Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Menyoal Hubungan Diplomatik dengan Israel, Prabowo Melupakan Amanat Konstitusi | Analisis: Banyu Bening Winasis

Menyoal Hubungan Diplomatik dengan Israel, Prabowo Melupakan Amanat Konstitusi | Analisis: Banyu Bening Winasis



Pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto yang membuka kemungkinan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel jika Palestina merdeka mengundang perdebatan luas. Sekilas pernyataan tersebut tampak moderat dan kondisional dalam bahasa yang diplomatis. Namun, jika ditelisik lebih dalam, pernyataan ini justru mengabaikan akar persoalan serta mengancam komitmen konstitusional Indonesia.

Secara historis dan ideologis, Indonesia menempatkan isu Palestina sebagai bagian dari komitmen moral bangsa terhadap sikap anti-kolonialisme dan keadilan internasional di bawah prinsip normatif perikemanusiaan dan perikeadilan. Poin kritis dari pernyataan ini bukan hanya kemudian bahwa Indonesia berpeluang untuk mengakui entitas yang melakukan pelanggaran prinsip-prinsip tersebut. Melainkan juga di bawah pemerintahan Prabowo Indonesia tidak memiliki langkah riil untuk membawa isu Palestina akhir-akhir ini di forum internasional.

Indonesia dan Israel dalam Kerangka Politik-Hukum

Hal yang perlu ditekankan sedari awal adalah bahwa penolakan Indonesia terhadap hubungan diplomatik dengan Israel bukanlah sikap spontan yang lahir dari sentimen agama atau tekanan eksternal. Sikap ini berakar kuat pada pondasi konstitusional dan sejarah diplomasi Indonesia. Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan dengan tegas bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”Kalimat ini bukan sekadar kalimat hiasan, melainkan amanat moral yang menjiwai politik luar negeri Indonesia.

Israel, sejak mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1948 hingga kini, masih mengoperasikan pendudukan dan pelanggaran sistematis terhadap hak-hak warga Palestina. Terutama ini ditunjukkan dengan jelas bagaimana Israel telah melancarkan serangan yang terindikasi sebagai upaya genosida di Gaza dengan mens rea untuk membumi hanguskanwarga Gaza. Di mata hukum humaniter internasional, Israel telah melakukan pelanggaran terhadap kejahatan genosida, kejahatan agresi, dan kejahatan kemanusiaan.

Pernyataan akan peluang pengakuan hubungan diplomatik yang disampaikan oleh Prabowo dalam situasi ini berarti dapat mereduksi hak-hak warga Palestina dan mengesampingkan penjajahan yang masih berlangsung. Denganmengakui Israel, Indonesia yang memiliki prinsip politik luar negeri bebas-aktif dapat kehilangan independensinya serta terpatahkan konsistensi aktifnya dalam memperjuangkan keadilan internasional.

Relevansi Two-State Solution

Dalam pernyataannya, Prabowo menyebutkan bahwa pembukaan hubungan diplomatik akan dilakukan apabila Palestina merdeka. Pernyataan ini tampaknya mengacu pada two-state solutions atau solusi dua negara, yakni pendirian negara Palestina yang merdeka berdampingan dengan Israel. Namun, masalahnya adalah memangnya sejauh mana skenario ini masih realistis untuk situasi sekarang?

Sejak Oslo Accords pada 1993, solusi dua negara menjadi kerangka utama dalam negosiasi damai. Namun, hingga kini tidak ada tanda-tanda kemajuan yang berarti. Israel terus memperluas permukiman ilegal di Tepi Barat, bersama Amerika Serikat berencana untuk merelokasi warga Gaza, dan belakangan menerapkan blokade bantuan selama 11 minggu. Bahkan, beberapa analis internasional seperti Padraig O’Malley dalam artikel jurnalnya yang berjudul “Israel and Palestine: The Demise of the Two-State Solution” dan Manlio Graziano dalam artikelnya di Foreign Policy berjudul “The Two-State Solution Is a Recipe for Carnage” menilai bahwa peluang solusi dua negara tidak realistis dan bahkan mengarah pada pembantaian.

Dengan demikian, syarat jika Palestina merdeka bukanlah prasyarat yang konkret untuk mengakui kemerdekaan Israel begitu saja. Ini bisa menjadi pintu masuk untuk justifikasi hubungan diplomatik tanpa perubahan substantif atas kondisi penjajahan. Lebih dari itu, logika ini mengalihkan fokus dari perjuangan hak-hak warga Palestina ke diplomasi simbolik yang menguntungkan Israel secara citra, bukan Palestina secara riil. Karena selain Palestina yang memang harus merdeka, Israel masih harus bertanggung jawab secara moral dan hukum atas pelanggaran yang telah dilakukannya.

Yang Hilang dari Indonesia

Pada hakikatnya, Indonesia selama ini tidak pasif dalam isu Palestina. Indonesia secara aktif telah mendukungperjuangan Palestina di berbagai forum seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 yang mana Israel tidak diundang untuk menghadiri. Baik dari pemerintah maupun publik, dukungan tersebut tidak berhenti pada retorika belaka, tetapi juga dalam bantuan kemanusiaan hingga beasiswa pendidikan bagi warga Palestina.

Di mata dunia, Indonesia kerap menjadi simbol solidaritas dunia Muslim dan Global South terhadap perjuangan Palestina. Dengan mengubah posisi ini, maka kredibilitas Indonesia sebagai negara yang selama ini konsisten dalam memperjuangkan keadilan global dan kemerdekaan bangsa-bangsa akan tercederai.

Lebih jauh lagi, Indonesia bisa kehilangan posisi strategisnya sebagai bridge-builder dalam isu Palestina. Negara-negara yang sebelumnya melihat Indonesia sebagai mitra yang netral dan prinsipil akan mempertanyakan arah kebijakan luar negeri yang baru. Tidak hanya kehilangan prinsip dan legitimasi secara internal, Indonesia juga dapat kehilangan peran dan posisi secara eksternal.

Membuka peluang hubungan dengan Israel, meskipun dengan syarat kemerdekaan Palestina, tetaplah langkah yang prematur, problematik, dan oversimplified terhadap masalah yang terjadi. Bahkan, kemerdekaan formal pun jika tanpa pemenuhan hak-hak dasar bukanlah akhir dari penjajahan. Dalam kondisi seperti ini, membuka hubungan diplomatik bukan hanya tidak etis, tetapi juga mengkhianati semangat konstitusi dan sejarah diplomasi Indonesia.

Sebagai Presiden petahana, Prabowo memiliki tanggung jawab untuk menjaga garis haluan luar negeri Indonesiayang dibangun di atas nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan anti-kolonialisme sesuai dengan amanat konstitusi. Jangan sampai, dalam mengejar kepentingan strategis atau pragmatisme Prabowo justru melupakan amanat konstitusi yang menjadi dasar eksistensi bangsa Indonesia.


Menyoal Hubungan Diplomatik dengan Israel, Prabowo Melupakan Amanat Konstitusi | Analisis: Banyu Bening Winasis

Banyu Bening Winasis, Asisten Peneliti di Centre for Strategic and Global Studies (CSGS) Universitas Airlangga (UNAIR)