Metamorlisa | Cerpen: Aris Rahman P. Putra
Seorang wanita muda berdiri di samping rel kereta api di kawasan Jagir. Sorot matanya kosong menatap tenda yang berada di seberang tempat ia berdiri. Tenda tersebut dibikin dari spanduk-spanduk sisa bekas kampanye caleg bulan lalu. Tampak dua anak kecil tengah tertidur lelap di dalamnya dengan beralaskan kertas koran. Di sebelah dua anak itu ada sang ibu yang dengan tekun mengipasi si anak menggunakan sobekan kardus.
Matahari sudah berada tepat di ubun-ubun si wanita muda. Panas terasa seperti membakar kulit si wanita muda yang hanya mengenakan tanktop dan celana gemes. Ia memayungi dahinya menggunakan punggung tangan kanannya dan kembali mencoba memerhatikan keluarga yang tinggal di dalam tenda. Lalu si wanita muda menoleh ke kanan dan kiri, seperti hendak memastikan sesuatu. Jalan raya di kejauhan tampak padat oleh kendaraan. Sepeda motor berjubel, meliuk-liuk di celah sempit di antara apitan mobil-mobil. Seorang bapak tua kepayahan mendorong rombong baksonya menaiki jalanan yang menanjak. Mobil Honda Jazz yang mengantri di belakang segera menekan klakson. Sang pengemudi membuka jendela mobil dan mengacungkan jari tengah ke bapak tua tukang bakso.
“Minggir, Jamput!”
“Sabar, Su, Asu!”
Bapak tua tukang bakso mengusap dahinya yang berpeluh menggunakan serbet yang disampirkan di pundaknya. Bunyi klakson terdengar sahut menyahut layaknya sebuah orkestra jalanan dengan segala kebisingannya. Seorang pemuda melemparkan pancingnya ke sisi jalan dan berlari menembus kemacetan mendekati bapak tua tukang bakso. Satu … dua … tiga … rombong bakso akhirnya berhasil melewati tanjakan.
Si wanita muda merasakan ada sesuatu yang bergetar dalam saku celana gemesnya. Sebuah panggilan masuk. Ia tak menggubrisnya. Si wanita muda masih menunggu sesuatu dari arah sebelah kanan rel kereta api. Total sudah tujuh menit dia menunggu. Namun, yang ditunggunya tak kunjung datang menjemput. Pelan-pelan, ia mulai merasa gusar dengan keputusannya.
Di belakang si wanita muda, berjarak sekitar duapuluh lima langkah dari tempat ia berdiri, ada sekumpulan anak kecil tengah berdiri bugil di atas pipa besi dekat palang pintu air. Mereka berjumlah lima orang.
“Tiga … dua … satu!”
Kelima anak kecil itu melompat dengan serempak. Melompat dengan tangan memeluk lutut. Tubuh mereka lesap di kedalaman air berwarna kecokelatan. Air muncrat ke udara dan tampak berkilatan dihajar sinar matahari. Seluruh dunia, dalam penglihatan kelima anak itu, jadi melambat. Anak pertama berupaya menaikkan tubuhnya ke permukaan dengan menggerakkan kedua tangannya seperti sedang menyibakkan tirai. Yang lain turut mengikuti. Satu per satu kepala mulai bermunculan dan mengambang di permukaan air. Mereka menghela napas. Sesuatu dalam saku celana gemes si wanita muda kembali bergetar. Panggilan masuk. Kali ini si wanita muda mengambil hape dan menerima panggilan itu.
“Hei, kamu lagi di mana?”
“Sejak kapan kamu jadi peduli aku sedang di mana?”
“Nggak usah kekanak-kanakan seperti itu. Kamu di mana? Biar kujem—“
“Gak usah repot-repot, brengsek, hidung belang! Urus aja selingkuhanmu yang lebih cantik!”
Panggilan berakhir. Si wanita muda memasukkan hapenya kembali. Kelima anak yang tadinya sedang jeguran di kali, kini sudah mentas. Tubuh mereka kuyup seluruhnya. Cawat mereka tak henti mengucurkan air, membasahi setiap jengkal tanah yang mereka lalui. Mereka hendak pulang ke rumah masing-masing, namun secara kompak menghentikan langkah saat berpapasan dengan si wanita.
