Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

UU KSDAHE Bermasalah, Greenpeace Indonesia Kritik Minimnya Pelibatan Publik
Ilustrasi deforestasi (Greenpeace/Ulet Ifansasti)

UU KSDAHE Bermasalah, Greenpeace Indonesia Kritik Minimnya Pelibatan Publik



Berita Baru, Jakarta – Greenpeace Indonesia mengkritik sejumlah masalah dalam proses formil dan substansi Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) yang disahkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 9 Juli 2024. Mereka menyoroti minimnya pelibatan masyarakat dalam pembahasan rancangan UU tersebut.

“Pembahasan rancangan UU KSDAHE tak berjalan transparan. Sejumlah organisasi masyarakat sipil kesulitan untuk memonitor prosesnya. Pemerintah dan DPR patut ditengarai telah mengabaikan partisipasi publik yang bermakna dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU KSDAHE,” ujar Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dalam sebuah rilis pada Sabtu (13/7/2024) kemarin.

Secara substansi, UU KSDAHE juga dianggap bermasalah. Undang-undang ini masih menggunakan paradigma lama yang mengabaikan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pelindungan ekosistem. Usulan masyarakat sipil untuk memastikan adanya pengakuan, partisipasi, dan pelindungan masyarakat adat serta komunitas lokal tidak diakomodasi.

Sekar menambahkan bahwa walaupun ada pasal yang menyebut peran serta masyarakat, termasuk masyarakat adat, proses tersebut tampaknya hanya dipandang sebagai formalitas. “Proses penetapan kawasan konservasi dalam UU KSDAHE bersifat sangat sentralistik karena berada di bawah kewenangan pemerintah pusat,” ujarnya. Ini dapat memicu konflik dengan masyarakat setempat yang kehilangan ruang hidup dan tempat beraktivitas.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hadi Priyanto, juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap pemanfaatan jasa lingkungan untuk panas bumi dan karbon yang bertentangan dengan tujuan konservasi. “Sistem operasional ekstraksi panas bumi sangat berisiko, berpotensi mencemari dan merusak lingkungan, dan mengganggu ekosistem dalam area hutan,” jelas Hadi.

Selain itu, UU KSDAHE juga dinilai tidak cukup untuk mencapai target 30×30 guna melindungi setidaknya 30 persen daratan dan 30 persen lautan pada tahun 2030. “Kita menghadapi ancaman krisis iklim dan ancaman kepunahan keanekaragaman hayati, tapi pemerintah dan DPR masih saja bermain-main dengan komitmen pelindungan lingkungan yang sifatnya semu,” kata Sekar Banjaran Aji.