Temuan SETARA dan INFID Warga Indonesia Kesulitan Dapat Hak Tanah
Berita Baru, Jakarta – Laporan yang dirilis SETARA Institute dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menemukan bahwa warga Indonesia kesulitan untuk mendapatkan hak atas tanah.
Hal itu tercantum dalam laporan Indeks Kinerja Hak Asasi Manusia (HAM) 2022 yang dilakukan oleh SETARA dan INFID.
Kedua organisasi itu mencatat bahwa pemenuhan hak atas tanah bagi masyarakat Indonesia menjadi yang terendah dipenuhi oleh pemerintah di sejumlah indikator. Beberapa indikator tersebut di antaranya hak ekosob (ekonomi, sosial, dan budaya), isu HAM Papua, isu minoritas ras dan etnis, hingga isu minoritas adat.
Berdasarkan penilaian ekosob, hak atas tanah meraih skor 2,2. Angka itu yang paling rendah di antara nilai dari indikator serupa dan turun 0,6 dari tahun sebelumnya.
“Jadi hak atas tanah ini memang menjadi indikator hak ekosob yang sangat amat rendah pemenuhannya. Memang dari tahun ke tahun, di tahun sebelumnya hak atas tanah ini menjadi potret buruknya pemenuhan pemerintah terhadap hak atas tanah,” kata peneliti hukum dan konstitusi SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah, di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (10/12/2022).
Peneliti dan Program Officer INFID, Alyaa Nabiilah Zuhroh pun memaparkan rendahnya pemenuhan itu terjadi di tengah besarnya skala konflik agraria sepanjang tahun 2022. Konflik agraria itu bahkan disebut jauh lebih besar ketimbang tahun 2021.
Alyaa berujar pada 2022 terdapat tujuh konflik agraria yang tercatat di atas lahan seluas 99.371 hektar. Konflik itu meningkat sebesar 967 persen dari 2021.
“Dengan korban yang meningkat juga lebih banyak dibanding tahun sebelumnya [yakni] 352 persen korban yang ditimbulkan di tahun 2022 terkait dengan konflik agraria,” ucapnya.
Minimnya pemenuhan hak atas tanah itu juga dilaporkan terjadi di tengah isu HAM Papua. Dalam indikator isu HAM Papua, hak atas tanah di wilayah timur Indonesia itu hanya memperoleh nilai 1,8. Angka ini merupakan yang terendah di antara indikator lainnya.
Berdasarkan laporan SETARA dan INFID, angka itu didapat karena pembentukan daerah otonom baru (DOB) yang memicu konflik dan perpecahan di antara masyarakat Papua.
Sulitnya warga mendapatkan hak atas tanah juga dirasakan oleh kelompok minoritas. Laporan menemukan bahwa kesulitan itu paling dirasakan oleh etnis Tionghoa.
Salah satu kasusnya terjadi pada seorang dosen di perguruan tinggi swasta di Yogyakarta yang harus merelakan status kepemilikan rumahnya turun menjadi hak guna bangun (HGB) hanya karena ia keturunan Tionghoa.
Sementara pada indikator kelompok minoritas atas, hak atas tanah hanya mencapai skor 1,9. Laporan menjabarkan 13 kasus perampasan wilayah adat yang berdampak pada 103.717 masyarakat adat dan 251 ribu hektar wilayah adat sebagai bukti nyata.