Ahli Pidana Sebut Dakwaan Terhadap Dua Warga Torobulu Tidak Memenuhi Unsur Pasal 162 KUHP
Berita Baru, Kendari – Sidang lanjutan kasus dua warga Torobulu yang dituduh menghalang-halangi aktivitas PT. Wijaya Inti Nusantara (WIN) kembali digelar di Pengadilan Negeri Andoolo. Pada sidang kali ini, kuasa hukum terdakwa menghadirkan Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A., seorang ahli pidana, untuk memberikan kesaksiannya.
Dr. Ahmad Sofian dalam keterangannya, seperti dalam siaran pers yang diterbitkan oleh LBH Makassar pada Jum’at (23/8/2024), menyatakan bahwa dakwaan terhadap kedua terdakwa berdasarkan Pasal 162 KUHP tidak memenuhi unsur subjektif. “Tindakan kedua terdakwa tidak memiliki unsur kelalaian maupun kesengajaan, atau dalam istilah hukum dikenal sebagai dolus dan culpa,” ujar Sofian. Ia menambahkan bahwa tindakan kedua terdakwa yang menghentikan aktivitas pertambangan pada 6 November 2023 itu didorong oleh kekhawatiran terhadap dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh aktivitas PT. WIN di pemukiman mereka.
Lebih lanjut, Dr. Ahmad Sofian menjelaskan bahwa Pasal 162 yang didakwakan kepada kedua terdakwa tidak relevan jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Pasal 66 undang-undang tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak dapat dipidana maupun dituntut secara perdata. “Berdasarkan landasan yuridis ini, dakwaan terhadap kedua terdakwa seharusnya gugur,” jelas Sofian.
Tim penasihat hukum kedua terdakwa juga menekankan bahwa tindakan klien mereka dilakukan untuk melindungi lingkungan hidup dari ancaman pencemaran atau kerusakan akibat aktivitas PT. WIN. “Fakta persidangan menunjukkan bahwa kedua terdakwa tidak melakukan kekerasan, tidak merusak excavator, dan tidak mencederai operatornya,” kata penasihat hukum. Mereka menambahkan bahwa dalam situasi ini, Majelis Hakim harus menjadi benteng keadilan bagi pejuang lingkungan hidup dan HAM, bukan menjadi alat legitimasi bagi perusahaan.
Di luar ruang sidang, massa aksi menggelar unjuk rasa sebagai bentuk solidaritas terhadap kedua terdakwa dan warga Torobulu lainnya. Mereka membawa miniatur keranda mayat bertuliskan “Matinya Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi”. “Keranda ini melambangkan pengkhianatan terhadap HAM dan demokrasi, karena tindakan Hasilin dan Andi Firmansyah serta warga lainnya yang mempertanyakan dokumen AMDAL dijamin oleh konstitusi sebagai bagian dari keterbukaan informasi publik,” tegas Ayunia, salah seorang orator aksi.
Kasus ini bermula ketika warga Torobulu mempertanyakan dokumen AMDAL yang seharusnya dimiliki oleh PT. WIN. Namun, tindakan mereka justru berujung pada laporan pidana terhadap Hasilin dan Andi Firmansyah, serta 30 warga lainnya yang diduga melakukan penghalangan aktivitas pertambangan. “Kami berharap Majelis Hakim menegakkan kembali demokrasi dan hak asasi manusia dengan membebaskan dua warga yang memperjuangkan lingkungan Torobulu,” pungkas Ayunia.