Awal dari Kehancuran Ekologi dan Kearifan Lokal Sumenep
Sebagaimana dilansir dari mongabay bahwa ada rencana pemerintah terkait perubahan regulasi RTRW Kabupaten Sumenep yang bertujuan untuk memperluas tambang fosfat dengan dalil belum adanya tambang fosfat skala besar. Penambangan yang ada sebelumnya masih berbasis tradisional dan cenderung tertutup. Sehingga, hal tersebut membahayakan dan jauh dari pengawasan pemerintah.
Menurut Dardiri Zubairi salah satu pegiat dari barisan Ajege Tana Na’ Poto dalam Mongabay mengatakan bahwa perluasan titik tambang fosfat ini merupakan ancaman perampasan lahan di wilayah pesisir pantai serta akan mengakibatkan kelangkaan air. Sebab, kawasan yang akan dijadikan penambangan fosfat adalah kawasan karst.
Oleh karena itu, masyarakat menganggap bahwa kawasan karst merupakan bak air, di mana selama musim hujan dapat menampung air sebanyak- banyaknya. Karst ibarat tandon air raksasa yang terbenam di dalam tanah. Dan apabila terdapat pembongkaran pada kawasan karst untuk kepentingan pembangunan. Secara tidak langsung akan memperpendek jarak masa kini dengan masa depan Sumenep tanpa air belum lagi apabila pertambangan fosfat dibangun, maka makin cepatlah perjalanan waktu ke masa kehancuran itu. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Rastati (2017) Kawasan karst merupakan batuan kapur yang berfungsi sebagai daerah resapan dan sumber air, kaya bahan tambang, serta kaya akan peningalan sejarah dan apabila karst dikelola dengan salah, hal tersebut dapat mengakibatkan kekeringan, konflik sosial, budaya, dan kehilangan biodeversitas.
Bilamana pembangunan terhadap tambang fosfat tersebut tetap getoldilakukan maka secara tidak langsung pemerintahan telah mengambil kehidupan masyarakat Sumenep. Artinya, air sebagai salah satu sumber kehidupan masyarakat untuk minum, mandi hingga memenuhi aktivitas kehidupan dirampas oleh pemerintah. Padahal masyarakat memiliki hak atas air sebagian dari hak asasi manusia – di mana negara bertanggung jawab, melindungi dan memenuhi penggunaan air secara maksimal untuk kesejahteraan warganya.
Hal itu juga sebagaimana termaktub dalam pasal 33 ayat 3 Undang – undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” pun telah menjelaskan bahwa air dan sumber daya alam lainnya harus digunakan dengan adil demi kesejahteraan rakyat”.
Kesadaran yang mulai terkikis akan pentingnya air bagi kehidupan dalam mengelola sumber daya air yang diaktualisasikan dengan bentuk kebijakan yang pro dengan investor ini mengantarkan pada kehancuran. Seharusnya, kepedulian kepada air menjadi kerja nyata pemerintahan daerah dalam mempertanggungjawabkan kewajibannya menyejahterakan warganya.
Selain itu, Tirto juga menegaskan kekeringan air akan memicu pemanasan global yang diakibatkan oleh ulah manusia. Pemanasan global akan berdampak terjadinya perubahan iklim. Sehingga, mengakibatkan peningkatan suhu di bumi serta pergantian musim menjadi tidak stabil. Hal tersebut, dapat mempengaruhi pola persebaran biota hingga mengakibatkan kepunahan karena tidak dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang ada. Selain itu, flora pun mengalami perubahan pada pola perilaku untuk melakukan penyerbukan.
Hal tersebut merupakan gambaran awal untuk menggambarkan punahnya fauna dan flora endemik khas Sumenep jika penambangan fosfat tetap dijalankan sesuai dengan regulasi yang dibuat oleh pemerintah, maka akan terjadi bencana ekologi yang melanda Sumenep. Padahal, keberadaan fauna karst sangat berfungsi untuk merunut sistem air bawah tanah dan mengungkap kehidupan prasejarah. Sedangkan, flora karst memiliki fungsi untuk sumber pakan beberapa fauna yang mendiami kawasan karst.
Lebih parahnya, suhu ekstrim nantinya akan berdampak pada ketersediaan pangan. Di mana, jumlah produksi pangan misalnya padi akan menurun. Sehingga, akan mengakibatkan kelangkaan pangan di masa depan. Menurut Iskandar peneliti LIPI menyebutkan bahwa ketahanan dalam suatu daerah merupakan pondasi dari ketahanan panagan dan energi suatu wilayah yang berujung pada kesejahteraan perekonomian masyarakat di daerah tersebut.
