Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Warga Alas Buluh yang Dikriminalisasi Berjuang untuk Lingkungan Hidup

Warga Alas Buluh yang Dikriminalisasi Berjuang untuk Lingkungan Hidup



Wahyu Eka Setyawan

Wahyu Eka. S

Walhi Jawa Timur


Persoalan yang dihadapi oleh tiga pejuang lingkungan hidup yakni Ahmad Busi’in, H. Sugianto, dan Abdullah dari Desa Alasbuluh, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi yang dikriminalisasi akibat menghadap truk pengangkut tambang galian C adalah bagian dari mempertahankan dan melindungi haknya. 

Hak apa yang dimaksudkan? Yakni hak untuk melindungi wilayah dari kerusakan, yang secara umum mengerucut pada hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Seperti yang dicantumkan dalam pada pasal 28H UUD NRI 1946 dan UU PPLH pasal 5 ayat 1. Secara internasional pun diakui dalam konvensi deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM) dalam artikel ke lima.

Tentu aksi penghadangan truk kepunyaan PT Rolas Nusa Tambang (RNT) merupakan puncak dari kemarahan warga atas hak-hak lingkungan baik dan sehat yang tidak terpenuhi. Serta bagian dari akumulasi kekecewaan kala laporan dan permintaan mereka tentang penghentian tambang yang dinilai menimbulkan kerugian bagi warga, terutama secara kesehatan, ketenangan dan keberlanjutan lingkungan mereka. Sehingga aksi penghadangan damai tersebut sebagai wujud ekspresi atas penegakkan regulasi terkait hak atas lingkungan.

Perlu diketahui mereka sejak bulan Oktober tahun 2014 sudah mendorong agar ada musyawarah terkait keberadaan tambang galian C milik PT RNT yang dinilai merugikan masyarakat. Mereka beberala kali melakukan pertemuan dengan PT RNT dan pemerintah Banyuwangi untuk menyampaikan keresahan mereka, serta meminta untuk mengutamakan hak warga atas lingkungan yang baik dan sehat. Tetapi keresahan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti.

Sebagai warga negara, ketiga warga yang tengah dikriminalisasi sedang menegakkan hukum lingkungan. Sehingga ketika mereka diseret ke ranah meja peradilan dengan dijadikan tersangka kejahatan dalam delik menghalangi usaha pertambangan yang sah, sesuai dengan UU Minerba adalah kesalahan yang fatal dan berkontradiksi dengan kenyataan serta hukum lingkungan yang ada. Dalam kerangka lebih khusus mereka adalah korban dari tata aturan yang tidak sinkron, kaku dan bias. Pasalnya, hukum lingkungan di UU PPLH dan UU Minerba bertentangan, khususnya pada pasal 66 UU PPLH terkait proteksi atas pejuang lingkungan dengan pasal 162 UU Minerba, secara lebih luas berkontradiksi dengan UUD NRI dan DUHAM.

Kondisi ini sebelumnya pernah terjadi pada beberapa warga yang tengah berjuang untuk lingkungannya, sebagai contoh warga Wawoni di Sulawesi Tenggara yang juga menghadapi kakunya pasal tersebut. Apa yang dihadapi oleh warga Banyuwangi ini, secara tidak langsung merupakan bagian dari SLAPP atau upaya melemahkan suara kritis warga dalam  menghadapi pertambangan. Secara garis besar merupakan bentuk dari kriminalisasi, agar warga takut dan berhenti bersuara. Sebagai wujud brutalitas pelanggaran atas hak asasi manusia, karena ada pembiaran dalam hal ini. 

Pembiaran dalam hal apa? Ada izin di tempat warga dan bermasalah, tetapi suara warga diabaikan. Pada akhirnya warga bertindak sendiri, tetapi malahan mereka dikriminalisasi. Tentu ini bagian dari pembiaran, jika dari awal pemerintah tegas dengan lebih mengutamakan warga, maka tidak akan ada penghadangan. Lebih jauh lagi jika pemerintah jeli dengan tidak memberikan izin tambang, maka tidak akan terjadi kerusakan dan konflik sosial. 

Tentu dalam hal kriminalisasi yang tengah dihadapi oleh tiga warga tersebut menunjukkan bahwa hukum lingkungan dan persoalan hak asasi manusia belum dipenuhi sepenuhnya oleh pemerintah. Serta kasus serupa berpotensi terjadi di wilayah lain, di manakala ada warga yang berjuang untuk lingkungan hidup yang baik dan sehat berpotensi untuk dikriminalisasi. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah sebagai eksekutif dan pihak-pihak yudikatif untuk membuat regulasi yang berperspektif pada warga dan lingkungan hidup, serta memberikan proteksi kepada warga negara yang berjuang untuk menegakkan konstitusi.

Karena dalam perlindungan lingkungan hidup dan implementasi konstitusi dibutuhkan partisipasi, bukankah negara ini adalah negara demokrasi? Jika partisipasi rendah, bagaimana menegakkan hukum lingkungan? 

Terakhir, jika ketiga warga tersebut divonis bersalah oleh majelis hakim, hal tersebut merupakan kematian demokrasi dan bentuk pengabaian konstitusi. Karena tidak melihat kondisi faktual dan hanya melihatnya satu arah, padahal hukum ini multi-perspektif ada hal lain yang bisa dilihat di luar kondisi tersebut. Seperti mengapa warga menghadang dan marah terhadap pertambangan. 

Faktor niat baik dari warga yang berjuang untuk lingkungan yang baik dan sehat juga harus dilihat, yakni tidak hanya membaca UU Minerba tetapi juga membaca lalu membandingkan dan menyesuaikan dengan aturan lainnya. Dan, kondisi ini tidak akan terjadi lagi ketika ada aturan yang sinkron satu sama lainnya, di mana dalam hukum lingkungan dan hukum pertambangan tidak bisa dipisahkan dalam entitas hukum berbeda. Seharusnya  setiap yang berhubungan dengan lingkungan dibuat dalam satu payung bukan dipisah-pisahkan.