Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pemilu Serentak 2024 dan Pengarusutamaan Politik Lingkungan

Pemilu Serentak 2024 dan Pengarusutamaan Politik Lingkungan



Pemilu Serentak 2024 dan Pengarusutamaan Politik Lingkungan

Didik Suyuthi

Politics and Electoral Specialist – The Reform Initiatives (TRI)


Dikeluarkannya revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI tahun 2021 memastikan dua hal; Pertama, pupusnya wacana normalisasi jadwal pilkada di tahun 2022 dan 2023. Kedua, mulusnya ketentuan Pemilu serentak 2024 yang meliputi Pemilihan Presiden, Anggota DPD, dan anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten berbarengan dengan Pemilihan Gubernur dan Bupati / Walikota.

Kita asumsikan saja teknis Pemilu Serentak 2024 dapat berjalan lancar sebagaimana diharapkan. Maka pada waktunya, 2024 nanti kita akan menghasilkan orang-orang terpilih baik di eksekutif maupun legislatif. Mereka lah yang akan menjalankan roda politik dan pemerintahan untuk masa lima tahun berikutnya. Lantas, what else?

Terus terang melihat kompleksitas persiapan Pemilu Serentak 2024, saya agak gelisah kalau-kalau konsentrasi Pemilu 2024 nanti justru lebih banyak menjebak kita pada teknis menyangkut kontestasi nama-nama, dan rumitnya aturan main. Saya percaya kita semua bersepakat bahwa pemilu bukan sekedar ajang untuk melegitimasi kekuasaan. Sebagaimana Herbert (1995), Pemilu serentak 2024, harusnya, juga menghasilkan ide-ide dan pikiran-pikiran konstruktif untuk Indonesia ke depan.

Sekarang, proyeksi kita berikutnya, dua tahap Pemilu Serentak 2024 berlangsung dengan mulus dan aman. Terpilihlah Presiden dan Wakil Presiden. Terpilihlah DPD dan DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota berbarengan dengan Gubernur dan Bupati/Walikota.

Lalu apa? Jika Pemilu juga merupakan panggung bagi persemaian ide dan pikiran-pikiran, atau setidaknya berupa aliran-aliran pemikiran (politik). Maka isu apa kemudian yang akan kita angkat dan arusutamakan?

Poin pertanyaan ini penting kita elaborasi dan kita diseminasi sejak awal. Sebab dengan pikiran-pikiran inilah seharusnya orang-orang yang terpilih nanti, apakah itu mereka yang di legislatif maupun eksekutif, akan bekerja.

Pikiran-pikiran ini yang akan jadi pemantik yang menentukan lokus pembahasan produk perundang-undangan. Pikiran-pikiran ini pula yang pada akhirnya akan menjadi guidance bagi berbagai arah kebijakan pemerintahan.

Platform Politik Lingkungan

Indonesia adalah negara dengan kondisi geografis yang memiliki risiko bencana tinggi. Banjir bandang dan badai siklon tropis di Bima, NTB, menyusul NTT, dan terakhir gempa bermagnitudo 6,1 di selatan Malang, bukanlah bencana sekali dan terakhir. Melihat topografi Indonesia, kejadian alam tak terduga serupa masih akan potensial terjadi di kemudian hari.

Faktanya, secara geografis Indonesia memang terletak di daerah katulistiwa dengan morfologi yang beragam dari daratan sampai pegunungan tinggi. Keragaman ini banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas pergerakan lempeng tektonik aktif di sekitar perairan Indonesia.

Pergerakan tektonik inilah yang menyebabkan terbentuknya jalur gempa bumi, rangkaian gunung api aktif, serta patahan-patahan geologi yang merupakan zona rawan bencana gempa bumi, banjir bandang, dan tanah longsor. Pendek kata, Indonesia adalah zona rentan masalah ekologis. 

Lantas apa yang harus dilakukan? Kita butuh roadmap dan prioritas kebijakan, yang tentu saja berkait langsung dengan mitigasi bencana. Disinilah, saya ingin katakan, memasuki Pemilu Serentak 2024, pengarusutamaan platform politik ekologis mutlak dibutuhkan.

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 tahun 2020 yang mengamanatkan agar setiap kota sudah memiliki rencana induk penanggulangan bencana pada 2020-2024, memang selangkah lebih baik. Sedikit memperbaiki substansi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana yang terlampau normatif.

