Karya Pamungkas Dawam Rahardjo: Sosialisme dari Utopia ke Indonesia
Berita Baru, Jakarta – Beritabaru Publishing, unit penerbitan dan diseminasi gagasan baik Beritabaru.co, menyelenggarakan launching buku pertamanya, yakni Sosialisme: dari Utopia ke Indonesia karangan Dawam Rahardjo pada Selasa (20/4) melalui Youtube beritabaruco.
Selain untuk meluncurkan buku perdana penerbit Beritabaru Publishing sekaligus tulisan Dawam Rahardjo terakhir yang belum sempat diterbitkan, acara ini diadakan guna merayakan hari ulang tahun Dawam Rahardjo, 20 April 1942.
“Dari awal memang konsepnya kami buat seperti ini, yaitu bagaimana peluncuran buku yang berisi gagasan puncak Dawam Rahardjo tentang ekonomi politiknya ini bisa dibarengkan dengan hari ulang tahunnya,” kata Edward Bot, murid Dawam Rahardjo sekaligus yang memberikan pengantar untuk buku Sosialisme: dari Utopia ke Indonesia tersebut.
Untuk ukuran launching perdana, agenda peluncuran buku berjalan cukup meriah dengan dihadiri oleh tiga (3) narasumber berkelas nasional: Fadli Zon, Zumrotin K. Susilo, dan Fachry Ali.
Ketiganya menuturkan, mereka berkenan hadir dalam peluncuran buku sebab bagi mereka Dawam Rahardjo adalah guru dan sahabat, khususnya untuk Zumrotin.
“Sudah sejak tahun 1980an saya kenal dan berangsur dekat dengan Mas Dawam. Sejauh yang saya kenal, Mas Dawam adalah sosok yang sangat pro perempuan,” ungkap Zumrotin, tokoh perempuan nasional dan pendiri Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Dawam Rahardjo sebagai pribadi yang begitu konsisten dan berpihak pada yang di bawah
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Beritabaru Publishing bekerja sama dengan Epistemic Yogyakarta, Dawam Rahardjo Institute, dan Contradixie ini, Zumrotin banyak bercerita tentang aspek unik Dawam Rahardjo yang belum banyak diketahui orang.
“Sebentuk keberpihakan Dawam terhadap perempuan adalah bagaimana ia sering bilang pada saya, perempuan itu sangat lemah dan tidak memiliki dukungan ekonomi, sehingga mereka butuh didukung. Mas Dawam ini ketika melihat perempuan, siapa pun itu, selalu dari sisi baiknya,” ujarnya.
Selain itu, Zumrotin melanjutkan, Dawam Rahardjo jugalah orang yang sangat konsisten dan memiliki keberpihakan yang kentara pada mereka yang tertindas atau berada di bawah. Keberpihakan Dawam bahkan melekat dalam keseharian.
“Saya sering ya, ketika mau makan siang dengan Mas Dawam dan dua temannya, Mas Dawam selalu mengajak kami untuk makan di warung pinggiran, warung tenda begitu di emperan, bukan resto dan semacamnya,” jelas Zumrotin.
“Dan ketika saya tanya, Mas Dawam dengan tegas menjawab, bahwa dengan begini, makan di emperan, bukankah kita turut membantu perkembangan ekonomi di level bawah?” lanjutnya.
Di penghujung sesinya, Zumrotin menambahkan, dari semuanya, adalah tidak heran jika Dawam Rahardjo sampai akhir hidupnya merupakan sosok yang tidak pernah sinis pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pasalnya, mereka adalah pilar untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan.
Dawam Rahardjo: Antara Teologi al-Maun dan Sosialis Kiri-Tengah
Adapun dari testimoni Fadli Zon, disebutkan bahwa Dawam Rahardjo tidak saja pakar di bidang ekonomi dan sosial, tetapi melampaui keduanya. “Mas Dawam adalah sosok yang unik!” Ungkap Fadli Zon, Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI.
Ia adalah santri sekaligus pemikir sosialis. Untuk yang terakhir pun, lanjut Fadli, Sosialisme yang dibawa dan dipraktikkan Dawam Rahardjo khas, dalam arti kiri tapi tidak terlalu ke kiri melainkan ada nuansa tengahnya. “Ya, bahasa enaknya, Sosialisme Mas Dawam ini kiri-tengah lah ya,” katanya.
Dari segi keagamaan, menurut Fadli, banyak pilihan pemikiran Dawam Rahardjo menunjukkan keunikan. Pemikiran Keagamaan Dawam bergaya liberal, tetapi liberalnya berbeda dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang sempat ramai berkembang.
Ada semacam ketumpangtindihan antara sebagai seorang sosialis dan ekonom dalam pemikiran agama Dawam Rahardjo dan barangkali bahasa yang tepat untuk menggambarkan distingsi ini, kata Fadli, adalah bercorak al-Maun atau di bawah payung teologi al-Maun ala Muhammadiyah yang keberpihakannya jelas, yakni pada mereka yang tertindas (al-mustadl’afin).
Yang pertama dan utama, Dawam Rahardjo itu romantis
Jika Zumrotin dan Fadli membidik aspek aktivisme dan intelektualitas Dawam Rahardjo, maka Fachry Ali peneliti senior di LP3ES, dalam acara yang dipandu oleh Sarah Monica ini, lebih memilih untuk mengisahkan fragmen hidup Dawam Rahardjo sebagai seorang yang romantis.
Isu yang pertama kali menyita perhatian Dawam Rahardjo, kata Fachry, adalah puisi. Sebelum Dawam masuk bangku perkuliahan dan fokus pada isu ekonomi politik, Dawam sudah menulis banyak puisi.
“Dari Dawam yang romantis ini pada akhirnya wajar jika ia menyukai gagasan-gagasan Marxisme, meskipun setelah saya membaca sekilas buku Sosialisme ini, ada pergeseran yang mendasar rupanya dalam relung pemikiran Mas Dawam,” ujar Fachry.
“Kenapa bisa demikian? Sebab Marxisme menawarkan romantisme, yang tidak lain adalah kehidupan itu sendiri. Romantis itu kehidupan loh,” tambahnya.
Di sisi lain, Fachry Ali juga menyebut bahwa yang mengenalkan pesantren di kalangan peneliti pada tahun 1980an, khususnya LP3ES, adalah Dawam Rahardjo.
Pesantren merupakan institusi masyarakat bawah yang harus dikembangkan sebagaimana warung emperan—persis dengan kisahnya Zumrotin di atas—sehingga karena inilah Dawam Rahardjo gigih mengenalkan pesantren di kalangan peneliti dengan harapan pesantren ini bisa mendapatkan keberpihakan.
“Pondok pesantren sebagai sebuah institusi keagamaan, menurut Dawam, perlu memperoleh perhatian khusus. Sebab di dalamnya juga memiliki aspek sosial dan ekonomi yang penting untuk dikembangkan bagi kemaslahatan masyarakat. Hal ini hanya dibutuhkan bukan untuk pesantren yang too established, semacam Gontor,” ungkap Fachry Ali.
085877681030 | |
Beritabarupublishing |