Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

sinofobia hubungan diplomatik china dan indonesia katolikana tv
Diskusi “Kemitraan Indonesia-Tiongkok, Adakah Sinofobia?” yang diadakan Katolikana TV (25/10)

Relasi Indonesia dan China di Tengah Sinofobia, Harus Bagaimana?



Berita Baru, Nasional – Hubungan diplomatik Indonesia dan China yang telah berlangsung selama 70 tahun tidak lepas dari dinamika. Sekilas, relasi keduanya tidak menyimpan tantangan kecuali persoalan psikologis yang sudah lama terjadi.

Demikian disampaikan oleh Peneliti Unit Studi China dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, Veronikha Sintha Saraswati dalam siaran talkshow bertajuk “Kemitraan Indonesia-Tiongkok, Adakah Sinofobia?” yang diadakan Katolikana TV, Senin (25/10).

Sementara itu, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya Jakarta Astrid Gisela Herabadi menjelaskan, beban psikologis yang dimaksud berkaitan dengan prasangka atau rasa tidak nyaman terhadap pendatang asing, atau disebut dengan sinofobia.

Kita tuh kadang bingung menghadapi perbedaan, apalagi kalau secara kasat mata sudah terlihat. Orang Tiongkok memiliki khas kulit bening, mata sipit, rambut lurus, yang kasat mata ini membuat pendatang menonjol. Ini membuat orang cemas, dalam arti tidak tahu bagaimana harus memprediksi orang ini akan bertingkah seperti apa,” ujarnya.

Selain sinofobia, Astrid juga mengingatkan bahwa pertemuan dua kelompok yang saling berinteraksi akan mungkin berakibat pada lahirnya benturan dan berpengaruh pada memory collective atau kenangan yang dimiliki tiap kelompok. Namun kadang, orang hanya mengingat pengalaman buruk saja, dan menurunkan kenangan itu kepada generasi selanjutnya.

“Sehingga pendatang Tiongok di Indonesia yang sebetulanya sudah bukan orang Tiongkok lagi pun juga masih menjaga jarak. Dan orang-orang Indonesia pribumi melihat ini sebagai kelompok yang sulit didekati. Jarak sosial inilah yang jadi sulit dijembatani,” imbuh Astrid.

Relasi Indonesia dan China

Jika tidak diatasi dengan baik, tentunya sinofobia akan menjadi hambatan bagi kerja sama yang berharga antara China dan Indonesia. Sejauh ini, kedua negara telah bekerja sama memajukan beragam sektor, terutama pendidikan.

Pemimpin Redaksi Beritabaru.co sekaligus Mahasiswa Anhui University of Technology Tiongkok Ahmad Dafit mengatakan, China telah membuka peluang beasiswa seluas-luasnya bagi siapapun yang ingin belajar di sana.

sinofobia hubungan indonesia dan china
Diskusi “Kemitraan Indonesia-Tiongkok, Adakah Sinofobia?” yang diadakan Katolikana TV (25/10)

Dafit juga melihat China sebagai negara mandiri yang mampu membangun bangsanya, apalagi dengan kekuatan teknologi yang dikembangkan.

“Beberapa analisis, seperti yang disampaikan Guru Besar Ekonomi Universitas Brawijaya, Prof. Erani menyebut Tiongkok akan menjadi negara dengan PDB terbesar di tahun 2030. Sekarang posisinya di urutan kedua setelah Amerika,” ujarnya, menjelaskan betapa China telah menjadi negara dengan rising power yang tidak bisa diremehkan.

Dafit memperhatikan, bagaimana China tumbuh menjadi negara maju seperti saat ini. “Walau China pernah mengalami gejolak revolusi, tapi mereka mampu mengatasi itu,” katanya.

Dafit menjelaskan kalau sebelum Revolusi Kebudayaan 1966 Tiongkok menjadi negara komunis tertutup, dengan pengembangan sektor pertanian dan industri baja. Setelah revolusi, di bawah kepemimpinan Deng Xioping, negara Tirai Bambu itu kemudian menerapkan sistem ekonomi yang lebih terbuka dengan segala persiapannya.

“Di masa ini, selain membuka diri Tiongkok juga mengembalikan ajaran dan nilai-nilai lama seperti Confucianism,”ujarnya.

Nilai-nilai ajaran Confucianism yang menjadi jiwa bagi kehidupan di Tiongkok tersebut, menurut Dafit, turut serta menyukseskan pembangunan Tingkok hari ini.

“Misalnya penerapan miritokrasi khas ajaran Confuciasme oleh pemerintahan Jiang Zhemin terbukti sukses. Negara dikelola oleh para ahli tanpa memandang status sosial,” catat Dafit.

Artinya, ada banyak yang bisa dipetik dari Tiongkok dan menjadi penting untuk menguatkan relasinya dengan Indonesia. Namun bagaimana menghadapi sinofobia?

Mengikis Sinofobia

Sinofobia dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tak bertanggung jawab dan menjadi isu politis. Padahal menengok sejarah, hubungan Indonesia dan China telah tumbuh sejak abad ke-5 meski keduanya masih dalam sistem pemerintahan feodal kerajaan.

“Dimulai pada masa Dinasti Tang, sudah ada hubungan diplomasi yang sifatnya people to people exchange, namun justru membuat kerekatan Indonesia dan Tiongkok sangat baik,” ujar Veronikha. Pada zaman Dinasti Tang, aktor pembentuk hubungan kedua negara adalah sosok agamawan, yaitu kelompok biksu yang ingin melakukan perjalanan ke India, namun harus melewati Indonesia.

Kemudian pada masa Dinasti Yuan, salah seorang yang melakukan perjalanan tersebut sempat menulis mengenai keadaan sosiologis-antropoligis di Pulau Jawa dan Sumatera. Ketika keduanya telah mengadaptasi bentuk negara republik, mereka pun mulai menjalin hubungan yang lebih resmi.

Relasi bernilai historis ini sesungguhnya telah terjalin dengan harmonis, bahkan Indonesia sampai saat ini menjadi mitra ekonomi terbesar untuk China, dan sebaliknya. Jika sinofobia menjadi kendala, maka justru dibutuhkan pertamuan dan kerja sama yang lebih erat antara dua negara demi mengikis prasangka.

Terlebih di era digital, informasi hoax beredar dengan lebih masif, mampu menghilangkan konteks dan merusak makna. Yang penting untuk dilakukan adalah para kaum muda membangun memory collective baru yang lebih baik sehingga dapat menutupi luka lama, sebagaimana disarankan oleh Astrid.

Bentuk kerja sama antar negara misalnya pengadaan transfer teknologi seperti disebutkan oleh Dafit juga perlu menjadi perhatian pemerintah. Veronikha menambahkan, kemitraan dari semua sektor harus ditingkatkan. Jalur Sutra perlu dikuatkan khusus untuk mengatasi masalah kesehatan.

“Masa depan umat manusia itu ditentukan oleh kita yang sekarang, apakah kita mau merawat persahabatan ini dengan baik atau tidak? Kalau yang dikedepankan hanya sinofobia atau bentuk rasialis apapun, itu tidak akan memberi manfaat yang baik untuk masa depan,” tandasnya.