Napas dan Keajaiban-Keajaiban Paling Menyakitkan | Cerpen: Surya Gemilang
Aku pernah mencuri napas seorang seniman tato, dan pencurian yang kumaksud bermakna harfiah, dan itulah permulaan bagi keajaiban-keajaiban selanjutnya di hari tersebut.
Menjelang akhir Agustus aku membuat tato pertama di pergelangan tangan kananku; seniman tato itu datang dua hari setelah aku menghubunginya via Instagram. Ia gadis awal dua puluhan; aku menghampirinya ketika ia tiba di halaman indekos, terik meruapkan aroma seratus bangkai dari sungai terdekat. Ia menyampirkan jaketnya ke gantungan di balik pintu kamarku, dan berkat kaus putih tak berlengan tampaklah tato tentakel-tentakel hitam membelit lengan kirinya. “Kanvas pertamaku,” katanya. Aku iseng bertanya di mana kepala gurita itu, dan ia menjawab, “Di dada kiriku.”
Kami duduk di lantai, gadis itu menunduk di atas tanganku yang sedikit gemetar di meja lipat, dan tangan kirinya merentangkan kulit pergelanganku sehingga mengencang, lantas ia menusuk-nusuk pergelanganku dengan jarum sepanjang sejengkal, mengikuti gambar stensil korek gas dan bola api di atasnya. Ia mesti habis keramas: aroma sampo mengulum hidungku. Dan selagi ia menato, tentakel-tentakel di lengan kirinya seperti merangkak pelan-pelan ke meja, melompat ke siku kananku, kulitku jadi dingin berlendir, dan dari sana merambat terus melewati lengan bajuku, menyapu dada kananku, dan ujung-ujung tentakel menggelitik dada kiriku.
Apa yang tak kalah menggelitik adalah napasnya: setiap enam atau tujuh detik sekali mulutnya menumpahkan udara hangat ke tangan kananku yang separuh mengepal, dan aku pun membuka lebar-lebar telapak kananku, napasnya semakin membuatku kegelian, seakan ia meraba-rabanya dengan lidahnya.
Ia terus menunduk dan bernapas di telapak tanganku dan menggelitik dada kiriku dengan tentakel-tentakel selama kira-kira satu setengah jam. Kulit pergelangan kananku sudah sedikit perih, dan kakiku yang bersila kesemutan sebagaimana tangan kananku, yang jadi tak bisa lagi merasakan tumpahan napasnya. Mendadak ia berhenti menusuk-nusuk dan tentakel-tentakel tertarik kembali ke lengan kirinya; ia meregangkan tubuh dan mengerang, dadanya mencondong ke arahku dan tulang punggungnya berbunyi krak! Lalu ia mengeluarkan kaca pembesar dari tas, dan ia menunduk lagi di atas tanganku, dengan lensa kaca pembesar di depan mata kanannya. Dan ia menunduk lebih dalam, sangat dalam, dan ujung dagunya mengecup ujung-ujung jemari kananku.
Tiba-tiba, fuhhh! Gadis itu bernapas lega: ia melontarkan napasnya kencang ke telapak kananku yang refleks mengepal, dan kuku-kukuku tak sengaja menggores ujung dagunya sehingga ia mengaduh.
“Selesai,” katanya kemudian, mengusap-usap dagunya.
Ia pun membersihkan tatoku dengan busa, mengusapnya dengan tisu yang bersih, dan membungkus pergelanganku yang memerah-mengembung dengan plastik film. Selama proses itu aku terus mengepal, seakan tak membiarkan napasnya pergi.
Ia pun pergi. Aku mengunci pintu kamarku. Dan aku akhirnya membuka kepalan tangan kananku: terdapat bercak-bercak hitam semacam tinta yang menetes ke lantai: itu pasti napasnya, tercetak sekitar dua sampai tiga sentimeter di atas bola api dari korek gas.