Tetapi hadirnya Perpres ini, hemat saya, belum bisa disebut kabar baik. Sebab semangat yang menaungi sesungguhnya baru sebatas merangsang sensitifitas bencana di daerah. Masih Parsial. Masih sangat jauh dari kerangka mitigasi bencana sebagai prioritas kebijakan.       

Sejujurnya saya tidak hendak mendorong isu ini sebagaimana narasi kawan-kawan aktivis lingkungan hidup yang melihat ketidakadilan ekologis lebih sebagai bagian akibat dari praktik ekonomi neo-liberalisme, rongrongan kapitalisme, dan berbagai jeratan politik global lainnya. Saya hanya ingin lebih menggarisbawahi bahwa dalam konteks Indonesia, ketidakseimbangan ekologis bukan kedaruratan tetapi merupakan kerawanan permanen yang wajib kita sikapi.

Kalau UN-ISDR (United Nations International Strategy for Disaster Reduction) membagi bencana alam ke dalam dua kelompok yakni; bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made hazards), maka perspektif saya mengenai platform politik ekologi yang harus dipanggung utamakan adalah konteks bahaya alam yang pertama. Alasannya jelas, siklus bencana di Indonesia ini nyata.

Rumusnya, jika mitigasi bencana mampu diagregasi menjadi sebuah common sense, masuk pada wilayah kepekaan, akal sehat, saya optimis platform ini pada saatnya akan termanifestasi menjadi kehendak sadar rakyat.

Bagaimana mengagregasinya? Bicara momentum politik lima tahunan, tentu partai politik lah yang harus menjadi aktor utamanya. Parpol-parpol yang lahir pasca reformasi sebenarnya telah banyak yang memiliki kesadaran politik ekologi. Hanya saja, lebih sering tenggelam oleh isu-isu pragmatis lainnya.

Dalam catatan saya, dari sembilan parpol yang bertengger di Senayan, PDI Perjuangan, PKB, dan Golkar, setidaknya telah memasukkan poin akan pentingnya keseimbangan lingkungan hidup ke dalam platform partainya. Meskipun sejauh ini belum ada satupun dari mereka yang memiliki cara pandang yang benar-benar ekosenteris dalam menyikapi Indonesia sebagai negara rawan bencana.

Buktinya, berbagai agenda politik lingkungan berkali-kali selalu hanya menjadi kembangan saja di Senayan. Sektor industri taruhlah, dimana bunyi klausul mengenai green industry dalam Undang Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mercusuar itu? Nonsense. Sektor anggaran, berapa persen APBN kita yang masuk kategori green budgeting? Catatan saya hanya 0,9 persen.

Para legislator yang sering teriak minta anggaran pertahanan naik minimal 10 persen, saya tanya, lebih butuh mana kawasan natural hazard kita yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini, jangkar pengaman ekologi atau teknologi perang?.

Satu lagi, soal komitmen pengurangan emisi hingga 29 persen pada 2030 misalnya. Ini ada dan disepakati dalam konvensi mengenai perubahan iklim. Pertanyaan kita, partai mana di Senayan yang punya ketertarikan serius mengawal isu ini? Coba list kalau ada, siapa legislator yang konsisten bicara mengenai isu biodiversity? Siapa anggota DPR yang mau mikir agak sistematis soal kerangka regulasinya, soal instrumen pendanaannya, hingga soal bagaimana mengeksekusinya?          

Atau soal reforma agraria. Partai mana di Senayan yang serius melakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan privatisasi perusahaan-perusahaan negara yang menguasai hajat hidup orang banyak? Partai mana yang mau payah-payah memastikan perlindungan dan pemenuhan layanan sosial dasar rakyat oleh negara? Nyatanya, kejahatan korporasi di bidang ini masih terus ‘dilindungi’ oleh negara.

Pemilu serentak 2024, hemat saya harus menjadi momentum semesta rakyat yang proaktif mengagregasi platform politik lingkungan. Menjadi momentum yang mampu mendiseminasi isu lingkungan ke dalam agenda-agenda politik nasional. Sehingga pada waktunya nanti, pemilu mampu menghadirkan pendidikan politik yang spesifik bagi rakyat. Merangsang kecakapan mereka dalam memahami bencana dan dampak bencana. Sekaligus mentransformasi partai politik menjadi infrastruktur politik yang lebih adaptif dalam menghadapi siklus isu lingkungan.