Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Rainy Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan
Rainy Hutabarat, salah satu komisioner Komnas Perempuan (Foto: Istimewa)

Komnas Perempuan Dorong Optimalisasi Perlindungan untuk Cegah Femisida dalam KDRT



Berita Baru, JakartaKomnas Perempuan memperingati dua dekade Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), dengan fokus pada upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung pada femisida. Dalam siaran pers bertajuk “Cegah KDRT Berujung Femisida dengan Optimalisasi Perintah Perlindungan dan Partisipasi Masyarakat,” Komnas Perempuan menekankan pentingnya peran masyarakat dan pemerintah dalam mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender.

“Femisida, yang berarti pembunuhan perempuan akibat gender atau jenis kelamin mereka, masih belum terintegrasi secara luas dalam kebijakan nasional, meskipun kasusnya semakin kompleks,” ujar Rainy, Komisioner Komnas Perempuan, dalam pernyataannya, dikutip dari siaran pers yang terbit pada Selasa (24/9/2024). “KDRT yang tidak tertangani dengan baik dapat bereskalasi hingga menyebabkan kematian, yang sering kali disebabkan oleh pasangan intim.”

Komnas Perempuan mencatat bahwa sejak disahkannya UU PKDRT, kekerasan terhadap istri mendominasi laporan KDRT, mencapai 70% dari keseluruhan kasus setiap tahunnya. Seiring waktu, istilah femisida mulai digunakan secara resmi dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan sejak 2017, meskipun kasus-kasus kematian akibat KDRT telah tercatat sejak 2005.

Menurut Komisioner Siti Aminah Tardi, dalam pemantauan media massa sepanjang tahun 2023, terdapat 162 kasus femisida, dengan 67% atau 109 kasus di antaranya adalah femisida intim, yaitu pembunuhan oleh suami, pacar, mantan suami, atau pasangan kohabitasi. “Femisida intim adalah bentuk kekerasan paling umum dalam rumah tangga. Selain itu, juga terjadi femisida atas nama kehormatan, di mana perempuan dibunuh untuk menjaga kehormatan keluarga atau komunitas,” jelas Siti Aminah Tardi.

Komnas Perempuan menekankan pentingnya mengoptimalkan UU PKDRT untuk pencegahan dan perlindungan korban. Salah satu mekanisme penting yang disoroti adalah perintah perlindungan, baik perlindungan sementara yang dikeluarkan kepolisian, maupun perintah perlindungan dari pengadilan. Namun, mekanisme ini belum diarusutamakan dalam penanganan KDRT.

“Perintah perlindungan harus menjadi bagian utama dalam penanganan KDRT, agar kekerasan tidak berulang dan tidak berujung pada femisida,” ujar Komisioner Retty Ratnawati. Ia menambahkan bahwa terdapat lima indikasi KDRT berpotensi femisida, seperti peningkatan intensitas kekerasan fisik, ancaman pembunuhan, hingga ketidakberadaan lingkungan pendukung bagi korban.

Dalam peringatan 20 tahun UU PKDRT ini, Komnas Perempuan juga mengajak partisipasi aktif masyarakat, khususnya komunitas terdekat seperti RT/RW. “KDRT bukan lagi masalah privat. Siapa pun yang mengetahui adanya KDRT wajib memberikan bantuan dan memastikan korban terhubung dengan lembaga layanan atau keluarga besarnya,” tegas Rainy.

Komnas Perempuan merekomendasikan agar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta lembaga layanan korban mengembangkan sistem penilaian potensi femisida (danger assessment) dan memperkuat dukungan lingkungan terdekat. Selain itu, Kepolisian Republik Indonesia dan Mahkamah Agung diharapkan dapat membentuk kebijakan yang mempercepat pelaksanaan perlindungan sementara dan perintah perlindungan.

“Penting bagi kita semua untuk mengenali potensi femisida dan segera memberikan perlindungan bagi korban agar kekerasan tidak semakin memburuk,” pungkas Rainy.