Donasi Tiongkok sebagai Wujud Nilai Solidaritas Imparsial
Kepala,
China Unit CSIS
Membantu pihak lain yang membutuhkan dengan tidak membeda-bedakan latar belakang sentimen primordial seperti suku, agama, perspektif politik merupakan sikap kebajikan utama. Dalam literatur filsafat Tiongkok kuno, seorang filsuf besar Tiongkok bernama Guan Zhong (管仲) tahun 645 BC dengan jelas menuliskan pemikiran filosofisnya tentang ‘manusia’, yaitu ‘Yi ren wei ben ( 以人为本 )’ yang berarti manusia adalah akar dalam tata kelola politik negara. Dalam teks yang ditulis pada kitab bambunya Guan Zhong menyebutkan bahwa ‘manusia adalah akar dan fondasi kuat dari suatu negara ‘Min wei ben, ben gu bang ning 民为邦本,本固邦宁 ’[1]. Manusia merupakan akar kuat dan tujuan yang paling utama dari politik bernegara, gagasan ini mencerminkan penghargaan terbesar Guan Zhong pada kehidupan manusia. Selain Guan Zhong sejumlah filsuf besar Tiongkok kuno juga berbicara tegas tentang orientasi manusia dalam pemikiran filosofisnya. Dalam pemikiran filsafat Tiongkok kuno, manusia selalu ditempatkan sebagai tujuan utama dalam bernegara ‘Ren wei bang wen 人为邦本’. Filsuf besar Tiongkok Mencius ‘Meng Zi ( 孟子) yang hidup pada sekitar tahun 372 BC-289 BC juga menuliskan ide luhurnya dalam filsafat politik yaitu ‘Min wei gui, Jun wei qing ( 民为贵,君为轻 )’ yang berarti bahwa manusia (dan rakyat) adalah elemen paling penting dan paling utama dalam tata kelola negara, karena ada manusia dan rakyat maka dibentuklah negara, sebaliknya posisi raja (pemimpin negara pada bentuk monarki absolut) atau presiden (pemimpin negara pada bentuk negara republic) sebagai pemimpin adalah elemen terakhir yang diperlukan. Sebab ada manusia dan negara baru kemudian keberadaan pemimpin diperlukan.
Konsep orientasi pada manusia karena manusia adalah keutamaan yang paling berharga (Min wei gui民为贵) yang ditulis oleh dua filsus besar dalam sejarah filsafat Tiongkok kuno, baik oleh Guan Zhong maupun Mencius hingga saat ini ditempatkan sebagai sumber semangat dasar dalam tradisi budaya dan politik Tiongkok. Sampai saat ini Tiongkok secara terus mewarisi dan mendasarkan seluruh sistem politik ekonomi negara modernnya pada filsafat tradisional kuno yang dituliskan ratusan tahun sebelum masehi tersebut. Pemikiran ‘berpusat pada manusia’ adalah signifikansi positif dan kontribusi berharga dari nilai warisan budaya tradisional Tiongkok untuk kehidupan manusia modern.
Rancangan pembangunan negara yang meliputi politik ekonomi sosial budaya harus berorientasi pada manusia. Inilah dasar dan premis utama untuk terus memenuhi dan memperkaya kehidupan moral dan material seluruh rakyat. Pembangunan politik dan ekonomi negara harus berorientasi pada manusia dengan menempatkan kebajikan dan moralitas di atas kepentingan material. Kebajikan utama dalam tata kelola politik domestik dan politik internasional berorientasi pada manusia, menjadikan kelangsungan hidup manusia sebagai inti yang mendasar. Manusia, baik sebagai individu dan sebagai kumpulan masyarakat semestinya ditempatkan sebagai dasar utama dalam seluruh aktivitas pembangunan tata kelola negara dan hubungan internasional.
Tentang ‘Yi ren wei ben ( 以人为本 )’, pemikiran filosofis ini memiliki dua elemen penting. Yang pertama adalah konsep ‘Ren 人’ yang berarti manusia. Pemikiran humanistik dalam sejarah Tiongkok terutama menekankan bahwa manusia lebih berharga daripada benda. Dalam masyarakat modern, apakah itu Barat atau Cina, sebagai konsep pembangunan, pemikiran berorientasi manusia terutama diusulkan relatif terhadap pemikiran berbasis materi.
Yang kedua adalah konsep ‘Ben 本’ yang berarti adalah dasar. Dalam konteks ini, mengutamakan manusia adalah konsep aksiologi filosofis, bukan konsep ontologi filosofis. Menempatkan manusia sebagai keutamaan bukan untuk menjawab pertanyaan tentang ontologi alam semesta, dan siapa yang pertama dan kedua dalam semesta. Namun untuk menjawab semesta tempat kita hidup, apa yang paling penting, apa yang paling mendasar, apa yang paling layak mendapat perhatian kita. Berorientasi pada manusia, memiliki arti manusia menempati urutan yang paling penting dan mendasar. Pandangan Filsuf Mencius menerangkan bahwa seluruh rancangan kebijakan politik negara harus berorientasi pada manusia, bidang pendidikan harus berorientasi pada siswa, politik luar negeri harus menempatkan kehidupan seluruh manusia di muka bumi sebagai tujuan utama. Wujud nyata menempatkan manusia sebagai inti dasar dalam tata kelola politik negara ini merupakan kebajikan utama dalam filsafat Mencius.
