Mendorong Kebijakan Berwawasan Lingkungan Pasca Pilkada
Wahyu Eka Setyawan
Pengkampanye di Walhi Jatim dan Redaktur Pelaksana di Coklektif.com
Pilkada 2020 telah usai dihelat, beberapa nama baru menjadi pemenang. Nama-nama lama (petahana) banyak yang berguguran, mereka harus mengubur mimpi menjadi pemimpin dalam-dalam. Tapi, siapapun orangnya yang menjadi pemimpin daerah nanti, tentu yang menjadi sorotan adalah bagaimana penerapan kebijakan nanti harus benar-benar sesuai dengan situasi dan kondisi terkini.
Semisal, membuat kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat dengan mengedepankan partisipasi, lalu menerapkan kebijakan yang tepat sasaran dengan melakukan terobosan dan inovasi teknologi, memprioritaskan perencanaan ruang berbasis daya dukung ekosistem dan melakukan proteksi terhadap kawasan ekosistem esensial.
Narasi di atas merupakan sebuah proposisi manuver politik yang menekankan bahwa pemerintah daerah harus berani membuat kebijakan yang umumnya dikenal berwawasan lingkungan, artinya mengedepankan pencegahan dan perlindungan daripada penanggulangan serta perbaikan, sebagaimana spirit yang ada dalam UU PPLH 32/2009.
Kebijakan Berwawasan Lingkungan
Kebijakan berwawasan lingkungan adalah komitmen suatu organisasi atau pemerintah terhadap peraturan perundang-undangan, dan mekanisme kebijakan yang menyangkut masalah lingkungan. Kebijakan tersebut harus mencakup proteksi dari polusi udara dan air, pengelolaan limbah, pengelolaan ekosistem, pemeliharaan keanekaragaman hayati, pengelolaan sumber daya alam, perlindungan satwa liar, dan spesies yang terancam punah (Eccleston, 2011).
Sehingga jika berbicara tentang kebijakan lingkungan, maka akan cenderung berfokus pada masalah yang timbul dari dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan, sehingga memiliki implikasi negarif pada nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan yang dimaksud berkaitan dengan kesehatan yang baik atau lingkungan yang ‘bersih dan hijau’. Pada praktiknya, pembuat kebijakan harus menyediakan berbagai jenis informasi dan partisipasi untuk proses pengambilan keputusan publik (Loomis & Hefland, 2006).
Kebijakan berwawasan lingkungan perlu dilakukan dan diterapkan. Sebagai contoh, ekses eksploitasi lingkungan dapat dilihat kala sebuah pabrik yang menghasilkan limbah pencemaran, lalu mereka membuangnya ke sungai, akhirnya mencemari air. Masyarakat yang terkena dampak harus membayar mahal atas situasi tersebut, yang mana mereka harus mengeluarkan banyak biaya untuk membersihkan air sebelum digunakan, sampai pada tataran parah mereka harus membeli air. Kondisi tersebut menciptakan sebuah term “penumpang gratis.” Di mana pengeluaran biaya pribadi masyarakat lebih besar digunakan untuk memproteksi lingkungan daripada keuntungan pribadi, tetapi biaya sosial juga lebih rendah dari keuntungan sosial.
Itulah yang dinamakan sebagai tragedy of the commons, suatu kondisi akibat dari tidak adanya konsep kepemilikan bersama antar individu, maka setiap individu memiliki insentif untuk memanfaatkan sumber daya bersama sebanyak mungkin. Tanpa keterlibatan pemerintah, konteks milik bersama akan digunakan secara berlebihan. (Hardin, 2009).
Secara rasional tidak adanya keterlibatan pemerintah dalam upaya penyelamatan ruang hidup rakyat, dapat diartikan sebagai absennya pemerintah dalam menegakkan kebijakan atas lingkungan hidup, seperti tidak membuat kebijakan yang sesuai dan cenderung tidak demokratis. Pada tataran inilah tantangan bagi pemerintah daerah yang baru terpilih. Mereka harus membuat negara hadir melalui kebijakan yang berwawasan lingkungan dan berorientasi pada kepentingan rakyat secara luas.
