Mikael Ane, warga adat Ngkiong dari Kabupaten Manggarai Timur, didampingi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), serta Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menggugat UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE 32/2024). Mereka menilai UU ini disusun tanpa memperhatikan partisipasi penuh komunitas adat yang paling terdampak.
Dalam pengujian formil yang diajukan, mereka menyebut proses penyusunan UU 32/2024 tidak sesuai dengan ketentuan UUD 1945 dan UU 13/2022. Mikael menyampaikan, “Kami yang mewarisi dan merawat tanah ini, namun suara kami jarang didengar pemerintah.” seperti dikutip dari Floresa.co.
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menilai UU KSDAHE dibuat tanpa melibatkan warga adat. “Warga adatlah yang paling terdampak oleh UU ini,” ujarnya. Rukka menambahkan, revisi UU tersebut berpotensi mengkriminalisasi komunitas adat dan merampas tanah komunal mereka.
Selain itu, UU 32/2024 juga tidak mengatur persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC), yang merupakan hak dasar warga adat. Hal ini, menurut para pemohon, membuat negara berpotensi melanggar kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak komunitas adat sesuai UUD 1945.
Kisah Mikael Ane
Mikael Ane, seorang petani kopi, ditangkap pada Maret 2023 dan dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun enam bulan. Ia didakwa karena membangun rumah di atas tanah yang diklaim sebagai bagian dari kawasan Taman Wisata Alam Ruteng. Setelah menjalani 14 bulan di penjara, Mahkamah Agung memutuskan membebaskannya dari segala tuntutan hukum pada Mei 2024. Hakim juga memerintahkan pemulihan harkat dan martabatnya.
Namun, perjuangan Mikael belum usai. Pada Agustus, ia mengajukan praperadilan untuk meminta ganti rugi kepada negara. Sayangnya, permohonannya ditolak oleh hakim yang menyatakan bahwa praperadilan hanya menangani hal-hal yang bersifat prosedural.
Mikael kini kembali mengurus kebun kopinya, sumber penghidupan keluarganya, tanpa dukungan finansial. “Semua saya kerjakan sendiri,” ungkapnya. “Entah akan sekuat apa bekerja sendirian di kebun yang sudah berbulan-bulan saya tinggalkan karena dibui negara.”
Mikael berharap keadilan sosial yang dijunjung tinggi dalam Pancasila dapat segera dirasakan oleh komunitas adat di Indonesia, tanpa harus terjebak dalam sengketa hukum yang berkepanjangan.