Aku duduk di kasur dan menghirup bercak-bercak hitam tersebut. Aku menghirup sedalam-dalamnya, dan bercak-bercak itu menghilang—napasnya berada dalam tubuhku, entah menyatu dengan napasku atau melayang terpisah. Lalu ke telapakku aku mengembuskan napas sekuat-kuatnya dari mulut, seakan aku hendak melontarkan peluru, dan bercak-bercak itu pun kembali ke sana. Aku menghirupnya dalam-dalam lagi, mengembuskannya kuat-kuat lagi, entah berapa lama aku mengulang hal tersebut, gadis itu berlari seraya menerbangkan layang-layang dalam tubuhku, dan tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Aku menghirup napas gadis itu lagi, menyembunyikannya dalam tubuhku, sebelum aku membuka pintu.
“Sepertinya napasku terjatuh di kamarmu,” ucap sang seniman tato, wajahnya pucat, poninya yang berkeringat hampir menutup matanya. Saat keluar dari kamarku, lanjutnya, ia merasa ada yang mengganjal, dan ketika motornya sampai di lampu merah barulah ia sadar kalau dirinya tak bernapas. Ia menyusuri jejaknya lagi sampai di halaman rumah indekosku, dan napasnya tak kunjung ia temukan—sebab itulah ia yakin napasnya terjatuh di kamarku.
Aku mengaku tak melihat napasnya. Tapi ia setengah memaksa memasuki kamarku, dan aku tak punya alasan untuk menolak, dan ia menggantung jaket jinnya di balik pintu kamarku, lalu ia merangkak sembari mengintip ke kolong meja dan ranjang dan lemari.
Di sepanjang lengan kirinya tak ada tentakel-tentakel yang membelit. Ketika menyadari hal ini mendadak dada kiriku sakit, seolah jantung merobek dadaku dari dalam, dan aku mengaduh sampai jatuh berlutut, gadis itu segera memerhatikanku dengan dahi mengernyit. Tahu-tahu dadaku dingin berlendir. Sensasi dingin berlendir itu menjalar ke bahu kiriku, ke lengan atasku, sebelum dari ujung lengan bajuku mencuat tentakel-tentakel hitam.
“Aku tak bermaksud mencurinya, sungguh,” kataku terbata.
Gadis itu merogoh tasnya cepat dan mengeluarkan jarum tato. Cara ia memegangnya seperti menggenggam pisau. Pendingin ruangan mulai berderak. Dengan tungkai gemetar aku berdiri. Dan dalam satu gerakan cepat ia menghunjamkan mata jarum menuju dada kiriku. Tapi aku mengelak ke samping. Lalu ia menyabetkan mata jarum menuju leherku dan aku melompat mundur. Tatapannya nyalang, dan bola matanya meleleh, dan lelehan bola matanya mengalir ke pipi seperti air mata tinta.
Ia menghunjam lagi dan aku menghindar; ia menyabet lagi dan aku menghindar; ia mengayunkan kaki ke lututku yang langsung bengkok ke arah yang salah, aku terjatuh dan segera gadis itu menekan dadaku dengan satu lututnya. Rusukku akan patah kurang dari semenit. Ia bersiap menghunjam leherku. Aku berkata akan mengembalikan napasnya sekarang juga, aku tahu bagaimana caranya, tapi ia tak melepaskan diri dari ancang-ancang untuk menghunjam—setidaknya tekanan pada lututnya sedikit berkurang.
Ketika kudekatkan telapak kanan ke wajahku, tentakel-tentakel itu terangkat dari kulitku, dan meluncur cepat membelit leher sang gadis. Gadis itu, sebagaimana aku, selama sesaat syok dan tak bergerak; bola matanya habis mencair; tentakel-tentakel meneteskan tinta ke bajuku dan lantai. Kemudian ia berusaha menyabet tentakel-tentakel yang terentang ke lehernya, dan tentakel-tentakel tersebut tak tertebas karena tubuhnya begitu lentur. Sebagai gantinya, gadis itu malah mengoyak-ngoyak kulit lenganku. Aku refleks mencengkeram wajahnya dengan tangan kananku, aku hanya ingin mendorongnya dariku, dan seketika tanganku berasap, dan rambut gadis itu terbakar. Ia menjerit dan menjatuhkan dirinya, ia berkelejotan di lantai sembari menepuk-nepuk rambutnya, sedang tentakel-tentakel tetap menjerat lehernya, dan terdengar bunyi tulang yang remuk. Di pergelangan kananku, bola api di atas tato korek gas itu berkobar sungguhan.
