September Hitam: Kekerasan Negara dan Pelanggaran HAM yang Tak Kunjung Terungkap
Berita Baru, Jakarta – September menjadi bulan kelam di Indonesia karena berbagai peristiwa kekerasan yang melibatkan negara terhadap warganya. Bulan ini diperingati sebagai “September Hitam” karena mencatat sejumlah peristiwa kekerasan yang menodai sejarah bangsa, mulai dari Peristiwa 1965 yang menewaskan jutaan jiwa, Peristiwa Tanjung Priok 1984, hingga Peristiwa Semanggi II pada 1999. Pelanggaran HAM berat ini memperpanjang siklus kekerasan yang tak pernah tuntas secara adil.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti ketidakseriusan negara sebagai pemangku kewajiban dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM warganya. Menurut KontraS, negara seharusnya mendobrak tembok impunitas dengan menghukum para pelaku kekerasan, mengungkap kebenaran, memulihkan hak korban, dan menjamin agar kekerasan serupa tidak terulang di masa depan.
“Keempat tanggung jawab tersebut tidak pernah dilakukan oleh pemerintah dengan sungguh-sungguh,” tegas KontraS dalam siaran persnya, Minggu (1/9/2024).
Sebagai contoh, dari banyaknya kasus yang terjadi sepanjang September, hanya Peristiwa Tanjung Priok 1984 yang pernah diadili di Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan menjatuhkan vonis bersalah kepada 12 terdakwa dan memerintahkan negara untuk memberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban serta keluarga korban. Namun, keputusan ini dibatalkan pada tingkat kasasi, yang mengakibatkan para terdakwa dibebaskan dan hak-hak korban tidak terpenuhi.
“Negara membiarkan nasib korban Tanjung Priok tergantung tanpa keadilan, pengungkapan kebenaran, atau pemulihan baik materiil maupun immateriil,” tambah KontraS.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga telah melakukan penyelidikan pro justitia terhadap peristiwa pelanggaran HAM lainnya yang terjadi di bulan September, seperti Peristiwa Semanggi II 1999 dan Peristiwa 1965-1966. Meski hasil penyelidikan telah diserahkan, Jaksa Agung sejak tahun 2002 menolak untuk melanjutkan ke tahap penyidikan dan penuntutan di Pengadilan HAM dengan alasan ketidaklengkapan syarat formil dan materil, serta alasan politis lainnya.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo yang semakin nyaman dengan kekuasaannya cenderung mengutamakan pembangunan demi kepentingan elit, mengesampingkan janji penuntasan kasus pelanggaran berat HAM yang dijanjikan saat kampanye. Presiden pun mengambil langkah dengan membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat (Tim PPHAM), namun kebijakan ini dinilai KontraS hanya sebagai ajang cuci dosa negara yang tidak melibatkan korban dan tidak menyentuh substansi permasalahan.
“Pidato pengakuan Presiden Joko Widodo juga tidak menyebutkan peristiwa Tanjung Priok 1984 sebagai salah satu peristiwa pelanggaran berat HAM,” kritik KontraS.
Oleh karena itu, sirine #PeringatanDarurat harus terus digaungkan sebagai alarm bahaya atas masih beredarnya para penjahat HAM di tengah masyarakat. KontraS mendesak Presiden untuk mengambil tindakan serius, termasuk menginstruksikan Kemenkopolhukam untuk berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur yudisial. Langkah ini diharapkan dapat mencegah terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM di masa mendatang.