan ritual pergantian nama karena ‘Mashuri’ dianggap terlalu berat (kabotan jeneng). Pada ritual tersebut, Nasirun diangkat anak oleh Kiai Muhidin yang bertetangga dengan Sastrawan-Budayawan, Ahmad Tohari. Lalu namanya pun diubah menjadi ‘Nasirun’, artinya ‘sang penolong’. Bersyukur setelah proses adopsi itu, ia tidak pernah sakit lagi.

Orang tua Nasirun merupakan percampuran dua kultur dan keyakinan. Ibunya bernama Supiyah, seorang penganut Sunda Wiwitan. Sedangkan ayahnya, Samrustam, merupakan guru spiritual atau mursyid dari tarekat Naqsyabandiyah-Qodiriyah. Nasirun hanya mempunyai sedikit sekali ingatan tentang ayahnya, sebab beliau wafat ketika Nasirun masih berusia sangat dini. Tiap kali Nasirun menanyakan keberadaan sang ayah, ibunya selalu menjawab bahwa “ayah sedang pergi mengaji”. Padahal saat itu ayahnya telah meninggal dunia. Gambaran ayahnya yang Nasirun masih ingat, sebatas bahwa beliau sosok yang begitu pendiam.

Ketika usianya sudah cukup, Nasirun dituntun oleh ibunda ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah untuk belajar. Itu satu-satunya sekolah yang ada di desanya. Sekolah yang didirikan di atas tanah wakaf seorang yang menang judi togel, bernama Pak Sholihin. Setelah puas menghambur-hamburkan uang dari hasil togel, pada kesadaran tertentu Pak Sholihin menyumbangkan sisa uangnya tersebut untuk pendirian sekolah madrasah. Nasirun merupakan salah satu dari 12 murid pertama yang bersekolah di sana. Dan salah satu dari hanya 2 orang murid yang akhirnya berhasil lulus.

Keluarga Nasirun hampir semuanya buta huruf, sebagaimana umumnya masyarakat di tempat tinggalnya kala itu. Salah satu saudara kandung Nasirun hanya pernah mengenyam pesantren. Pendidikan itu sudah cukup untuk ukuran orang desanya. Namun, Nasirun memiliki tekad melanjutkan sekolah ke tingkat SMP. Salah seorang gurunya, almarhum Sofyan Haris, membantu Nasirun dalam hal administrasi agar ia dapat melakukan ujian persamaan SD terlebih dahulu. Nasirun yang terlahir pada tanggal 1 Oktober 1963 diubah tahunnya menjadi 1965. Tanggal lahir 1 Oktober 1965 itulah yang hingga kini menjadi identitasnya.

Sejak masa sekolah di Madrasah Ibtidaiyah, Nasirun sudah mulai suka menggambar. Ia sering menggambar di pekarangan rumah tetangga. Kemudian ketika di SMP, ia makin semangat menggambar. Gambar-gambar Nasirun kerap kali menghiasi majalah dinding sekolah, meskipun tidak pernah diapresiasi oleh guru gambarnya sendiri. Muncul keinginan dalam hati Nasirun untuk semakin mengasah bakat gambar. Akhirnya, ia bersepeda sejauh 15 km menemui Pak Seno, maestro pelukis Sokaraja. Akan tetapi, dalam proses belajar Nasirun, maestro tersebut kecewa luar biasa karena gaya melukis Nasirun jauh dari gaya lukisan Sokaraja.

Dalam kesedihan, Nasirun memutuskan berhenti belajar dari Pak Seno karena tidak bisa melukis pemandangan Sokaraja yang memang sedang tren masa itu. Dirinya pun tertantang mencari jalan lain agar dapat terus mengasah bakat dan kecintaan menggambar. Selepas SMP, Nasirun bertekad melanjutkan sekolah ke Jogja. Dia memperoleh info bahwa di Jogja ada sekolah khusus menggambar, yakni Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI). Tekad dan cita-cita tersebut membuka petualangan baru dalam hidupnya.

