KPU Revisi Aturan Terkait Keterwakilan Perempuan dalam Pencalegan Pemilu 2024
Berita Baru, Jakarta – Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 tahun 2023 yang mengatur tentang keterwakilan perempuan dalam pencalegan pemilu 2024. Keputusan ini diambil setelah adanya diskusi antara KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Ketua KPU, Hasyim Asy’ari, mengatakan bahwa mereka merespons masukan dari berbagai kalangan yang sepakat untuk melakukan sejumlah perubahan dalam PKPU Nomor 10/2023 terutama terkait dengan cara penghitungan 30 persen jumlah bakal calon DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota perempuan di setiap daerah pemilihan. Pernyataan ini disampaikan oleh Hasyim di Kantor KPU RI, Jakarta, pada hari Rabu (10/5/2023).
Perubahan dalam aturan KPU tersebut merujuk pada cara penghitungan 30 persen anggota legislatif yang sebelumnya dilakukan pembulatan ke bawah jika dua tempat desimal di belakang koma bernilai di bawah 50.
“Hal ini berarti bahwa dalam teks saat ini, pasal 8 ayat 2 PKPU 10/2023 menyatakan bahwa dalam penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan, jika menghasilkan angka pecahan, maka jika dua tempat desimal di belakang koma bernilai a, kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah, atau b, 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas,” jelas Hasyim.
Hasil revisi yang telah disepakati oleh pihak-pihak penyelenggara pemilu tersebut adalah melakukan pembulatan ke atas bagi hitungan yang menghasilkan angka pecahan.
“Perubahan yang akan dilakukan adalah dalam penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan, jika menghasilkan angka pecahan, akan dilakukan pembulatan ke atas,” tutur Hasyim.
Sebelumnya, sejumlah aktivis perempuan telah mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk merevisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang mengatur keterwakilan perempuan dalam pencalegan Pemilu 2024.
Mereka mengkritik pasal 8 ayat (2) dalam aturan tersebut yang mengatur penghitungan minimal keterwakilan perempuan. Pasal tersebut dinilai tidak sesuai dengan kewajiban keterwakilan perempuan sebesar 30 persen dari total calon anggota legislatif setiap partai.
Pengesahan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 dianggap sebagai ancaman terhadap penurunan keterwakilan perempuan di parlemen untuk pemilu 2024.
Dalam klausul pasal 8 terkait dengan persyaratan pengajuan bakal calon, disebutkan bahwa daftar bakal calon wajib memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap daerah pemilihan, dan setiap tiga orang bakal calon harus terdapat paling sedikit satu orang bakal calon perempuan.
Namun, masalah muncul pada poin selanjutnya yaitu penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan yang menghasilkan angka pecahan. Dalam aturan sebelumnya, jika dua tempat desimal di belakang koma bernilai di bawah 50, dilakukan pembulatan ke bawah. Sedangkan jika dua tempat desimal di belakang koma bernilai 50 atau lebih, dilakukan pembulatan ke atas.
Aturan ini dinilai bertentangan dengan Pasal 248 UU 7 Tahun 2017 mengenai Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota terkait pemenuhan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Dalam praktiknya, pembulatan ke bawah berarti tidak akan mencapai 30 persen. Sebagai contoh, jika jumlah bacaleg di suatu daerah pemilihan adalah tujuh orang, maka hanya perlu menghadirkan dua orang bacaleg perempuan. Artinya, representasi perempuan di daerah pemilihan tersebut kurang dari 30 persen.
Hal ini sangat berbeda dengan aturan yang berlaku pada Pemilu 2019, yang dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa dalam penghitungan 30 persen di setiap daerah pemilihan yang menghasilkan pecahan, dilakukan pembulatan ke atas.
Aturan pembulatan yang ditetapkan oleh KPU melalui PKPU 10 Tahun 2023 berpotensi merugikan bacaleg perempuan, dan dapat dipastikan bahwa bacaleg perempuan yang didaftarkan akan mengalami penurunan baik dalam jumlah maupun tingkat keterpilihannya.