ACWG Sebut 2 PR Pemberantasan Korupsi Negara Anggota G 20
Berita Baru, Jakarta – Chair Anti-Corruption Working Group (ACWG) Civil-20 (C-20) Indonesia mengatakan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di angka 38 atau urutan ke-96 dari 180 negara dinilai disumbang terutama oleh korupsi politik dan penegak hukum. Para pemimpin pun diminta memberi contoh.
“Contoh Indonesia, dengan skor 38, kita itu beban beratnya ada di dua beban utama. Satu political corruption, dua korupsi di lembaga penegak hukum. Ini yang menjadi pekerjaan rumah,” kata Dadang Trisasongko, dalam diskusi bertajuk ‘Indeks Persepsi Korupsi dan Momentum Presidensi G20 Indonesia’, Jumat (18/2).
ACWG merupakan instrumen yang dibentuk oleh negara-negara anggota G20 pada G20 Toronto Summit, Juni 2010, dengan tujuan mempromosikan nilai-nilai anti-korupsi. Karenanya Dadang berharap para pemimpin G20 secara politik berkomitmen memberantas korupsi.
“Pada akhirnya sangat penting komitmen politik para pemimpin politik G20. Para pemimpin harus memberi contoh, salah satunya dengan memastikan korupsi di lembaga hukum bisa dibersihkan,” ucap Dadang dalam acara yang ditayangkan melalui Channel YouTube Publish What You Pay (PWYP) Indonesia itu.
Lebih lanjut Dadang dua penyebab utama skor indeks persepsi korupsi sulit mengalami kenaikan, yaitu korupsi politik dan korupsi di lembaga-lembaga penegak hukum, menjadi pekerjaan rumah bagi setiap negara anggota G 20.
“Dua isu ini menjadi pekerjaan rumah (PR). Saya kira, ini terjadi juga di beberapa negara anggota G20 yang memiliki skor indeks korupsi di bawah 50,” jelas Dadang.
Dadang menyampaikan negara anggota G20 pemilik skor indeks persepsi korupsi di bawah 50 yang dirilis oleh Transparency International pada tahun 2021 adalah Tiongkok, Afrika Selatan, India, Brazil, Argentina, Indonesia, Turki, Meksiko, dan Rusia.
Ia menjelaskan bahwa korupsi politik merupakan tindakan korupsi antara pihak swasta dan pejabat publik atau pejabat politik.
Terkait dengan korupsi yang terjadi di lembaga penegak hukum, Dadang memandang hal tersebut menjadi salah satu masalah utama yang membuat indeks persepsi korupsi di suatu negara sulit untuk naik karena ikut pula menimbulkan sejumlah masalah lain.
Ia menyebutkan sejumlah masalah, di antaranya impunitas atau tidak dapat dipidananya berbagai bentuk kejahatan dan memicu ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dan peradilan yang mampu terbebas dari korupsi.
Dalam mengatasi persoalan korupsi yang masih terjadi di lembaga penegak hukum, Dadang memandang Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi di Indonesia sebenarnya telah melakukan banyak hal untuk mengembalikan kepercayaan publik itu.
Meskipun begitu, kata dia, nyatanya masih terdapat pula segelintir aparat penegak hukum yang melakukan tindak pidana korupsi.
“Untuk di Indonesia, saya kira Mahkamah Agung telah banyak berjuang mencoba memperbaiki kepercayaan publik. Reformasi internal juga dicoba untuk dibangun. Namun, sayangnya masih ada hakim yang ditangkap karena kasus dugaan korupsi,” ujar Dadang.
Oleh karena itu, Dadang pun menilai penanganan korupsi di lembaga hukum ataupun korupsi politik di suatu negara memang terbilang berat untuk dilakukan.
Dengan demikian, G20 melalui ACWG akan terus memastikan adanya upaya bersama, terutama dari negara-negara anggota dan negara di luar keanggotaan G20 untuk memperbaiki tata kelola pemerintahannya.
“Tata kelola pemerintahan yang baik akan mewujudkan sektor bisnis di suatu negara yang tidak mengandung suap dan memunculkan para pejabat publik yang berintegritas tinggi,” tukasnya.