“Mbak, ngapain di sini?” tanya salah satu anak.
Si wanita muda agak terkejut mendapati sebuah pertanyaan meluncur dari si anak kecil. Si wanita, dengan agak tergeragap, menyahutinya, “Ke … ke … napa kamu peduli denganku? A … pa … karena aku putih dan sipit?”
Kelima anak kecil sontak terbahak mendengar sahutan si wanita muda. Terbahak meski tak sepenuhnya memahami apa maksud sesungguhnya dari yang dikatakan si wanita muda. Terbahak karena jawaban yang semacam itu tak pernah mereka jumpai sebelum ini.
“Memange kenapa dengan putih dan sipit? Mbake keturunan malaikat apa?”
Kelima anak kecil itu kembali terbahak.
“Enggak, aku ini kupu-kupu.”
Kelima anak kecil itu kini mulai tertarik. Mereka berdiri mengelilingi si wanita dan dengan seksama mendengarkan kelanjutan cerita si wanita muda.
“Mana buktinya kalau mbake ini benar kupu-kupu?”
Ganti si wanita yang terbahak.
“Kamu beneran gak percaya kalau aku ini kupu-kupu?”
“Engggaaak!!!”
Si wanita muda membuka telapak tangan kirinya dan memperlihatkan kepada sekumpulan anak kecil yang mulai menunjukkan raut muka penasaran.
“Coba lihat ini baik-baik, ya.”
Telapak tangan si wanita muda mulai mengelupas kulitnya. Cairan hijau lengket kemudian menyembur dari celah daging yang terbuka saat kulit mengelupas.
“Waaahhh, kok bisa gitu?”
“Jangan-jangan mbake ini monster kayak yang ada di tipi-tipi.”
“Lawannya ultraman!”
“Iya, jangan-jangan mbake ini monster lawannya ultraman!”
Dalam waktu sekejap, bagian telapak tangan sampai siku kiri si wanita telah diselimuti oleh jaringan lengket kehijauan. Si wanita tersenyum melihat respon keheranan yang ditunjukkan anak-anak kecil yang mengelilinginya. Meskipun kenyataannya, ada perasaan ngilu yang coba ia tahan. Rasa ngilu yang terasa bergerak-gerak di tangan kirinya, dan tengah bersiap untuk menjalar ke bagian tubuhnya yang lain.
“Eh, tapi mbake, kok, kupu-kupu berlendir?!”
“Iya, kupu-kupu kok ngeluarin lendir hijau?!”
Bagaimana mesti menjelaskannya pada anak-anak ini? Si wanita muda mencoba memutar otak. Matanya menatap gerumbul awan di angkasa, yang baginya terlihat mirip seekor bekicot. Bekicot adalah hewan yang spesial bagi si wanita karena menurutnya, bekicot telah memahami, bahwa rumah paling nyaman yang perlu dimiliki adalah rumah di dalam diri sendiri. Saat si wanita muda termenung, suara tangis anak kecil yang tinggal di dalam tenda memecah fokusnya. Sang ibu yang baru saja memejamkan mata karena ketiduran, jadi terjaga kembali. Ia menggendong anaknya dengan menggunakan jarik yang diikatkan pada pundak sambil mengayun-ayunkan anaknya agar kembali tenang. Si wanita muda merasa terharu.
“Karena aku baru akan menjadi kepompong.”
Satu per satu anak mendekat dan memencet-mencet tangan kiri si wanita. Cairan hijau bermuncratan dan mengotori tangan mereka.
“Yeeekkk!”
“Rasanya kayak megang muntahan.”
“Baunya juga kayak muntah.”
“Yeeekkk!”
Si wanita muda menjelaskan, “Tapi fase menjijikkan ini cuma sementara, kok. Cuma sebentar. Karena setelah lewat fase kepompong, kupu-kupu indah akan terlahir ke dunia.”
“Waaahhh, kereeen!” sahut kelima anak tersebut dengan serempak.
“Kapan mbake akan jadi kupu-kupu?”
“Iya, kapan mbake akan jadi kupu-kupu? Kami mau lihat.”
Si wanita tersenyum, lalu menoleh ke kanan, menerawang di kejauhan untuk kesekian kalinya.