Konsep scientific development (scientific outlook of development) yang menjadi karakteristik Tiongkok di bawah kepemimpinan President Hu Jintao merupakan konsep ilmiah tentang pembangunan yang sejak awal berorientasi pada manusia sebagai awal dari segalanya, menekankan pentingnya manusia. Prioritas pertama adalah pembangunan, dan intinya berorientasi pada manusia sebagai pelaku dan tujuan pembangunan itu. Persyaratan dasarnya adalah koordinasi dan keberlanjutan yang komprehensif, dan metode dasar adalah pertimbangan komprehensif(quan mian全面)dan berkelanjutan ( te xu特续)。Konsep filosofis ‘menjadikan manusia sebagai dasar (Yi ren wei ben 以人为本 ) ditempatkan oleh pemerintah Tiongkok sebagai dasar konsep pembangunan; untuk secara fundamental memecahkan masalah dalam kehidupan masyarakatnya dengan tidak membeda-bedakan (impartiality), termasuk masalah kesejahteraan, pendidikan untuk mencerdaskan seluruh masyarakat, akses kesehatan untuk seluruh masyarakat; menjadi dasar langkah pemerintah menetapkan seluruh kebijakan pembangunan. Sejak Tiongkok berubah secara fundamental menjadi negara modern, setiap presiden dan pimpinannya tetap menjadikan inti pemikiran filsafat ‘manusia’ ini sebagai dasar pembangunan Tiongkok, dan ide dasar Tiongkok dalam membangun hubungan internasional.
Tiongkok merupakan negara yang sangat menghargai warisan leluhurnya, termasuk karya besar para filsuf Tiongkok kuno. Tradisi penghormatan pada leluhur ini mewujud nyata dalam konsistensi sikap untuk menempatkan manusia dan rakyat sebagai inti dari semua kebijakan tata kelola bernegara dan kebijakan luar negeri. Menjaga keberlanjutan hidup manusia adalah inti kehidupan. Konsistensi pilihan sikap setiap pemimpin Tiongkok ini berlanjut hingga saat ini. Masyarakat Tiongkok di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, dengan ketulusan hati memberi bantuan kepada banyak negara yang saat ini sedang berjuang keras menghadapi pandemi Covid-19. Donasi ini diberikan Pemerintah Tiongkok dengan mengabaikan sentiment primordial seperti ras, agama, dan golongan politik apapun. Pilihan sikap mengabaikan semua jenis sentiment primordial dan golongan politik merupakan manifestasi dari inti filsafat tradisional ‘menjadikan manusia sebagai dasar’ yang pertama kali dikemukakan oleh Guan Zhong pada tahun 645 BC. Donasi kemanusiaan telah diberikan Tiongkok sebagai wujud kasih dan penghargaan kepada manusia dengan tidak membeda-bedakan manusia itu (impartiality), dengan mengabaikan perbedaan agama, suku bangsa dan golongan politik. Sejumlah donasi kemanusiaan itu diberikan kepada sejumlah Negara Muslim Iran, Iraq, Turki, Arab Saudi, Sudan, Suriah dan negara yang mayoritas penduduknya adalah beragama Islam seperti Indonesia dan Malaysia.
Bantuan kemanusiaan ini sangat bermakna besar saat negara-negara tersebut sangat membutuhkan dukungan moral dan material dalam menghadapi pandemic Covid-19. Pilihan sikap Tiongkok yang memberi bantuan kepada negara Islam dan negara berpenduduk mayoritas Islam ketika negara-negara tersebut membutuhkan bantuan adalah wujud nyata sikap demokrasi sejati. Demokrasi yang sejati selalu menempatkan manusia sebagai akar dan sekaligus tujuan kebijakan politik termasuk politik luar negeri. Kebajikan utama menempatkan manusia sebagai inti dalam struktur politik dengan mengabaikan latar belakang primordialisme agama merupakan substansi dasar atas penghargaan tinggi kepada hak asasi manusia. Prinsip ini merupakan hakikat demokrasi. Namun, ide demokrasi saat ini disempitkan maknanya hanya dalam konteks kuantitatif pemilihan umum (general election). Metode pemungutan suara yang demokratis sebenarnya hanya memberikan rasa partisipasi politik bagi kebanyakan orang. Sementara itu Demokrasi sejatinya bukan hanya sekedar representasi suara dalam setiap pemilihan umum. Menilai demokrasi dari konteks pemilihan umum sesungguhnya sangat menyempitkan hakikat demokrasi. Hakikat subsantif demokrasi adalah menjadikan kehidupan manusia dan masyarakat sebagai akar dan tujuan setiap kebijakan politik negara dan kebijakan luar negeri, dan seluruh tata kelola politik diorientasikan pada kehidupan manusia dan masyarakat.
[1] 世界著名政治家的命运 主编江家齐,副主编李勤得 何大进,广西人民出版社,中国 1999 第