Tantangan untuk Pemerintah Daerah yang Baru
Salah satu kebijakan mendesak yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah adalah membenahi kebijakan lama, lalu memunculkan kebijakan baru yang berperspektif lingkungan. Salah satunya adalah pemulihan daya dukung ekosistem dengan membuat perencanaan tata ruang yang sesuai situasi dan kondisi suatu wilayah.
Problem dari pola kebijakan lama yang dijalankan oleh pemerintah daerah seringkali abai terhadap situasi dan kondisi ekosistem. Kebanyakan menerapkan kebijakan yang bertentangan dengan situasi dan kondisi ekosistem. Seperti perencanaan ruang dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang cenderung tumpang tindih. Memang RTRW adalah aturan hirarkis, di mana pemerintah daerah level kabupaten/kota harus tersinkronisasi dengan provinsi serta pusat.
Tetapi, daerah memiliki kewenangan untuk berani menerapkan rencana ruang yang berbasis pada landskap wilayahnya, meski harus berbenturan dengan hirarki atasnya. Kewenangan ini bersifat koordinatif dan advokatif. Di mana daerah memberikan saran dan masukan, serta mendorongnya ke pusat agar skema perencanaan ruang disesuaikan dengan kondisi dan situasi lokal.
Jika mengacu pada aturan perundang-undangan, seperti dalam UU 26/2007 tentang tata ruang, pemerintah daerah khususnya provinsi dan kabupaten/kota masih memiliki wewenang terkait penataan ruang, sebagaimana tertuang dalam pasal 10 dan 11. Tetapi situasi tersebut berubah kala UU Cipta Kerja disahkan. Kewenangan Pemerintah daerah dibatasi dengan pengubahan substansi padal pasal 10 dan 11 yang mana pemerintah daerah dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota secara tugas harus mengikuti aturan pusat dalam perencanaan ruang.
Perubahan tersebut secara lugas dipertegas pada pasal 9 tentang penataan ruang, di mana pemerintah pusat memiliki peran mutlak pada perencanaan dan pentaan ruang. Situasi ini tentu menjadi dilema bagi pemerintah daerah yang ingin melakukan perencanaan ruang berbasis pada landskap faktual wilayahnya. Karena harus berbenturan dengan aturan perundang-undangan.
Kembali ke UUD NRI 1945
Meski begitu, pemerintah daerah bisa berpatokan pada konsitusi yakni UUD RI 45, di mana apa yang dilakukan mereka tak lain dan tak lebih menjalankan mandat “hak bersuara” rakyat yang tertuang pada pasal 28 beserta poin-poinnya. Terutama mengadvokasi keberadaan pasal 28 G dan H yang berbicara tentang perlindungan warga negara dan hak hidup di lingkungan yang sehat.
Selanjutnya, jika mengacu pada pasal 33 ayat 3 bahwa sumber-sumber penting seperti bumi, air dan sumber daya penting yang dikuasai oleh negara. Di dalam penjelasan pasal tersebut disampaikan bahwa, pengelolaan atas sumber daya penting harus berdasarkan aspek transparan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan.
Secara tidak langsung setiap warga negara berhak menolak segala aturan yang bertentangan dengan UUD NRI 1945. Tak terkecuali pemerintah daerah yang memang mempunyai komitmen dalam pembuatan kebijakan berwawasan lingkungan hidup. Apalagi pemerintah daerah tersebut didukung oleh rakyatnya, tentu itu menjadi modal yang kuat untuk melawan kebijakan yang sifatnya top-down dan tidak demokratis dari pemerintah pusat.
Referensi
Eccleston, C. H., & March, F. (2011). Global environmental policy: concepts, principles, and practice. CRC Press.
Hardin, G. (2009). The tragedy of the commons. Journal of Natural Resources Policy Research, 1(3), 243-253.
Loomis, J., & Helfand, G. (2006). Environmental policy analysis for decision making (Vol. 1). Springer Science & Business Media.