“Sebentar lagi. Sebentar lagi aku akan jadi kupu-kupu.”
“Yeeey, kupu-kupu. Mbake akan jadi kupu-kupu terindah di kawasan Jagir!”
“Iyaaa, kami sudah lama gak lihat kupu-kupu di kampung ini.”
“Paling mentok di sini yang kelihatan terbang cuma doro aduan!”
“Kupu-kupu … kupu-kupu … mbake akan jadi kupu-kupu.”
“Ehh, bentar-bentar, kira-kira mbake akan jadi kupu-kupu warna apa?”
Kelima anak itu berhenti melonjak-lonjak dan mulai menerka-nerka.
“Ijo, pasti mbake akan jadi kupu-kupu ijo. Kayak Persebaya.”
“Ngawur kamu! Memang kamu kira mbake itu Bonek apa?!”
“Lha, memangnya mbake itu The Jack?”
“Hus, mana mungkin mbake The Jack. Kan mbake itu kupu-kupu, bukan macan. Bukan juga anj—”
Rel kereta api perlahan bergetar. Suara peluit kereta terdengar memecah kebisingan. Sirine berbunyi. Palang pintu kereta turun. Mobil dan motor yang hendak menyeberang ke sisi jalan yang lain terpaksa mesti berhenti. Ini waktunya. Tibalah waktu yang telah ditetapkan. Si wanita tersenyum bahagia. Dirogohnya hape yang sedari tadi disimpan dalam saku dan diberikannya kepada salah satu anak.
“Ini simpan hapeku, yaa. Aku sudah gak butuh. Sebentar lagi aku bakal jadi kupu-kupu.”
“Wah, beneran mbake? Ini hape mahal, lo.”
“Wah, keren, keren, bisa dibuat selpi.”
Kini tangan kiri si wanita muda telah diselimuti oleh jaringan lengket, lalu dada, lalu kaki, lalu …
“Kalian cepet merem! Sebentar lagi aku bakal jadi kupu-kupu.”
“Kenapa harus merem? Kami kan pengin lihat mbake jadi kupu-kupu.”
“Kalian harus merem, biar surprise!”
“Iya, bener kata mbake. Kalau merem jadi surpres.”
“Hitung mundur dari lima sampai satu, ya.”
Kelima anak itu memejam mata dan mulai menghitung mundur keras-keras dan bersamaan.
Lima … empat … tiga … dua … suara kereta terdengar begitu kencang melintas di hadapan mereka. Lajunya yang begitu kencang menciptakan angin yang membuat rambut kelima anak itu berantakan … satu … crot! Lendir hijau bermuncratan mengenai badan kereta dan wajah serta tubuh kelima anak itu. Kelima anak itu membuka mata.
“Yeeekkk!”
“Mana kupu-kupunya?”
“Mbake bohong. Gak ada kupu-kupu.”
“Mana mbake?”
Kelima anak itu mencoba meneliti sepanjang rel dan sama sekali tak melihat kupu-kupu. Satu-satunya yang dapat dilihat hanyalah muncratan lendir hijau lengket dan gumpalan daging busuk yang masih berdenyut-denyut teronggok di atas rel.
“Apa itu?”
Hape yang dipegang salah satu anak bergetar. Sebuah notifikasi masuk, pesan pendek dari kontak bernama Papa. Pesan itu berbunyi, hei goblok! Kamu dapet nilai D lagi, ya? Dasar idiot! Tapi kelima anak itu tak ada yang sanggup membuka pesan tersebut. Hape itu dikunci dengan menggunakan pola.
Gumpalan daging yang tergolek di atas rel berhenti berdenyut, berasap, lalu meleleh menjadi cairan lengket berwarna hijau. Kereta telah lewat. Palang pintu dibuka. Mobil dan motor kembali berdesakan berebut menyeberang lebih dahulu.
Kelima anak itu terdiam lama, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Sekeras apa pun mereka mencoba berpikir, mereka tak paham sama sekali dengan apa yang terjadi. Tapi mereka cuma heran sebentar. Karena setelahnya, dunia kembali berjalan sebagaimana biasanya.
Aris Rahman P. Putra ia seorang penulis dan editor lepas kelahiran Sidoarjo, 12 Juli 1995 Aktif berjualan di instagram: @tokotemangabut.