Di Balik Tokoh: Memoar Nasirun
Nasirun – Tiga Wajah (195,5×130 cm_Oil on Canvas_2019) – Photo by Novia Josephine.

Perjalanan Mencari Ilmu

Bakat kesenian mendorong Nasirun melakukan perjalanan ke Jogja pada tahun 1983. Tanpa dana, tanpa tahu lokasi sekolahnya di mana, tanpa seorang saudara pun di sana. Nasirun tidak memberitahukan ibunya bahwa ia pergi ke Jogja untuk bersekolah, ia hanya bilang ingin mencari kerja. Berbekal sekantong terigu, nasi, dan lauk dari almarhumah, Nasirun berangkat ke Jogja selepas Maghrib. Saat itu hujan baru saja berhenti, ia berjalan kaki sepanjang kurang-lebih 8 km ke daerah Maos. Dari sana, ia menumpang gruduk (kereta barang) yang menuju Jogja. Duduk di tengah barang dagangan, dari kayu sampai sapi.

Tepat di tengah malam, Nasirun tiba di Jogja. Ia berjalan kaki ke arah kerumunan dekat stasiun Tugu yang ternyata lokalisasi. Dia menanyakan desa terdekat, lalu disuruh mengarah ke Barat, daerah bernama Tegalrejo dekat Museum Diponegoro. Ketika berjalan tersebut, Nasirun mendengar bunyi “tek, tek, tek…” yang menarik dirinya mencari sumber suara tersebut. Ternyata itu pedagang kerupuk yang masih berjualan. Nasirun meminta tolong pada pedagang tersebut apakah dirinya boleh menginap di rumah si pedagang karena besok harus mendaftar sekolah, terlebih dia pun belum tahu alamat sekolahnya.

Pedagang kerupuk mengiyakan permohonan Nasirun, bahkan bersedia mengantar ke sana. Sekolah seni yang dituju Nasirun berada di Karangmalang, si pedagang sering keliling berjualan di wilayah tersebut. Keesokan harinya, dengan merelakan satu hari tanpa berjualan, pedagang itu membonceng Nasirun mendaftar di SSRI. Ia diterima dan diminta mengenakan celana panjang apabila sudah mulai masuk sekolah. Memang saat itu Nasirun belum mempunyai celana panjang. Di SSRI Nasirun memilih bidang kriya, seni batik, karena terpesona oleh pameran “Seni Batik Kontemporer” di IKIP Karangmalang.

Selesai mendaftar sekolah, Nasirun pulang ke rumah dengan menumpang gruduk lagi. Ia menyampaikan ke almarhumah bahwa dirinya sudah mendapat kerja. Ketika sudah waktunya sekolah, Nasirun kembali ke Jogja. Dia mulai berpikir di mana akan tinggal. Lalu Nasirun menanyakan ke seorang kawan yang ia kenal, Sarjiono, apakah ada langgar yang dapat menjadi tempatnya menginap. Sarjiono memberitahu ada, di daerah Tempel, Gondanglenggis. Di sanalah Nasirun tinggal selama beberapa waktu. Sedangkan untuk hidup sehari-hari, Nasirun bekerja di sawah sekitar situ dengan hanya berupah makan.

Kehidupan Nasirun di langgar tersebut persis seperti pola perilaku semasa kecil. Nasirun bercerita bahwa dahulu ia sering ke mushola kecil dekat rumahnya, entah untuk menimba air atau menyapu lantai. Perilaku bersih-bersih itu murni atas dorongan kesenangan pribadi, bukan karena niat kerja bakti. Ibunda Nasirun sering menyuruh dirinya sembahyang ke langgar dengan bahasa, “Silakan kamu berangkat, meski hanya rubuh-rubuh gedang”. Dalam arti, tetap beribadah meski masih sekadar ritual jasad. Akan tetapi, alih-alih ikut sholat, Nasirun lebih senang membersihkan mushola tersebut. *Bersambung*