Gandeng Pakar HAM, UPT PKM UB dan Oase Institute Gelar Diskusi Hak Minoritas dan Kewargaan Multikultural
Berita Baru, Malang – Perbincangan mengenai kesetaraan dalam masyarakat, di mana tidak ada lagi kelompok mayoritas dan minoritas serta permasalahan yang menyertainya memang seolah tak pernah usai. Hingga saat ini, konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya dan agama serta perundungan terhadap kelompok minoritas masih saja terjadi. Hal ini pula yang dibahas dalam acara Kedai Bineka pada Kamis, 27 Agustus 2024 lalu. Diskusi ini merupakan seri ke-5 dari rangkaian Seri Wacana yang terselenggara atas kerjasama UPT PKM UB, Center for Character an Diversity Studies, Oase Institute, dan Lakspesdam PCNU Kota Malang.
Acara bertajuk “Keadilan, Hak-Hak Minoritas, dan Kewarganegaraan Multikultural” ini menghadirkan narasumber Al Khanif, Ph.D, Dosen UNEJ dan Direktur CHRM2. Al Khanif membuka acara dengan pemaparan singkat mengenai analisis terhadap kasus penyerangan kaum muslim yang menjadi kelompok minoritas di Tolikara. Menurut Al Khanif kejadian di Tolikara mengejutkan banyak pihak, karena muslim adalah mayoritas di Indonesia tapi di Papua minoritas. Hal itu menunjukkan bahwa kelompok mayoritas di Indonesia masih tidak memahami HAM, terutama tentang menghargai dan menghormati perbedaan.
Serangan pada minoritas tentu tidak hanya terjadi di Tolikara, tapi juga di daerah lain pada kelompok yang dianggap minoritas. Dalih yang dipakai oleh masyarakat mayoritas adalah bahwa minoritas dapat mengganggu norma budaya dan struktur masyarakat setempat yang sudah ajeg, mengganggu karakter komunitas dan praktik beragama mereka. Mayoritas menuding kelompok minoritas sebagai transgresif.
“Dalam banyak kasus, kelompok mayoritas akan memaksa kelompok minoritas untuk mengikuti seperangkat aturan yang ditetapkan oleh kelompok mayoritas, yang kadang bisa melukai/melanggar hak-hak minoritas”, papar Al Khanif..
Lebih jauh Al Khanif menjelaskan bahwa ketika kelompok minoritas berhadapan dengan mayoritas, yang menjadi ukuran adalah norma mayoritas. Norma mayoritas dianggap sebagai sistem harmoni sosial. Asal perilaku kelompok minoritas tersebut tidak bertentangan dengan harmoni sosial maka dianggap tidak bersebrangan. Jika sebaliknya maka kelompok minoritas akan dianggap berlawanan atau mengganggu harmoni sosial. Padahal konsep keadilan di dalam hukum bahwa semua makhluk hidup dihargai secara sama, sifatnya setara.
“Ketika ada kelompok minoritas yang diusir, namun negara diam saja maka itu dianggap sah. Jadi, dalam kasus-kasus tersebut sebenarnya tidak ada kekosongan hukum. Begitu negara membiarkan, itu hukum yang kemudian berlaku”, ujar Al Khanif.
Antusiasme peserta diskusi terlihat dalam sesi tanya jawab yang dimoderatori oleh dosen UPT PKM Universitas Brawijaya, Destriana Saraswati, M.Phil. Beberapa pertanyaan menarik diajukan seputar konsep parameter keadilan, posisi HAM ketika dihadapkan pada beberaoa kasus pelanggaran HAM pada kelompok minoritas, hingga konsep Desa Pancasila sebagai contoh strategi pencegahan perilaku intoleransi.
Tak hanya diskusi, sekitar 50 peserta yang hadir memenuhi OASE Café & Literacy tersebut juga disuguhi musikalisasi oleh Ainurrahman dan pembacaan puisi oleh Abdul Muhaimin. Hadir pula dua peneliti dari Amerika yang ikut berdiskusi Sarah Davisson dan Skaidra. Setelah diskusi panjang, kemudian ditutup dengan pembacaan kesimpulan mengenai upaya apa yang bisa dilakukan guna mengarus-utamakan nilai-nilai HAM dalam kehidupan sosia.