Usai Penangkapan Komisioner KPU, Bawaslu Upayakan Transparansi Perekrutan PPK
Berita Baru, Jakarta – Penangkapan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Wahyu Setiawan, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat kinerja Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi sorotan masyarakat.
Lembaga pengawas pemilu itu kini berupaya meningkatkan proses pengawasan terhadap rekruitmen penyelenggara pemilu, yakni calon anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), yang akan dilangsungkab pada 18-24 Januari 2020.
“Bawaslu akan mengawasi proses rekrutmen PPK. Kami akan merumuskan alat kerja pengawasan seleksi PPK agar prosesnya transparan dan KPU mendapatkan PPK yang berkualitas,” kata Abhan dalam keterangan persnya, Minggu (12/01/2020).
Abhan berharap, PPK yang dibentuk KPU berkualitas dan tidak ada bermasalah terkait integritas, netralitas, dan tak terlibat dalam partai politik (parpol). Kriteria tersebut baginya sangat penting terhadap kinerja para PPK saat bertugas melaksanakan pemungutan suara.
“Kami yakin peran Bawaslu dalam proses rekrutmen PPK bisa berdampak positif terhadap hasil pelaksanaan pilkada,” tuturnya.
Menurut Abhan, proses rekrutmen dan pelantikan Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) sudah hampir selesai.
Hanya tersisa beberapa wilayah yang belum dilantik karena kondisi geografis yang tidak mudah untuk dijangkau. Rencananya dalam waktu dekat akan segera dilantik.
Bahkan, dia meminta masyarakat ikut terlibat aktif. Apabila ada yang tidak puas atas proses seleksi Panwascam bisa mengadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“Kami harap seluruh jajaran pengawas melaksanakan tugas dam fungsinya dengan baik. Selalu menjaga integritas dan profesionalisme ketika menjalankan tugasnya dalam mengawasai Pilkada 2020,” tambahnya.
Sebelumnya, Bawaslu mendapat kritikan dari pengamat politik Ray Rangkuti.
Menurut Ray, Bawaslu terlihat pasif dalam pengawasan penyelenggara pemilu.
“Di mana peran Bawaslu dalam konteks mengawasi perilaku penyelenggara pemilu ini? Bawaslu menganggap korupsi bukan kewenangan mereka dalam pengawasan. Jelas ini salah total,” tegasnya.
Mestinya, kasus suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan tak akan terjadi bila Bawaslu lebih proaktif. Misalnya, dengan segera meminta hasil notulensu penetapan pergantian antar waktu (PAW) dalam kasus tersebut. Jika KPU tak mau merilis, Bawaslu bisa membukanya pada publik.
“Ini Bawaslu hanya diam saja, urusan mereka hanya soal seminar, sosialisasi, FGD (Forum Group Discussion). Tapi urusan seperti ini seolah-olah mereka lepas tangan,” ujarnya.
Ray prihatin melihat kondisi tersebut. Apalagi, dana untuk Bawaslu cukup besar.
“Jadi sebetulnya yang diminta pertanggungjawaban yang pertama itu pada Bawaslu, apa yang dikerjakan sehingga praktek suap, jual beli suara, tetap marak dalam proses pemilu?” terang dia.
Menurut dia, kasus suap Wahyu Setiawan tak hanya mencoreng KPU, tapi juga Bawaslu. Karena memperlihatkan pengawasan Bawaslu terhadap penyelenggara pemilu tak optimal.
KPK telah menetapkan sejumlah terrsangka atas dugaan suap terkait penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024.
Empat tersangka sebagai penerima suap, dua di antaranya WSE (Wahyu Setiawan) Komisioner KPU RI, dan ATF (Agustiani Tio Fridelina) mantan anggota Bawaslu RI.