Polemik Tambang di Pulau Sangihe: Polisi Mulai Represif dan PT TMS Terus Membangkang
Berita Baru, Jakarta – Pada Kamis, 2 Juni 2022, gugatan izin lingkungan PT Tambang Mas Sangihe (TMS) oleh 56 (lima puluh enam) orang Perempuan asal Desa Bowone, Kecamatan Selatan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe menang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado.
Putusan PTUN itu membatalkan Izin Lingkungan PT TMS dengan Nomor: 503/DPMPTSPD/182/IX/2020 tertanggal 25 September 2020.
Selain itu, PTUN Manado juga mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan segala aktivitas PT TMS hingga putusan itu berkekuatan hukum tetap atau ada penetapan lain yang mencabutnya di kemudian hari.
Koordinator Save Sangihe Island (SSI), Jan Rafles Takasihaeng menegaskan dengan Putusan PTUN Manado yang membatalkan Izin Lingkungan PT. TMS, mestinya seluruh aktivitas PT. TMS harus dihentikan karena perusahaan tidak lagi memiliki dasar hukum untuk beroperasi.
“Mengingat, Izin Lingkungan adalah dasar berusaha bagi sebuah perusahaan, termasuk dalam hal ini adalah PT TMS,” kata Jan Rafles, dalam keterangan tertulisnya yang diterima Berita Baru, Rabu (15/6).
Tetapi, lanjutnya, fakta lapangan justru berbeda, PT. TMS membangkang dengan tetap memobilisasi alat berat ke basecamp perusahaan di Kampung Bowone pada Selasa 13 Juni 2022.
“Mobilisasi alat berat itu pun dikawal oleh aparat kepolisian setempat,” tegasnya.
Ia menilai langkah aparat kepolisian itu, selain menyalahgunakan kewenangan, juga tampak menunjukkan sikap institusi kepolisian yang telah bersekongkol dengan perusahaan tambang di satu sisi, dan abai terhadap putusan hukum dan suara penolakan warga di sisi yang lain.
“Polisi, yang mestinya bertindak atas nama putusan pengadilan, yakni memastikan PT TMS tidak boleh beroperasi, justru tampak menjadi centeng korporasi tambang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Div. hukum Jaringan Tambang (JATAM) Nasional Muh Jamil menyebut, parahnya lagi, aksi blokade jalan yang dilakukan warga hari ini, Rabu (15/06) justru mulai mendapat tindakan represif dari aparat.
“Polisi berdalih warga telah ‘mengganggu jalan umum’, padahal, jalan yang digunakan warga dalam aksi pengadangan itu, bukan jalan khusus untuk industri. Jalan tersebut dibangun menggunakan anggaran negara yang sesungguhnya dilarang dipergunakan bagi kendaraan industri termasuk pertambangan PT TMS,” katanya.
Tim Hukum SSI itu juga menyampaikan aparat kepolisian juga mulai menakut-nakuti warga dengan ancaman pidana bagi warga yang menutup jalan menggunakan batang kelapa pada 13 Juni 2022 kemarin.
Ia mencontohkan pernyataan Kabag Ops Polres Kepl. Sangihe KOMPOL.J.SASEBOHE,S.Sos yang terekam dalam video yang beredar pada Rabu, 15 Juni 2022, itu adalah upaya menekan resistensi warga.
Ia pun menegaskan polisi mestinya harus menghentikan dan memproses hukum tindakan mobilisasi alat berat PT TMS, karena telah melakukan tindak pidana menggunakan jalan umum untuk industri tambang, sebagaimana yang diamanatkan UU Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan Jo. Nomor 2 tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan pada Pasal 63 ayat (4) dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
“Aparat kepolisian juga sudah sepatutnya mengapresiasi warga yang “menegakkan hukum’ saat aparatus kepolisian justru mengawal tindakan melanggar hukum dan pembangkangan putusan pengadilan TUN Manado oleh PT. TMS,” tuturnya.
“Untuk itu, JATAM mengecam keras tindakan represif dan ancaman yang dilakukan aparat Kepolisian kepada warga Sangihe. JATAM mendesak aparat Kepolisian untuk segera memproses hukum tindakan pembangkangan PT TMS,” pungkas Jamil.