Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Koalisi Selamatkan Pulau Sangihe Laporkan Dugaan Pelanggaran Kode Etik Profesi Anggota Polres Kepulauan Sangihe dan Polsek Tabukan Selatan ke Divpropam Polri

Koalisi Selamatkan Pulau Sangihe Laporkan Dugaan Pelanggaran Kode Etik Profesi Anggota Polres Kepulauan Sangihe dan Polsek Tabukan Selatan ke Divpropam Polri



Berita Baru, Jakarta – Koalisi Selamatkan Pulau Sangihe yang terdiri  Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional dan Save Sangihe Island (SSI) telah melaporkan Anggota Polres Kepulauan Sangihe dan Anggota Polsek Tabukan Selatan atas dugaan pelanggaran Kode Etik profesi Polri kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Markas Besar Polri. 

Dalam siaran persnya yang diterima Beritabaru.co disebutkan, yang menjadi dasar pelaporan tersebut adalah tindakan anggota kepolisian pada dua kesatuan polisi wilayah tersebut  saat melakukan pengawalan pada 13 – 16 Juni 2022 terhadap dua buah alat berat bor milik PT. TMS yang izin lingkungannya telah dicabut dan tidak boleh melakukan aktivitas apapun sebagaimana yang termaktub dalam putusan PTUN Manado nomor 57/G/LH/2021/PTUN.Mdo. 

“Bahwa terkait laporan yang kami ajukan, anggota bagian pelayanan pengaduan presisi pada Divpropam Mabes Polri menerima laporan kami dan menerbitkan Surat Penerimaan Surat Pengaduan Propam nomor SPSP2/3989/VII/2022/Bagyanduan tertanggal 12 Juli 2022. Dengan diterimanya laporan kami, maka aparat kepolisian dapat segera melakukan serangkaian tindakan penyelidikan dan penyidikan atas peristiwa tersebut,” kata Jan Takasiaheng, selaku perwakilan Save Sangihe Island, Selasa (12/7).

Diketahui, sebelumnya Pulau Sangihe yang masuk pada wilayah administratif Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara memiliki luas 763,89 km2 dan termasuk dalam kategori sebagai pulau-pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 3 UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 

“Hadirnya PT. TMS di Pulau Sangihe sangat mengancam ruang hidup dan ekosistem kehidupan masyarakat yang kemudian mendorong 56 (lima puluh enam) orang Perempuan asal Desa Bowone, Kecamatan Selatan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe menggugat izin lingkungan ke PTUN Manado pada 2021,” ungkapnya.

“Kemudian pada 2 Juni 2022 melalui putusan nomor 57/G/LH/2021/PTUN.Mdo PTUN Manado menyatakan dalam pokok sengketa bahwa izin lingkungan kegiatan penambangan emas PT. TMS di Kabupaten Kepulauan Sangihe yang dikeluarkan Kepala Dinas PTSP Provinsi Sulawesi Utara dibatalkan dan harus dicabut sehingga PT. TMS tidak lagi memiliki dasar hukum apapun untuk melakukan aktivitas pertambangan di Pulau Sangihe,” sambung Jan Takasiaheng.

Kendati izin lingkungan kegiatan pertambangan sudah dibatalkan, jelas Jan Takasiaheng, PT. TMS justru sama sekali tidak menunjukan itikad baik untuk menghormati putusan PTUN Manado. 

“Pada Rabu, 13 Juni 2022 PT. TMS berupaya mengerahkan alat berat operasi untuk masuk ke wilayah konsesi pertambangan melalui Pelabuhan Panaru. Upaya memasukan alat berat tersebut mendapatkan pengawalan dari aparat gabungan dari Anggota Polres Kepulauan Sangihe dan Anggota Polsek Tabukan Selatan. Bahwa berdasarkan informasi, keterlibatan aparat keamanan tersebut ter identifikasikasi berdasarkan dari Pakaian Dinas Lapangan (PDL) yang digunakan oleh anggota tersebut,” katanya.

“Hingga akhirnya tiga unit alat berat tersebut dibawa keluar dari Pulau Sangihe pada 16 Juni 2022. Hal tersebut tentu saja membuat masyarakat sangihe berjibaku untuk menghadang masuknya alat berat bor milik PT. TMS dengan melakukan blokade jalan. Bahwa tindakan kepolisian tersebut diperkuat dengan temuan berupa dokumen surat perintah Kapolres Kepl. Sangihe nomor Sprin/507/VI/2022 Res Kepl. Sangihe yang memerintahkan untuk membongkar blokade jalan,” imbuh Jan Takasiaheng.

Muh Jamil, perwakilan dari JATAM menilai upaya pengawalan alat berat oleh aparat Kepolisian Resor Sangihe dan Polres Tabukan Selatan menunjukkan adanya sikap keberpihakan institusi negara kepada korporasi yang tidak menghormati hukum dan justru tidak berpihak masyarakat Pulau Sangihe sebagaimana yang diwajibkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia untuk memelihara ketertiban perlindungan dan pengayoman. 

“Anggota kepolisian Resor Sangihe dan Polres Tabukan Selatan telah melanggar Pasal 40 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan  telah jelas melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Republik Indonesia,” jelasnya.

Sementara menurut Helmy Hidayat Mahendra (perwakilan KontraS), pelanggaran Kode Etik profesi Polri sebagaimana diduga dilakukan oleh Anggota kepolisian Resor Sangihe dan Polres Tabukan Selatan telah menyerobot hak asasi manusia warga sangihe yakni hak atas rasa aman sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 30 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 

“Maka sudah semestinya terduga anggota Polri yang melanggar Kode Etik profesi harus diproses dan dipertanggungjawabkan secara etik demi menjamin ketidak berulangan pelanggaran ham yang terjadi di kemudian hari,” tegas Helmy Hidayat.

Atas dasar tersebut, Koalisi Selamatkan Pulau Sangihe mendesak Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Mabes Polri segera menindaklanjuti pengaduan dengan melakukan investigasi penyelidikan dan penyidikan terhadap para anggota kepolisian dari kesatuan Kepolisian Resor Sangihe dan Kepolisian Sektor Tabukan Selatan terkait pengawalan aktivitas pertambangan PT. TMS yang tidak memiliki izin di Pulau Sangihe;

Kedua, Koalisi Selamatkan Pulau Sangihe juga mendesak Divpropam Mabes Polri segera melaporkan secara aktif dan berkala kepada publik termasuk Tim Koalisi Selamatkan Pulau Sangihe atas setiap perkembangan proses etik yang telah dilakukan.