Wahid Foundation Sikapi Bahaya Intoleransi di Dunia Pendidikan
Berita Baru, Jakarta – SMAN 7 Semarang bekerjasama dengan Wahid Foundation menyelenggrakan webinar kampanye Budaya Damai, pada Kamis (10/12). Narasumber acara, Sarah Hajar Mahmudah menjelaskan bahwa intoleransi semakin meningkat di kalangan pelajar, mahasiswa, guru, dan dosen.
Mengutip hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat – Universitas Islam Negeri (PPIM-UIN) Jakarta dan Convey, terdapat 49,00 persen pelajar dan mahasiswa yang berpendapat bahwa kelompok yang berbeda boleh untuk tidak dilindungi.
“Berdasarkan temuan ini, artinya mereka menganggap pemerintah tidak boleh melindungi kelompok-kelompok agama seperti Syiah dan Ahmadiyah,” ungkap Sarah, mewakili Wahid Foundation.
Masih merujuk hasil riset tersebut, Sarah juga mengungkapkan adanya 79,07 persen siswa dan mahasiswa yang setuju jika orang beragama Kristen bukan musuh orang Islam. Sedangkan 53,74 persen lainnya berpendapat bahwa orang Yahudi adalah musuh orang Islam.
Meskipun begitu masih terdapat 70,36 persen siswa dan mahasiswa non-muslim yang tidak keberatan untuk memberikan bantuan kepada lembaga-lembaga Islam. Adapun 55,51 persen lainnya juga menyetujui apabila ada rencana pendirian rumah ibadah agama lain di lingkungan mereka tinggal.
“Ini adalah peluang yang baik. Ternyata masih besar angka kepercayaan kita untuk bisa tetap hidup rukun walaupun berdekatan dengan kelompok atau agama yang berbeda,” kata Sarah.
Selain itu Sarah juga menjelaskan adanya kecenderungan terjadinya peningkatan sikap intoleransi yang mengarah pada perilaku radikal. Hal itu ia sampaikan berdasarkan hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP).
Pertama, 24,5 persen guru dan 41,1 persen siswa mendukung pengrusakan dan penyegelan rumah ibadah agama lain.
Kedua, 22,7 persen guru dan 51,3 persen siswa mendukung pengrusakan rumah atau fasilitas anggota keagamaan yang dituding sesat.
Ketiga, 58,0 persen siswa dan 28,1 persen guru mendukung pengerusakan tempat hiburan malam.
Keempat, 43,3 persen siswa dan 32,4 persen guru berpendapat bahwa pembelaan dengan senjata terhadap umat Islam dari ancaman agama lain boleh dilakukan.
“Ini cukup mengkhawatirkan, bahwa masih banyak juga ternyata bukan hanya pelajar tetapi justru guru pun yang punya pendapat yang tidak toleran terhadap kelompok atau agama yang berbeda,” ujar Sarah.
Berdasarkan telaah Sarah, meningkatnya intoleransi di dunia pendidikan tersebut dipengaruhi oleh lingkungan belajar, sumber belajar agama dari internet, ceramah yang menganjurkan intoleransi, dan organisasi yang diikuti di luar sekolah.
“Kita juga perlu kritis, bahwa media ini memang sangat membantu tapi juga mempunyai sisi-sisi negatif yang kita harus hati-hati. Di sini contohnya, yang banyak kita temui di media adalah disinformasi, fake news, dan hoax,” tandas Sarah.