Mudik: Antara Kesalehan dan Kesalahan? | Opini: Ahmad Izudin
Opini : Ahmad Izudin
Mudik adalah tradisi bangsa Indonesia. Tradisi yang agak sulit untuk melacak sejak kapan mudik tersebut dimulai. Namun sebagai sebuah entitas kebudayaan, tradisi mudik dapat di tracking, setidaknya sejak gelombang besar-besaran proses urbanisasi di era Orde Baru. Program Orde Baru yang bernama Pelita, kala itu. Program ini telah mengalami anti-klimaks di era pasca reformasi.
Transformasi pembangunan di era pasca reformasi telah mengubah semua sarana dan entitas bangsa. Perubahan yang mencerminkan proses sentralisasi ke desentralisasi. Proses ini membuat setiap daerah memiliki kewenangan penuh untuk mengelola aset dan sumber daya yang dimilikinya. Harapan perubahan pun muncul. Terutama bagi kalangan middle class baru yang berhasil dalam karir di Kota. Mereka memiliki kesempatan untuk membangun rumah dan keluarga di tempat perantauan.
Kelompok middle class baru ini telah mengisi kuota angkatan kerja yang diharapkan oleh pemerintah. Mereka memiliki akses pendidikan yang baik sehingga mampu memberdayakan diri sendiri dan keluarganya. Namun kondisi tersebut tidak semua mereta. Faktanya, masih banyak ditemukan masyarakat yang berada di level kelas bawah. Mereka hidup di pelataran kota yang bekerja sebagai buruh tidak tetap, serabutan, dan unskill.
Kebijakan Larangan Mudik: Efektifkah?
Faktanya, negeri ini masih dipenuhi oleh masyarakat kelas bawah. Mereka mengadu nasib untuk bekerja di kota. Namun karena kemampuan yang terbatas, mereka harus mengisi kuota angkatan kerja yang kasar. Mereka tinggal mengontrak, hidup dijalanan, hingga tidak menetap. Pengucapan istilah yang dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo tahun 2020, antara Mudik dan Pulang Kampung, heboh dan viral di jagad maya. Kebijakan larangan mudik yang pertama di awal masa pandemi telah diimplementasikan. Namun kebijakan tersebut, faktanya tidak efektif. Masyarakat masih banyak yang melakukan hilir-udik untuk ‘pulang kampung’. Masyarakat mengolok-olok ucapan Presiden tersebut. Mereka yang nekad untuk mudik,menisbatkan sebuah alasan kepada petugas dengan sebutan “Saya tidak Mudik, tapi Pulang Kampung”. Ini terjadi karena untuk merespon Presiden yang memperbolehkan Pulang Kampung.
Kebijakan larangan mudik second-term juga dicanangkan di tahun 2021. Kebijakan ini telah membuat bimbang masyarakat. Mereka tetap memiliki alasan untuk mengunjungi orang tua dikampung halamannya. Alasan yang kerap muncul adalah “Saya tidak mudik, tapi berlibur dan berwisata”. Ini terjadi karena ambivalensi kebijaksan yang plin-plan dari negara. Mudik dilarang, sementara berwisata diperbolehkan.
Dengan beragam alasan yang dilontarkan pemerintah, kebijakan larangan mudik pun diimplementasikan. Namun fakta dilapangan sungguh berbeda. Kebijakan penyekatan wilayah yang mengerahkan aparatur negara, TNI dan Polri dari 300an titik, agaknya berlebihan.
Kejadian demi kejadian terjadi, bahkan di awal penerapan kebijakan ini membuat gaduh. Ada banyak respon dari masyarakat, mereka menyebutkan “apa bedanya kami dengan teroris”, ada juga respon ” Kami dilarang mudik, namun WNA tetap diperbolehkan masuk ke Indonesia”.
Di satu sisi, kebijakan larangan mudik ini dapat dibenarkan. Pasalnya, negara sedang berusaha menekan angka penyebaran Covid-19. Dalam catatan medis, ada banyak penderita hingga meninggal dunia merupakan kelompok rentan atau Lansia. Di sisi lain, kebijakan larangan mudik ini menunjukkan bahwa pemerintah belum siap dengan instrumen kebijakannya.
Instrumen tersebut adalah sektor ekonomi dan kesehatan. Di sektor kesehatan, negara belum mampu membuat standar vaksinasi, standar rapid test, dan standar lain untuk mencegah penyebaran Virus Covid-19. Menurut saya, kebijakan di bidang kesehatan ini terlalu ‘mendewakan’ WHO tentang standar Prokes dan vaksinasi. Atau pertanyaan yang menggelitik muncul, “apakah ketika warga negara Indonesia meninggal dunia WHO juga bertanggung jawab?”.
Di sektor ekonomi, negara terlalu tebang pilih. Mengapa perusahaan Maskapai, Kereta Api, dan lainnya memperolehkan operasional dengan catatan mematuhi Prokes perjalanan?”. Sementara, untuk layanan organda justru tidak berlaku Prokes perjalanan tersebut.
Itulah beberapa catatan sekelumit mudik dan kebijakannya. Sebagai bangsa yang religius walaupun bukan negara berbasis Islamic-State, masyarakat merasa bahwa menghormati orang tua lebih dari apapun. Hal ini merupakan bukti bahwa masyarakat memiliki kesalehan sosial untuk bersilaturahim. Sementara mudik adalah bentuk kesalahan karena melanggar kebijakan. Wallahu’alam.