Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Karya Yayak Yatmaka yang dibuat untuk mendukung perjuangan warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah.
Karya Yayak Yatmaka yang dibuat untuk mendukung perjuangan warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah. (Foto: Istimewa)

3 Pelanggaran Hukum Perizinan Tambang Wadas oleh Pemerintah



Berita Baru, Nasional – Gerakan Bersihkan Indonesia mendapati adanya dugaan pelanggaran hukum perizinan oleh pemerintah dalam pengadaan lahan dan pengelolaan tambang quarry di Desa Wadas, Kecamatan Bener Purworejo, untuk bahan material proyek Bendungan Bener.

“Pelanggaran ini menambah deretan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) perampasan lahan, penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan dan intimidasi terhadap warga desa Wadas,” tulis Bersihkan Indonesia dalam siaran persnya, tertanggal 13 Februari 2022.

Dugaan diperkuat dengan adanya fakta bahwa untuk memperlancar upaya perampasan tanah warga, Dirjen Minerba, Kementerian ESDM menerbitkan Surat Nomor T-178/MB.04/DJB.M/2021 tertanggal 28 Juli 2021 sebagai tanggapan atas surat Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR No. PR.02.01-DA/758 tertanggal 24 Juni 2021 tentang Permohonan Rekomendasi Perizinan Penambangan untuk Kepentingan Sendiri PSN Pembangunan Bendungan Bener.

“Dalam surat tersebut, Dirjen Minerba menyetujui kegiatan pengambilan material quarry untuk pembangunan Bendungan Bener dan tidak memerlukan izin pertambangan,” lanjutnya.

Adapun sejumlah dugaan pelanggaran hukum perizinan yang dilakukan pemerintah, yang pertama melanggar ketentuan Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Demi Kepentingan Umum yang menjadi dasar terbitnya SK Gubernur Jateng Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener yang memuat rencana penambangan di dalamnya.

“Patut dicatat, pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak diperbolehkan bagi kegiatan pertambangan,” tegasnya.

Pelanggaran kedua pemerintah adalah terhadap Undang-undang Nomor 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang memerintahkan penyusunan dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) untuk kegiatan pertambangan.

Berdasarkan dokumen rencana proyek tersebut, telah ditetapkan areal penambangan batuan andesit di Desa Wadas seluas 140 hektar dan membutuhkan material penutup sebanyak 1,5 juta meter kubik.

Bersihkan Indonesia menilai dengan luasan dan jumlah material yang demikian, maka rencana penambangan batuan Andesit di Wadas termasuk dalam kategori kegiatan yang wajib memiliki Dokumen Amdal tersendiri khusus untuk Pertambangan Batuan Andesit.

Sebagaimana ketentuan Permen LHK Nomor 4 tahun 2021 tentang Daftar dan atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL, UKL-UPL dan SPPL. Sementara yang ada di dokumen pertambangan Wadas hanya Amdal untuk proyek Bendungan Bener, adapun khusus untuk tambang tidak ada.

Muhamad Jamil dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional menyebut bahwa tambang andesit di Wadas itu sudah tidak memiliki legitimasinya, baik dari sisi hukum maupun sosial.

“Surat Dirjen Minerba yang memperbolehkan tambang tanpa Amdal dan Izin, kami duga merupakan respon dari otoritas pemerintahan yang panik boroknya ketahuan lalu sibuk mencari legitimasi,” katanya.

Jamil menambahkan, apa yang dilakukan Dirjen Ridwan Djamaluddin, patut diduga sebagai penyalahgunaan kewenangan atau bahkan sebagai tindakan yang melampaui kewenangan selaku Badan atau Pejabat tata usaha negara demi kepentingan sekelompok orang.

“Tentu hal ini sangat terbuka ruang juga untuk diuji sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Batu ujinya di antaranya yaitu pasal 1365 KUHPer dan akibatnya telah membawa kerugian bagi rakyat Wadas,” jelas Jamil.

Ketiga, Bersihkan Indonesia mendapati pemerintah telah melakukan pelanggaran terhadap UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

“Terlepas bahwa UU ini masih dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), surat Dirjen Minerba tersebut berpotensi melanggar sejumlah pasal. Di antaranya Pasal 6 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dalam Pengelolaan Pertambangan Minerba; Pasal 35 tentang Perizinan Berusaha Pertambangan Minerba; Pasal 38 tentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan kewajiban keuangan bagi negara; dan Pasal 158 tentang Pertambangan Tanpa Izin,” ungkap Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.

Aryanto menjelaskan, pengelolaan pertambangan, baik untuk komersial atau tidak, wajib memiliki izin karena berkaitan dengan kaidah pengelolaan pertambangan. Tidak boleh pengelolaan pertambangan dilakukan hanya didasarkan pada surat Dirjen Minerba, akan menimbulkan banyak kekacauan hukum.

Kasus Wadas, menurut Aryanto, membuka kotak pandora, bahwa tata kelola pertambangan minerba masih jauh dari kata membaik. “Disahkannya UU Nomor 3 Tahun 2020 (UU Minerba) pun tidak menjawab persoalan,” tukasnya.