Aku keluar dari kamarku, ke kamar mandi bersama, dan gadis itu terseret oleh tentakel-tentakel. Orang-orang yang mengantri di depan kamar mandi segera menjaga jarak dari kami, seseorang yang mandi terdengar sedang menyanyi. Api mulai menjalar ke wajah gadis itu, dan aku mendobrak-dobrak pintu kamar mandi sampai tulang lenganku remuk, sampai seseorang di dalam sana menjerit, tapi pintu tak kunjung tumbang. Dan api telah menjalar ke baju sang gadis. Aku pun berlari keluar dari rumah indekos, menuju sungai terdekat, dan tubuh gadis itu tercabik-cabik aspal, aku menggendongnya tanpa memedulikan api yang mengunyah baju dan dadaku—aku melompat ke sungai dan menembus sampah-sampah yang mengambang.
Hari itu untuk pertama kali aku bertemu dengannya, jatuh cinta padanya—mungkin?—dan hari itu juga aku langsung kehilangannya. Ketika aku naik ke bantaran sungai, tentakel-tentakelku sudah hilang. Begitu pun gadis itu. Begitu pun bola api di atas tato korek gasku. Gadis itu mesti berada di bawah lapisan sampah-sampah itu, bertarung melawan gurita atau napasnya sendiri, dan begitu aku akan melompat kembali ke sungai, dua orang menahanku dari belakang. Seseorang di antara mereka meneriakiku agar jangan bunuh diri. Dan teriakan serupa terdengar dari sekelilingku: orang-orang sudah ramai berbaris di atas sana, di belakang pembatas jalan.
***
Setahun kemudian, aku menghampiri sungai itu tengah malam, hujan membuatnya kurang dari dua jam lagi akan menenggelamkan segala hal di sekelilingnya: air sungai sudah hampir setinggi jalan.
Aku diam selama tiga puluh menit, bersandar pada pembatas jalan, dan air sungai sudah merambat ke jalan, setinggi mata kakiku: mungkin aku harus pulang sekarang; mungkin aku harus tetap di sini sekarang.
Cahaya lampu-lampu jalan serupa bintang-bintang yang meleleh di kanvas, lelehannya merayap ke segala arah, dan hujan meraung tepat di telingaku. Pergelangan kananku menghangat—api mencoba berkobar di sana, tetapi hujan segera menggagalkannya. Mungkin hujan tahu, aku ingin membakar wajahku dan aku tak akan melompat ke mana pun.
Lalu sesuatu membelai ujung jemari kakiku. Mungkin itu sampah-sampah. Mungkin itu bukan sampah-sampah. Mungkin itu ujung tentakel-tentakel. Mungkin itu hanyalah sampah-sampah.
Entahlah ….
Mungkin aku harus tetap di sini sekarang.
Surya Gemilang, lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Ia telah lulus dari Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta. Buku-bukunya antara lain: Mengejar Bintang Jatuh (kumpulan cerpen, 2015), Cara Mencintai Monster (kumpulan puisi, 2017), Mencicipi Kematian (kumpulan puisi, 2018), dan Mencari Kepala untuk Ibu (kumpulan cerpen, 2019). Karya-karya tulisnya yang lain dapat dijumpai di lebih dari sepuluh antologi bersama dan sejumlah media massa, seperti: Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Suara NTB, Bali Post, Riau Pos, Basabasi.co, dan lain-lain.