Tanpa Utang, Stimulus Fiskal Indonesia untuk Penanganan COVID-19 bisa di Atas 2% PDB
Berita Baru, Jakarta – Coronavirus disease 2019 atau COVID-19 telah menyebar di 199 negara di seluruh dunia dan 2 kapal pesiar yaitu Diamond Princess yang berlabuh di Yokohama, Jepang, serta MS Zaandam Holland America.
Merujuk pada data yang disajikan oleh portal publik worldometers.info pada Sabtu (28/3) pada 09.06 GMT atau 16.06 WIB, jumlah kasus secara global telah mencapai 601.520, korban meninggal 27.441 orang, dan yang dilaporkan sembuh 133.454 orang.
Berdasarkan jumlah korban yang meninggal, saat ini Indonesia berada pada urutan ke-14 yaitu sebanyak 102 orang. Pada urutan pertama masih ditempati Italia sebanyak 9.134 orang, disusul Spanyol 5.138, China 3.295, Iran 2.378, Perancis 1.995, Amerika Serika 1.704, Inggris 759, Belanda 546, Jerman 395, Belgia 289, Swiss 237, Korea Selatan 144, Swedia 105.
Meskipun begitu, jumlah kematian yang terjadi di Indonesia masih merupakan yang tertinggi di antara 10 negara di Kawasan ASEAN, yaitu dengan death rate 8,83 persen di atas Filipina sebesar 6,72 persen.
Komitmen Fiskal Masih Rendah
Dalam telekonferensi dengan awak media pada Selasa (24/3,) Menteri Keuangan Sri Mulyani telah memberikan sinyal kepada publik bahwa pemerintah akan mengupayakan stimulus fiskal dan anggaran penanganan Covid-19 berkisar antara Rp118,3 triliun sampai Rp121,3 triliun atau setara dengan USD7,58 miliar dengan kurs Rp16.000.
Dana tersebut, lanjut Sri Mulyani akan digunakan untuk penanganan temporer dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan untuk memastikan ketersediaan alat pelindung diri, memberikan insentif bagi tenaga medis berkisar Rp5 juta sampai Rp15 juta per bulan tergantung profesinya, dan mengganti biaya perawatan pasien Covid-19.
Mengingat Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2019 mencapai Rp15.883,9 triliun, maka nilai stimulus fiskal tersebut baru sebesar 0,76 persen.
Menurut Sri Mulyani Indonesia terus berupaya menangani wabah Covid-19 melalui instrumen kebijakan fiskal maupun moneter. Sasaran kebijakan bukan hanya penduduk miskin, melainkan juga pekerja yang terancam pemutusan hubungan kerja akibat perusahaan yang bangkrut.
Dalam kesempatan tersebut Sri Mulyani juga menuturkan bahwa seluruh negara tengah melakukan tindakan yang tidak konvensional dengan mendayagunakan segala instrumen maupun sumberdaya dalam rangaka menjada keamanan penduduknya masing-masing.
Merujuk data yang diolah oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, diketahui bahwa terdapat 12 negara lain yang telah mempublikasikan nilai stimulus untuk mengatasi COVID-19. Jerman telah mengalokasikan USD1,15 triliun, Perancis EUR345 miliar, Australia USD109 miliar atau setara dengan 9,7 persen PDB, Uni Eropa USD100,84 miliar, Korea Selatan USD66 miliar, dan Canada USD63,9 miliar.
Selain itu Italia juga mengalokasikan USD27 miliar, Tiongkok USD17,2 miliar, Rusia USD15,5 miliar, Turki USD15,4 miliar, begitu juga Singapura melalui paket pertama sebesar USD4,4 miliar.
Baru-baru ini, Amerika Serika juga dilaporkan telah menetapkan nilai stimulus fiskal sebesar USD2 triliun. Adapun India yang telah menerapkan kebijakan lock down kepada 1,3 miliar penduduknya di seluruh negara dilaporkan menyiapkan anggaran 1,7 triliun rupee atau setara USD22,5 miliar yang akan dicairkan dalam bentuk makanan bagi rumah tangga miskin dan melalui bantuan langsung tunai.
Jika dibandingkan secara obyektif dengan sejumlah negara tersebut, sambil mempertimbangkan tingkat resiko maupun jumlah populasi serta kebutuhannya, stimulus fiskal dan dana penanganan COVID-19 yang dialokasikan oleh Indonesia melalui (rencana perubahan) APBN 2020 masih relatif kecil.
Pada Jum’at (20/3) Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 tahun 2020 tentang Refocusing Kegiatan, Realokasi Anggaran, Serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19.
Inpres tersebut dialamatkan kepada para Menteri Kabinet Indonesia Maju, Sekretaris Kabinet, Kepala Staf Kepresidenan, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Negara, para Gubernur di Seluruh Indonesia, dan para Bupati/Walikota di seluruh Indonesia.
Presiden menekankan kepada Menteri Keuangan agar memfasilitasi revisi anggaran secara cepat, sederhana, dan akuntabel. Kepada Menteri Dalam Negeri juga diperintahkan untuk melakukan penggunaan APBD di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Sepekan setelah Inpres tersebut diterbitkan, nyatanya belum ada pernyataan resmi pemerintah melalui Kementerian Keuangan maupun dari pemerintah daerah melalui Kementerian Dalam Negeri tentang berapa nilai hasil realokasi APBN dan APBD seluruh Indonesia.
