Hanya 4 Perusahaan Smelter Nikel yang Jalankan Hilirisasi di Indonesia
Berita Baru, Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengumumkan bahwa dari total 34 perusahaan smelter nikel di Indonesia, hanya 4 perusahaan yang telah menjalankan proses hilirisasi. Hilirisasi nikel ini khususnya berkaitan dengan produksi bahan baku untuk baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin, Taufik Bawazier, menjelaskan bahwa keempat perusahaan tersebut adalah PT Huayue Nickel Cobalt, PT QMB New Energy Material, PT Halmahera Persada Lygend, dan PT Kolaka Nickel Indonesia.
Keempat perusahaan ini menggunakan metode hidrometalurgi dengan pendekatan High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang menghasilkan mixed hydroxide precipitate (MHP).
Taufik menyatakan bahwa jumlah perusahaan yang telah menjalankan proses hilirisasi masih terbilang sedikit. Oleh karena itu, ia meminta semua pihak, termasuk DPR, untuk mendukung upaya peningkatan investasi di sektor ini.
“Perlu pengembangan ke depan. Perlu membalikkan situasi agar lebih banyak perusahaan yang menjalankan proses hilirisasi dan diperlukan dukungan dari Komisi VII karena ini membutuhkan investasi,” ungkapnya saat rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI pada Kamis (8/6/2023).
Taufik juga menjelaskan bahwa kapasitas produksi industri nikel berbasis hidrometalurgi untuk bahan baku baterai baru mencapai 915 ribu ton per tahun. Namun, hal ini baru bisa dimanfaatkan sepenuhnya setelah pabrik baterai di dalam negeri mencapai kekuatan yang cukup, sehingga Indonesia dapat menjadi pemasok bahan baku untuk pabrik di Tanah Air.
Berdasarkan data Kemenperin, kebutuhan nikel untuk baterai kendaraan listrik diperkirakan mencapai 25.133 ton pada tahun 2025, 37.699 ton pada tahun 2030, dan 59.506 ton pada tahun 2035.
Perhitungan tersebut didasarkan pada estimasi daya baterai yang dibutuhkan oleh kendaraan listrik, yaitu sekitar 1,44 KWh untuk kendaraan roda dua dan 60 KWh untuk kendaraan roda empat. Setiap KWh membutuhkan sekitar 0,7 kg nikel, 0,096 kg mangan, dan 0,096 kg kobalt.
Taufik menyebutkan bahwa sebanyak 93 persen dari semua bahan baku tersebut dapat ditemukan di Indonesia, sementara 7 persen sisanya, yang berupa litium, perlu diimpor.
“Jadi di sini kita perlu membalikkan situasi, harus memperkuat kemampuan dalam negeri karena kita memiliki semua bahan baku tersebut,” ujar Taufik.
Ia juga menambahkan bahwa ekspor nikel Indonesia masih didominasi oleh feronikel, dengan jumlah mencapai 5,7 juta ton senilai 13 miliar dolar AS pada tahun 2022. Sementara itu, ekspor produk hilir seperti stainless steel HRC dan CRC hanya mencapai 4 miliar dolar AS.
“Artinya, ekspor nikel kita masih didominasi oleh produk yang belum mencapai tingkat hilir yang lebih tinggi,” tambahnya.