Potensi Terkikisnya Kearifan Lokal Masyarakat Sumenep
Kepala LIPI pernah mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan proses pembangunan yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Pembangun berkelanjutan dapat dikatakan berhasil apabila, pembangunan tetap memperhatikan sumber daya alam serta ruang lingkup keadilan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, apabila ingin mengaplikasikan konsep tersebut maka, perlu meletakkan tiga pilar di antaranya adalah sosial, ekonomi dan lingkungan serta ketiga pilar tersebut harus berjalan harmonis.
Artinya pembangunan sosial tidak boleh mengorbankan pembangunan ekonomi dan lingkungan. Termasuk pembangunan ekonomi, diharapkan tidak mengorbankan aspek – aspek sosial dan tidak menimbulkan masalah lingkungan.
Kendatinya, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah yang berkerja sama dengan para investor jauh dari prinsip pembangunan berkelanjutan. Ketika bangunan fisik telah dibangun banyak sekali perampasan lahan, intimidasi dan penyingkiran terhadap warga dan ruang hidupnya. Misalnya Kasus Petani Kandeng dan dan PT. Semen Indonesia, di mana masyarakat melakukan penolakan terhadap pembangunan PT Semen Indonesia di kawasan pegunungan Kendeng. Pembangunan tersebut akan berdampak pada kelestarian sumber daya air dan pangan yang menghidupi masyarakat kendeng.
Penolakan sudah lama terjadi sejak tanggal 7 Juni 2012, akan tetapi konflik tersebut masih belum usai. Oleh karena itu, besar kemungkinana masyarakat Kabupaten Sumenep akan mengalami kasus tersebut jika pemerintahan tetap membangun penambangan skala besar.
Pembangunan atas penambangan fosfat pada dasarnya hanya menguntungkan para pemodal dan pemerintah. Logika yang akan digunakan atas pembangunan tersebut adalah dengan cara kontrol sosial dengan memanfaatakan komponen penting yang diyakini masyarakat sebagai stategi bertahan hidup. Maksudnya, melegitimasi masyarakat untuk bekerja kepada mereka untuk bertahan hidup. Hingga secara tidak langsung akan meninggalkan pekerjaan awal sebagai petani dan nelayan karena pekerjaan tersebut tidak lagi menjadi tawaran untuk bertahan hidup.
Saat itu pula, mereka akan kehilangan kearifan lokalnya sebagai masyarakat Sumenep yang beretnis madura. Sejarah mengatakan bahwa orang Madura sejak awal sudah bekerja sebagai nelayan dan petani. Bahkan mereka menganggap laut adalah kehidupan mereka. Hilangnya kearifan lokal sebab pembangunan akan berdampak negatif kepada generasi selanjutnya.
Pengetahuan lokal atau indigenous knowledge bagian dari kearifan lokal adalah pengetahuan yang khas yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau budaya yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal balik antara masyarakat dengan lingkungannya. Jika lingkungan di Sumenep terkikis sebab pembangunan yang tidak ramah akan kearifan lokal maka secara tidak langsung akan menghilangkan dialektika antara masyarakat dan alam. Biasanya, dapat menjawab tantangan yang dihadapkan kepadanya dengan menciptakan berbagai prasarana dan sarana untuk tetap memperhatikan sumber daya alam milik mereka.
Selain itu, kearifan lokal orang Sumenep saat pembangunan tambang fosfat sepertinya akan menghadapi derasanya arus moderinasasi yang pada akhirnya akan mengikis bahasa ibu yakni bahasa madhure serta pribadi orang sumenep. Menurut karakteristik orang sumenep (Madura) yang dibentuk oleh kondisi geografis dan topografi lekat pada budaya masyarakat hidraulis (air). Akibat kondisis lahan yang tandus, orang madura lebih banyak menggantungkan hidupnya pada laut sehingga mereka pun berpola kehidupan bahari yang penuh tantangan. Inilah yang kemudian melahirkan perilaku sosial yang bercirikan keberanian yang tinggi, menjunjung tinggi martabat dan harga diri, berjiwa keras dan ulet dalam hidup.
Miri Pariyas Tutik Fitriya: Pegiat Literasi Kota Malang asal Sumenep Madura. Mahasiswa Biologi UIN Malang