Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Persidangan Restitusi Korban Tragedi Kanjuruhan
Keluarga korban Tragedi Kanjuruhan saat mengawal sidang restitusi di PN Surabaya (Foto: Praditya Fauzi Rahman/detikJatim)

Pengadilan Restitusi Korban Tragedi Kanjuruhan Disorot Akibat Intimidasi dan Pengabaian Hak



Berita Baru, Surabaya – Proses persidangan restitusi bagi korban Tragedi Kanjuruhan yang berlangsung sejak 21 November 2024 semakin memunculkan keprihatinan. Dalam empat hari terakhir (17-20 Desember 2024), pengadilan diwarnai upaya pihak termohon, termasuk Kepolisian dan Manajemen Arema FC, untuk menghindari tanggung jawab hukum. Hal ini terungkap dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan (JSKK) pada Selasa (24/12/2024).

Menurut JSKK, santunan yang diberikan kepada keluarga korban dipakai sebagai alasan untuk menutupi kewajiban restitusi. “Santunan itu adalah bentuk belas kasih sukarela, bukan kewajiban hukum,” tegas JSKK. Dalam Putusan Kasasi No. 923 K/Pid/2023 dan No. 922 K/Pid/2023, restitusi dinyatakan sebagai hak korban yang harus dipenuhi oleh pihak bertanggung jawab.

JSKK juga mengkritik pendekatan pengadilan yang meminta bukti nota dari keluarga korban sebagai syarat restitusi. “Meminta nota dari keluarga yang berduka sama saja mengabaikan realitas kemanusiaan,” ujar salah satu perwakilan JSKK. Mereka menekankan bahwa restitusi bukanlah sistem reimburse, melainkan pemulihan yang mencakup aspek materi dan non-materi.

Selain itu, ancaman tuntutan balik terhadap korban oleh pihak termohon menambah beban psikologis. “Tindakan ini adalah intimidasi yang memperlihatkan niat untuk melemahkan perjuangan korban secara sistematis,” ungkap JSKK dalam siaran persnya.

Pendekatan prosedural yang kaku juga dinilai mengabaikan kebutuhan korban akan pemulihan trauma. Bantuan psikologis yang ditawarkan termohon dianggap tidak cukup untuk mengatasi dampak mendalam dari tragedi ini. “Trauma akibat kehilangan anggota keluarga tidak bisa diatasi hanya dengan pendampingan psikologis, tetapi memerlukan pemenuhan tanggung jawab hukum yang nyata,” tegas JSKK.

JSKK mengajukan enam tuntutan utama, antara lain:

  1. Memastikan hak restitusi yang layak bagi korban.
  2. Menghentikan pendekatan restitusi sebagai sistem reimburse.
  3. Menolak tuntutan balik yang diajukan termohon.
  4. Memprioritaskan keadilan substantif di atas prosedur teknis.
  5. Menjalankan hukum dengan empati terhadap keluarga korban.
  6. Memenuhi kewajiban hukum untuk memberikan restitusi sebagai bagian dari pemulihan martabat korban.

JSKK juga menyerukan kepada masyarakat untuk mendukung perjuangan korban Tragedi Kanjuruhan. “Keadilan untuk korban adalah harga mati. Mari bersama membela hak mereka,” tutup JSKK dalam pernyataan yang disampaikan kepada media.