Berkaca dari itu semua, frasa cepat dan penuh tanggung jawab sebagaimana diinstruksikan Presiden Jokowi tidak dijalankan oleh para pembantunya secara murni dan konsekwen.
Tidak Perlu Utang
Kembali dengan penjelasan Menteri Keuangan pada Selasa (24/3), ia menjelaskan bahwa asumsi pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, harga minyak dunia, dan suku bunga hampir semuanya meleset. Namun ia masih optimis jika COVID-19 di Indonesia dapat ditangani dengan cepat, maka perkeonomian masih bisa tumbuh sekitar 2,5 persen sampai 3 persen.
Secara otomatis postur APBN 2020 juga akan mengalami perubahan fundamental, salah satunya adalah dengan melakukan relaksasi defisit menjadi lebih dari 3 persen dari PDB. Dalam UU Nomor 20 tahun 2019 tentang APBN 2020, defisit telah ditetapkan sebesar 1,79 persen.
Untuk mengatasi ketersediaan anggaran dalam upaya penanganan COVID-19, Menteri Keuangan juga mewacanakan rencana utang melalui pinjaman bilateral dan multilateral, juga sumber lain dari skema hibah.
Lebih lanjut Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu) Luky Alfirman mengatakan pemerintah sudah berkomunikasi dan berkoordinasi dengan lembaga multilateral untuk mendapat pinjaman luar negeri. Pembicaraan skema pinjaman telah dilakukan kepada Asian Development Bank (ADB) dan Bank Dunia atau World Bank (WB).
Wacana utang tersebut mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Abdul Muhaimin Iskandar mengungkapkan kekhawatirannya terkait godaan luar negeri tersebut. Menurutnya utang tersebut dapat membuat bangsa Indonesia tidak merdeka dalam menentukan kebijakan anggaran.
Selain itu, anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Ratna Juwita Sari juga menyampaikan penolakannya terhadap rencana penambahan utang tersebut. Ia menilai kebutuhan anggaran penanganan COVID-19 baik untuk stimulus fiskal maupun pencegahan penularan dan penanganan kasus masih dapat dipenuhi dengan cara realokasi belanja KL secara ketat dan serius.
Kalaupun target penerimaan negara hanya mencapai 80 persen, maka asumsi belanja negara juga harus diturunkan 20 persen agar tidak ada pelebaran defisit. Selain itu, ia juga menghitung dampak kebijakan physical distancing sampai Juni 2020 (tiga bulan_red.) yang dibayarkan cukup belanja wajib saja, sedangkan belanja tidak penting dalam belanja KL harus dipotong seluruhnya untuk memenuhi kebutuhan anggaran dimaksud.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). Lembaga riset dan advokasi yang memiliki fokus terhadap kebijakan anggaran tersebut secara tegas menolak rencana utang pemerintah karena dianggap akan semakin membebani APBN serta dapat menyebabkan defisit semakin melebar.
Ekonom Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya Unggul Heriqbaldi juga menyarankan agar pemerintah tidak menerbitkan utang baru pada tahap awal, karena sensitivitas pasar finansial internasional. Pertama, dengan tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global, maka penerbitan global bond tidak akan mengudang demand yang tinggi dari para investor. Jikapun ada demand maka tingkat bunga yang harus ditawarkan harus cukup tinggi untuk mengakomodasi tingginya risiko yang ekonomi yang ada. Kedua, menerbitkan utang melalui surat utang baru juga akan memberikan sinyal bahwa Pemerintah Indonesia tidak sustainable dalam kapasitas fiskalnya, sehingga menjadi sangat rentan diserang spekulan di pasar forex dan pasar modal.
Menurut pandangannya, pemerintah lebih baik mengoptimalkan refocusing dan re-alokasi dari belanja rutin. Apabila masih kurang, dengan terpaksa belanja yang sifatnya pembiayaan program juga dapat dikurangi. Skema kebijakan ini akan mengisyaratkan bahwa anggaran negara terkelola dengan baik alias tidak sprodis.
Sebelumnya, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Erani Yustika pernah menyampaikan bahwa realokasi APBN tahun 2020 untuk penanganan COVID-19 dapat doptimalkan sebesar Rp330 triliun. Nilai tersebut diperoleh dari 20 persen dari belanja Kementerian Lembaga (K/L) sebesar Rp909,6 triliun yaitu sekitar Rp180 triliun, lalu ditambah dengan belanja lain-lain sekitar Rp150 T.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Brawijaya Malang tersebut menegaskan bahwa nilai Rp330 triliun itu dapat didayagunakan untuk menangani dampak COVID-19 di Indonesia. Akan tetapi, syarat utamanya adalah keberanian mengambil keputusan yang radikal.
Apabila pemerintah bersedia menggunakan perhitungan tersebut, maka alokasi anggaran untuk penanganan COVID-19 di Indonesia akan mencapai 2,08 persen dari PDB, atau setara dengan komitmen negara-negara lain yang juga terdampak.
Editor Britabaru.co